HIDAYAH

Friday, July 3, 2020

Fiksi Hidayah

Salsabila mengumpulkan keberaniannya, saat melewati hutan itu. Menurut cerita penduduk, di dalam hutan itu sering terdengar suara tangisan yang menyayat atau suara lolongan anjing yang panjang. Biasa pula terdengar suara sesenggukan yang ngilu. Tetapi Salsabila harus melewatinya karena itulah jalan satu-satunya menuju rumahnya.

Hutan rimbun dengan pohon-pohon besar menjulang. Di pinggir hutan terdapat pohon trembesi yang sangat subur berjejer-jejer di sepanjang jalan, terasa sejuk kala siang hari. Namun, terasa seram di malam hari. Daun-daunnya yang melambai menimbulkan suara berdesir-desir diterpa angin, menambah suramnya malam pekat yang mencekam.

Salsabila mempercepat langkahnya, andai tidak membawa jinjingan ditambah beban berat dipunggungnya, Salsabila pasti sudah berlari kencang demi melewati pinggir hutan ini.

Astagfirullah,  apa yang kupikirkan? Bukankah guru mengajiku   sudah mengajarkan cara melawan rasa takut.  Salsabila menyesali dirinya.

Sejurus kemudian, mulutnya mulai komat-kamit, surah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas bergantian dibacanya. Semakin mendekati ujung jalan, mulutnya semakin gencar komat-kamit dan anehnya dadanya juga semakin berdegup kencang. Ketakutannya semakin paripurna, karena di ujung jalan itulah, kelamnya malam semakin terasa. Sangat gelap dan sunyi hanya sesekali terdengar suara desiran angin yang menyapu telinganya.

Tiba-tiba Salsabila tersungkur seakan ada yang mendorong tubuhnya. Belum sempat ia bangun,  ia merasa ada sesuatu yang mengangkat tubuhnya, mulutnya terkatup, matanya nanar mencari bentuk yang mengangkat tubuhnya. Ia dibopong, setengah sadar ia merasa terbang melayang dalam pelukan makhluk aneh, yang tingginya melebihi tinggi pohon trembesi. Anehnya ia merasa nyaman dalam dekapan makhluk itu hingga tertidur pulas.

Saat Salsabila terjaga, ia mendapati dirinya terbaring di atas kasur yang empuk dalam kamar luas nan sejuk. Seakan ia berada di bawah pohon trembesi yang rindang padahal ia berada di dalam kamar.

“Assalamu alaikum  Salsabila” Tiba-tiba terdengar suara mendesah seiring dengan terkuaknya pintu kamar. Salsabila kaget lalu mengarahkan pandangannya ke arah pintu. Seorang wanita setengah baya berdiri di sana, tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

“Waalaikumsalam.” Salsabila membalas dengan ragu.

“Aku di mana, siapa kamu?” Pertanyaan Salsabila beruntun membuat wanita itu tertawa halus, memamerkan gigi putihnya.

“Kamu ada di negeriku, jangan khawatir, di sini aman dan kupastikan kamu akan merasa nyaman.” Hibur wanita itu sambil berjalan ke arah Salsabila. Dia menjulurkan tangannya, serupa orang yang ingin bersalaman.

“Perkenalkan saya Mangasih, ibu dari pemuda yang membawamu kemari.” Wanita yang bernama Mangasih itu menyentuh tangan Salsabila. Serasa berdesir darah Salsabila merasakan sentuhan Mangasih, tangannya sangat dingin hingga Salsabila  merasakan jemarinya ikut dingin begitu dinginnya hingga Salsabila merasa hampir menggigil.

“Bangunlah kemudian mandi agar badanmu segar, kamu tidur cukup lama Nak.” Kata Mangasih sambil menyerahkan selembar kain, seperti  handuk tetapi motifnya lebih mirip motif batik. Salsabila menerima kain itu, ia mencium aroma kamboja. Tanpa berkata-kata, Salsabila menuju kamar mandi dan mengguyurkan badannya dengan air yang terpancar dari sebuah bilah bambu.

Aneh, badannya terasa hangat. Padahal jika mengamati air yang memancar dari bilah bambu itu seakan airnya berasal dari lereng gunung. Salsabila sepertinya mengenal bentuk kamar mandi itu, ia merasa tidak asing dan sangat mengenalnya, tetapi ia belum dapat mengingatnya.

Tok..tok..tok.. terdengar ketukan halus pada pintu kamar mandi, “Salsabila, apakah kamu sudah selesai? Suara Mangasih menghalau ingatannya.

“Iya sebentar Bu.” Salsabila sedikit berteriak agar suaranya tidak tenggelam oleh suara gemercik air dari pancuran. Sejurus kemudian, Salsabila keluar dengan balutan kain di badannya. Rautnya terlihat segar sehingga warna kulitnya yang putih semakin menyilaukan mata.

“Kamu pakai baju itu yah, kami tunggu di luar. Makanan sudah disiapkan.” Kata Mangasih sembari meletakkan baju di atas ranjang.


Salsabila mengambil baju itu lalu memakainya, sejenak ia tertegun. Baju itu seperti miliknya sendiri. Warnanya merah jambu, lembut dengan sedikit rumbai-rumbai di ujung lengannya. Jilbab yang disediakan serupa warna bajunya. Agak kebesaran di bagian dagunya sehingga Salsabila mencari jarum pentul untuk disematkan pada jilbab di bagian dagunya. Sejenak dia menatap dirinya sendiri di depan cermin yang berukuran besar, setidaknya lebih besar dari badannya sendiri.

Salsabila melangkah ke luar kamar dengan sedikit ragu. Dia melihat di ruang tengah terdapat meja sedikit lonjong yang dikelilingi kursi-kursi dengan sandaran yang tinggi. Beberapa orang duduk di sana, serempak mereka mengarahkan pandangannya ke arah Salsabila, termasuk Mangasih

Di bagian meja paling ujung, duduklah seorang laki-laki, hidungnya bangir dengan dagu sedikit terbelah, raut mukanya bersih. Laki-laki itu tersenyum, sangat manis sambil menganggukkan kepalanya.

“Duduk di sini Sabila.” Berdesir darah Salsabila demi mendengar namanya disebut seperti itu, hanya keluarga dekatnya yang biasa memanggilnya dengan sebutan itu. Mangasih menunjukkan kursi untuknya, tepat di samping pemuda  itu.

“Aku lagi puasa, apakah sekarang sudah waktunya berbuka?” Tiba-tiba Salsabila teringat tentang puasanya hari itu.

“He-he-he  kamu tertidur lama hingga tidak sadar kalau sekarang ini waktunya sahur.” Pemuda itu menjawab.

“Ayu makan Nak, kemudian kita salat subuh di masjid.” Laki-laki tua berjenggot itu menganggukan kepala. Walaupun wajahnya dipenuhi janggut dan cambang dengan alis tebal juga sudah beruban, tetapi keseluruhan mukanya sangat bersih. Sorot matanya tajam menyiratkan ketegasan namun terasa diri dilindungi kala menatap matanya.

Salsabila duduk dengan sedikit ragu. Dia masih belum mengerti, dia berada di mana, siapa orang-orang ini? Mangasih memperkenalkan satu persatu orang-orang yang ada di sekeliling meja makan. Laki-laki tua berjenggot itu adalah ayah Mangasih, laki-laki dengan tubuh tegap, memakai baju koko warna biru muda itu adalah suami Mangasih dan pemuda ganteng yang selalu curi-curi pandang itu adalah anaknya.

Ada pula seorang perempuan yang hampir seumuran Salsabila memakai jilbab panjang dengan mata kuyu bernama Rosanna dan laki-laki yang paling kecil memakai baju koko warna putih  bernama Hafidz, keduanya adalah tamu seperti dirinya.

Saat mereka menuju masjid, Salsabila mendekati perempuan bermata kuyu itu, ia merasa perempuan itulah yang seharusnya dia dekati untuk mengorek informasi tentang keadaan yang tidak dia mengerti ini.

“Assalamu alaikum..” Salsabila menyapa wanita itu sambil menggapit tangannya.

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Salsabila sedikit tersentak mendengar suara wanita itu, terdengar sangat jauh namun cukup jelas. Suara itu bagaikan berasal dari dalam kuburan, sayup tetapi jelas terdengar.

“Perkenalkan saya Salsabila, namamu siapa?” Salsabila menepis perasaannya.

“Namaku Rosanna, ternyata kamu belum mengenalku.” Jawabnya dengan sedikit senyum.

“Oh yah, kita pernah berkenalan?” Tanpa sadar Salsabila menjawab dengan suara keras.

“Iya, nanti aku cerita yah, sekarang waktunya kita salat subuh.” Wanita yang bernama Rosanna itu menarik tangan Salsabila memasuki masjid.



Salsabila tertegun saat berada di dalam masjid. Dari luar masjid itu terlihat kecil, pintunya hanya  dua, satu pintu diperuntukkan buat laki-laki dan pintu lainnya untuk tempat masuknya perempuan.

Tetapi siapa sangka di dalam masjid terlihat banyak sekali pintu, bahkan jika diperhatikan lebih seksama lagi, sepertinya tidak ada dinding melainkan sebuah ruangan luas lebih luas dari aula sekolahnya, bahkan seperti lapangan luas tetapi beratap.

Refleks Salsabila mendongak ke arah atap masjid, darahnya berdesir menatap atap masjid yang putih bersih bagai awan putih yang bergelung-gelung. Yah itu bukan atap melainkan awan putih bagaikan hamparan langit luas. Salsabila masih sibuk mengedarkan pandangannya ke setiap sudut masjid, tanpa sadar ia berdecak kagum kala melihat bagian atas setiap pintu masjid, terdapat permata-permata berkilauan bagai berlian, oh bukan berlian tetapi lebih mirip dengan permata yakut dan marjan. Tiba-tiba bahunya disentuh oleh Mangasih.

“Kamu tidak salat sunah?” Bisik Mangasih.

“Oh … eh ... Iya  Bu, aku mau salat sunah.” Salsabila menjawab dengan sedikit gagap, karena kaget.

Salsabila dan Rosanna duduk berdekatan. Tiba-tiba ia mencium aroma melati, Salsabila celingukan mencari sumber aroma itu. Tetapi ia tidak menemukannya. Bahkan yang ia lihat adalah orang-orang yang semakin banyak memasuki masjid. Salsabila merasa pernah melihat pemandangan itu.

Ya, ini seperti suasana lebaran di kotanya, banyak orang yang datang untuk melaksanakan dan merayakan idul fitri, wajah-wajah ceria, pakaian baru nan mewangi.

Tidak!

Ini bukan suasana lebaran, pakaian mereka hampir serupa, putih atau krem. Para lelaki itu tidak memakai kopiah ataupun peci, sedangkan wanita-wanitanya tidak memakai baju warna warni dengan model baju berbagai rupa. Wanita-wanita itu memakai baju serupa dengan baju yang Mangasih berikan kepadanya, baju longdres, lengan panjang yang menutupi jari-jari tangannya, tetapi dengan warna yang berbeda.

Pakaian yang dikenakan oleh semua jamaah perempuan  adalah berwarna putih sedikit pudar dengan kerudung panjang nan lebar hingga hampir menutupi separuh badannya.

Tiba-tiba Salsabila dikagetkan oleh suara azan yang menggema entah dari mana datangnya. Ia tidak melihat ada corong di sana maupun toa di depan masjid tadi.

“Ah, sudahlah, saya salat subuh saja dahulu, sebentar saya mencari sumber suara azan itu.” Salsabila berbicara kepada dirinya sendiri, kemudian berdiri saat mendengar orang iqamah.  

Suara imam terdengar sangat merdu, melafalkan  ayat-ayat Al Qur’an dengan sangat fasih. Ayat-ayat itu seakan menyelisik ke seluruh tubuhnya. Darahnya serasa berhenti mengalir mendengar imam membaca surah ar-Rahman.

“Fa bi’ ayyi aalaa’I robbikumaa tukazzibaan. Ka’annahunnal-yaaquutu wal-marjaan.”

“Fa bi’ ayyi aalaa’I robbikumaa tukazzibaan. Hal jazaa ‘ul-ihsaani illal-ihsaan.”

Baru kali ini Salsabila merasa sendu mendengar ayat suci Al Qur’an dibacakan. Terasa remuk tulangnya, lemas bagaikan badan tanpa roh. Jiwanya seakan melayang ke suatu tempat yang ia tidak tahu dimana. Tanpa sadar ia menangis, awalnya hanya meneteskan air mata, kemudian sesenggukan hingga tangisnya pecah, hampir meraung.

 

“Sabila, hei Salsabila!” Terasa tubuhnya diguncang-guncang oleh seseorang, suaranya sayup terdengar memanggil-manggil namanya.

“Alhamdulillah, akhirnya kamu tersadar Nak.” Terdengar suara ibunya lega.

Salsabila mengusap matanya, ia memandangi orang-orang di sekelilingnya. Ayahnya, ibunya, adiknya, juga beberapa tetangga yang sedang menatapnya cemas.

“Aku kenapa Bu?” Tanyanya heran.

“Kamu pingsan Nak, tetangga menemukanmu di pinggir hutan semalam.” Jawab ibu Salsabila sambil mengusap rambutnya.

“Kakak pingsan, tapi mulut kakak komat kamit mengaji.” Timpal adiknya.

Salsabila duduk tercenung, ingatannya masih terpaut pada peristiwa yang dia alami semalam. Ingat pada masjid yang indah, luas dan sejuk, bahkan masih terngiang suara imam masjid membaca surah Ar-Rahman yang sangat menyentuh batinnya.

Tiba-tiba ia ingat Rosanna. “Apakah kalian kenal Rosanna?”

Mata Ayah dan Ibunya membelalak mendengar pertanyaan Salsabila.

“Kenapa tiba-tiba menanyakan dia Nak?”

“Aku bertemu dengannya Bu, matanya kuyu. Siapakah dia, apakah kalian mengenalnya?”

Ayah dan Ibu Salsabila dan  semua di ruangan itu saling berpandangan. Ibu menghela nafas.

“Rosanna itu kakakmu, tetapi…” Ibu Salsabila menggantung kalimatnya.

“Tetapi kenapa Ibu?” Desak Salsabila

“Dia sudah tiada, meninggal karena diterkam harimau di pinggir hutan.” Sahut Ayahnya.

“Aku ketemu dia  dan kami ke masjid salat subuh.” Gumam Sabila.

“Mungkin dia hadir dalam mimpimu Nak, kakakmu itu meninggal sebelum kamu lahir.” Jelas Ibunya.

“Apakah arti semua ini yah Allah? Aku berada dimana sebenarnya semalam?” Salsabila berbisik lirih. Ayah menatapnya tajam penuh selidik.

“Ceritakan Nak, apa yang kamu rasakan dan apa yang kamu alami?”

Salsabila kemudian bercerita tentang apa yang dialami semalam, seperti mimpi tetapi sangat nyata. Ia mengusap peluhnya lalu meraih gelas dan diminumnya air dalam gelas itu hingga tandas.

Mereka termangu mendengar cerita Salsabila.

Siapa yang tidak mengenal Salsabila. Keluarga, tetangga, dan teman-temannya tahu betul, dia dikenal sebagai gadis remaja yang sukar diatur.

Jika keinginannya tak dipenuhi maka Salsabila akan mengamuk bagai banteng yang terluka. Kedua orang tuanya, keluarga,  bahkan tetangga-tetangganya akan terus melihatnya mengamuk. Memecahkan barang, melemparkan kursi dan apapun yang ada di sekitarnya. Itu akan terus berlangsung hingga keinginannya dipenuhi. 

Itu pula sebabnya ia dikirim oleh orang tuanya bersekolah di kota, tinggal bersama saudara ayahnya. Harapan orang tuanya, Salsabila bisa berubah atas pengasuhan omnya yang tegas.

Perlahan Salsabila bangkit menuju kamar mandi. Di sana ia mengguyur mukanya, mengusap matanya, mengucek-nguceknya seakan tiada percaya dengan apa yang dia alami. Setelah itu dia keluar dengan muka basah.

“Nak, itulah  cara-Nya mencintaimu, Allah Subhanahu Wa’ Taala telah memperlihatkan kekuasaan-Nya.” Kata ayahnya dengan senyum lega di bibirnya.

“Iya Ayah, mulai hari ini aku akan berubah. Maafkan semua kesalahanku.” Salsabila berlari ke dalam pelukan ayahnya.

“Jangan hanya berjanji kepada ayah Nak, berjanjilah kepada dirimu sendiri.” Kata ayahnya sambil merengkuh Salsabila dalam dekapannya.

Begitulah cara Allah mencintai hamba-Nya, memberinya hidayah hingga manusia tidak sanggup memikirkannya, karena tidak dapat dijangkau dengan logika.

Maha Besar Engkau yah Allah dengan segala Kekuasaan-Mu.


10 tahun bukanlah waktu yang singkat dalam  menanti buah hati. Kerinduan yang teramat dalam di hati Nisa akan kehadiran anak selalu datang tanpa diundang. Selanjutnya bisa baca di sini. 


Bersyukurlah kepada Tuhan karena cinta kita masih bersatu hingga kini, masih bersemi laiknya bunga melati yang putih, suci, dan mewangi. Selalu menebarkan harumnya manakala mentari menyeruak pagi.


Undangan pesta pernikahan itu saya amati, tidak ada air mata hanya dada rasanya dipukul godam. Sakit sekali.


Buku Antologi Ramadhan Kareem

Catatan:

Tulisan ini adalah karya saya yang telah  terbit berupa buku antologi Ramadhan Kareem. Ditulis bersama alumni SP Gelombang 15.  Ditayangkan kembali di sini setelah saya melakukan  proses editing sehingga menjadi lebih hidup dan jelas. Di buku tersebut ada beberapa bagian yang hilang sehingga ceritanya mengambang.


54 comments

  1. Deg2an saya bacanya mbak. Saya juga sering mimpi mirip nyata kayak gini, tapi nggak sampai tidur di hutan sih. Nice story ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan sampai tidur di hutan ya mbak, entar tidak kembali lagi hi-hi-hi

      Delete
  2. Duh... ini genre religi, ya? Keajaiban yang mungkin dialami seseorang. Sedikit seram membacanya tapi bukankah dunia gaib itu ada. Dan Kuasa Allah adalah nyata, ketika Kun, Fayakun. Subhanallah, Maha Suci Allah

    ReplyDelete
  3. Hidayah benar-benar datang dengan cara yang tak dapat kita duga ya, Bund. Benar-benar rahasia Illahi. Tapi aku merinding bacanya. Hiiii.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ambil hikmahnya, buang merindingnya tinggalkan saja di hutan. He-he-he

      Delete
  4. Pas banca kata HIDAYAH , saya langsung kepikiran tayangan salah satu tv swasta. Ternyata benar-benar kisah hidayah kali ini sukses membuat jantung berdegup kencang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. oh yang di tv ikan terbang itu yah? Sesekali nonton juga sih, tapi gitu deh...

      Delete
  5. Alhamdulillah, endingnya menyejukkan meski di awal sempat deg-degan kirain cerita horor. hehehe.

    ReplyDelete
  6. wah fiksinya oke nih bun, hihi. emang ya kadang hidayah itu datang tanpa terduga, semoga cerita si Salsabila ini dapat memberikan inspirasi bagi yang membaca. terima kasih bun

    ReplyDelete
  7. Benar Bun hidayah datang dengan cara yang dikehendaki-Nya. Seperti cara Allah mencintai hamba-Nya, memberi hidayah hingga mereka tidak sanggup memikirkannya, karena tidak dapat dijangkau dengan logika...Keren fiksinya Bunda....Sukaaa!!

    ReplyDelete
  8. Baca ceritanya bikin deg2an mba. Tapi akhirnya tahu alurnya cerita yg bikin penasaran. Akhirnya terjawab Salsabila mendapat hidayah. Hidayah yg datangnya tanpa diduga. Nice story kak...

    ReplyDelete
  9. Baru pertama kali baca cerita fiksi, ternyata asik ya, ceritanya mengalir. Apa karena penulis membawakan ceritanya sangat apik.
    Bacanya serasa terbawa suasana.

    ReplyDelete
  10. Saluuut, berhasil membuat pembacanya deg-degan. Seolah merasakan sendiri pengalaman tersebut. Keren lah 👍

    ReplyDelete
  11. Keren! Sudah lama saya tidak terlibat dalam cerita bernuansa religi yang begitu indah. Dalam beberapa adegan saya merasa menyaksikannya dalam imajinasi sebagai sebuah cerita yang telah divisualkan. Saya sudah membayangkannya menjadi sebuah film pendek yang apik. Selama tidak dibuat oleh sutradara-sutrada asal tayang ya hehe... empat jempol mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masya Allah, alhamdulillah, terima kasih supportnya mas. Tulisan mas juga saya suka, keren euy

      Delete
  12. Duh, ikut degdegkan bacanyaa. Kupikir kayak rubrik majalah. Ternyata fiksi yang mencengangkan. Coba kirim ke koran mbaa 😍😍😍

    ReplyDelete
  13. Ceritanya asik. Singkat tp hati ikutan terbawa alur. Dtggu cerita berikutnya ya 🙏😀

    ReplyDelete
  14. Awalnya rada serem ya kak, ternyata memang degdegan bacanya . Kadang memang cara Allah mempertemukan sesuatu itu ajaib ya kak entah melalui mati suri, entah dibawa dulu sama makhluk seperti pernah juga terjadi sama saudara dan kawan saya , jika awal bilang kun fayakun hidayah dapat diberikan lewat manapun ya kak. Bagus banget kak ceritanya.

    ReplyDelete
  15. Semoga Salsabila bisa menjadi inspirasi untuk yang membaca. Aku sepot jantung baca ini. Keren!

    ReplyDelete
  16. Saya awalnya tidak bisa menebak ke arah mana alur cerita Salsabila, saya kira akan menjadi cerita horor, ternyata pesannya sangat dalam. Sukses dan berkarya terus k dawiah

    ReplyDelete
  17. Hidayah memang bisa datang dari mana aja ya, bunda.
    Saya suka ceritanya.

    Ude'e Salsabila.. Hampir ko metong!
    Untung bunda Dawiah hidupkan ko lagi. Hahaha

    ReplyDelete
  18. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  19. Berasa masuk ke dalam cerita saya, membayangkan dan merasakan jadi salsabila ngeri-ngeri gimana gitu....cerita yang bagus

    ReplyDelete
  20. Agak takut di awal baca��. Kira cerita horor

    ReplyDelete
  21. Insyaallah mimpi yg dialami Salsabila sebagai momen dia menjadi anak yg salelah, tidak lagi sukar diatur seperti sebelumnya ya

    ReplyDelete
  22. Tulisannya keren Bun, mudah dipahami ceritannya dan pesennya dapet banget. Berasa aku masuk kedalam hutan menjadi SAbila. Setiap orang mendapatkan hidayah dengan caranya masing2.

    ReplyDelete
  23. merinding dan degdegan bacanya, aku jadi kemana2 mikirnya, keren mba, aku bacanya ngerasa terbawa mimpinya salsabila

    ReplyDelete
  24. Wih, berasa tegang membacanya.
    DI buku antologi itu, ya. Saya pikir antologi Ramadhan Kareem itu nonfiksi Kak. Bukan ya ternyata.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang berbakat ki' menulis dih Kak. Mau itu nonfiksi, fiksi, buku yang serius bisa kita' tulis. Masya Allah. Semoga selalu sehat supaya bisa senantiasa menulis.

      Delete
  25. keren mba ceritanya :) memang benar cara Tuhan menegur kita itu beda banget ya

    ReplyDelete
  26. Merinding penasaaran..ga nyangka sih itu mimpi..tadi kupikir mau dibawa ke ranah fiksi. Hihi

    ReplyDelete
  27. Kalau aku pernah jalan di hutan dan malam hari. Deg-degan tapi alhamdulillah semua berjalan dengan baik. Berlindung banget sama Allah

    Kalau mimpi kaya gitu, belum pernah. Kisah Ramadan yang penuh hikmah

    ReplyDelete
  28. mantapp nihh... sayapun sedang belajaar menulis cerpen, ternyata sulit yaaa

    ReplyDelete
  29. wah bunda mengharukan sekali ceritanya. tadinya kupikir ini cerita horor tapi ternyata hanya mimpi. tegang sekalika baca :))

    ReplyDelete

  30. Bagus sekali saya selalu suka karya sastra yang penuh dengan hikmah

    ReplyDelete
  31. Awalnya terasa seram tapi di akhir cerita mengharukan sekali. Ternyata ada makna dibalik setiap kejadian ya.

    ReplyDelete
  32. Oh kukira Salsabila diculik oleh laki2 yang menggendongnya itu..hehe..

    Terima kasih sdb berbagi cerita hidayah ini, mba..

    ReplyDelete
  33. Awal baca kupikir horor lho...😁 udah baca segala surat pendek...
    Di akhir, aku berkaca-kaca bacanya...keren deh bun tulisannya😍

    ReplyDelete
  34. Bila Allah berkehendak maka sesuatu yang tidak mungkin akan berubah menjadi hal yang memungkinkan ya mbak. Ceritanya sangat inspiratif mbak. Memang hidayah itu selalu ada bagi siapapun yang berimman kepada Allah... bersyukur Salsabila mendapatkan hidayah dari Allah sehingga dia bisa memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik.

    ReplyDelete
  35. Saya sampai menahan napas mba membaca kisah ini. Antara rasa ngeri sekaligus takjub. Salsabila benar-benar mendapat teguran ya dengan cara yang tak terbayangkan. Merinding mba rasanya.

    ReplyDelete
  36. Hebat kak bisa bikin cerpen bagus ini. Buku antaloginya dijual di toko buku kah?

    ReplyDelete
  37. Wah ternyata bunda jago nulis fiksi juga ya. Larut saya dengan ceritanya, nggak nyangka juga kalau yang dialami Salsabila adalah mimpi dan sempat bertemu dengan saudaranya Rosanna dalam mimpi itu...

    ReplyDelete
  38. Ya Allah...
    Ada banyak cara Allah mencintai hambaNya itu memang benar adanya yaa, Bunda.
    Maka kita tidak boleh berputus asa atas rahmat Allah.

    Tabarakallahu~

    ReplyDelete
  39. Aku ikutan merinding nih bacanya, berarti pingsannya lama ya salsabila. Dapat hidayah dari mimpi bisa bertemu dengan kakaknya yg sudah tidak ada

    ReplyDelete
  40. nangislah aku pas baca surat Arrahmannya, ingat ayahku, karena beliau semasa hidupnya rajin banget baca surah yang ini ka, kita tidak boleh menyerah dan terus berdoa ya

    ReplyDelete
  41. Seru ceritanya bunda 😍 tapi untuk cerpen sa sukanya akhir yang tidak jelas jadi pembaca bisa berkhayal lebih jauh lagi... hehehe... tapi itu mah selera saya 🤣

    ReplyDelete
  42. Seru banget cerita nya kak aku jadi deg degan bacanya alurnya menarik dan ga ngebosenin dan hikmah yang kita dapat sungguh bagus

    ReplyDelete
  43. Aku kalau berada di posisi ini mungkin sudah histeris dan introspeksi karena paling merasakan dampaknya hidayah tersebut

    ReplyDelete
  44. Kalau di kampung kami, jika sudah makan makanan di alam sana, tidak akan kembali pulang. Akan jadi makhluk sana.
    Saya tiba2 merinding dan merasa malam sangat sepi karena serius membaca dan serius komentar. hehehe

    ReplyDelete
  45. Wah mbak. Ini ceritanya detil dan bagus banget. Aku lho sampai membacanya dua kali. Merinding2 gimana gitu. Tapi bagus.

    ReplyDelete