Ketika Cinta Kepada Pelajaran Bahasa Indonesia Berfluktuasi

Friday, October 29, 2021


 


Jika teman-teman SD saya banyak yang jengkel dengan tugas mengarang, maka saya sebaliknya. Tugas mengarang di pelajaran bahasa Indonesia adalah tugas yang selalu saya nantikan. Senang saja rasanya jika karangan saya dibaca oleh guru di depan kelas. Selain itu, tugas mengarang adalah cara saya mendapatkan tambahan uang jajan.

Apa sebabnya?

Psst, saya menjual karangan kepada teman sebangku, hahaha. Ternyata jiwa bisnis saya ada juga ya?

Dan saya baru menyadarinya sekarang.

Sayangnya, tugas mengarang hanya sesekali diberikan oleh guru kelas. Mungkin tugas itu diberikan oleh guru manakala bapak guru saya sedang lelah atau istilah sekarang, lagi tidak mood mengajar. Soalnya setiap kali diberi tugas mengarang, bapak guru keluar kelas dan membiarkan kami, murid-muridnya menulis dalam keheningan.

Itu cerita saya saat masih SD. Setelah masuk SMP, lain lagi ceritanya.

 

Cintai dan Pelajarilah Bahasa Indonesia

 

Guru bahasa Indonesia saya waktu di SMP jarang sekali memberi tugas mengarang. Seingat saya, tugas mengarang saya dapatkan di kelas III SMP, itupun tak lebih dari tiga kali.

Namun, kegiatan mengarang sering dilombakan saat acara PORSENI dalam lingkungan sekolah dan organisasi pelajar yang bernama Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).

Alhamdulillah, saya selalu ikut lomba mengarang, tetapi hanya satu kali menang, juara tiga. Hore! Walaupun juara tiga, senangnya luar biasa.

Guru bahasa Indonesia saya waktu SMP bernama ibu Hj. Murniati.

Masyaallah, caranya mengajarkan bahasa Indonesia sangat membekas dalam ingatan saya. Dari beliaulah saya mengetahui cara menggunakan buku kamus bahasa Indonesia. Mungkin anak zaman sekarang akan berpikir, segitu ribetkah membaca buku kamus bahasa Indonesia sehingga perlu diajari oleh ibu guru.

Waktu itu, sangat ribet, menurut saya, hehehe.

Saya semakin menyukai pelajaran bahasa Indonesia karena kepiawaian beliau mengajarkan bahasa Indonesia. Beliau mengajar dengan lemah lembut. Pengucapannya sangat jelas serta tulisannya di papan tulis sangat rapi. Beliaupun sangat suka membacakan puisi.


“Bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia. Jika kalian tidak mencintai bahasa Indonesia dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, maka kalian bukan rakyat Indonesia yang baik.” Hj. Murniati.


Pesan beliau itulah yang membuat saya semakin rajin membaca dan rajin menulis di buku harian.  

 

Putus Asa  Belajar Bahasa Indonesia

 

Saya pernah berputus asa belajar bahasa Indonesia. Kejadian itu saya alami waktu SMA. Kenapa?

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada ibu guru pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia, saya merasa, kalau pada waktu itu belajar bahasa Indonesia tidak asyik.

Guru saya itu jarang sekali membahas tentang sastra apalagi membahas puisi. Sekalinya membahas tentang sastra, terasa garing. Sekadar menghapal nama-nama sastrawan tanpa membahas karyanya. Sementara saat itu saya sedang senang-senangnya dengan puisi. Senang membaca sekaligus mencoba-coba menulis puisi.

Maka jadilah saya tak suka belajar bahasa Indonesia. Untungnya, saya akrab dengan ibu penjaga perpustakaan, sehingga saya leluasa bersembunyi di situ sembari membaca saat pelajaran bahasa Indonesia berlangsung.

Sekalipun saya tak menyukai pelajaran bahasa Indonesia saat itu, tetapi kecintaan saya terhadap bahasa Indonesia tak pernah pupus. Buktinya saya masih rajin membaca buku karya penulis-penulis Indonesia, masih rajin membeli buku asli mereka, bukan buku bajakan, eh. 

 

Periksa Saja Jawabannya Bukan Tulisannya

 

Sebagai guru yang mengampu pelajaran IPA di tingkat SMP, saya sering diprotes oleh murid-murid saya. Walaupun tidak terang-terangan, tetapi jelas terdengar helaan napas kekecewaannya.

Apa pasalnya?

Saat memeriksa tugas mereka, saya selalu mencermati tulisan tangannya. Sekalipun jawaban atas tugas  mereka benar, jika tulisannya tidak sesuai maka saya anggap salah. Misalnya, penempatan huruf kapital yang tidak pada tempatnya, maka saya coret dan mengurangi nilainya.

Beberapa kali diprotes sama mereka, tetapi saya jelaskan kalau jawabannya sudah benar, tetapi penempatan hurufnya yang tidak cocok. Biasanya mereka menghela napas sembari berbisik, “hanya salah tempat huruf, dipermasalahkan juga.”

Yah, itulah salah satu cara saya menunjukkan kecintaan kepada bahasa Indonesia. Memberi kesan kepada murid-murid saya, bahwa menulis dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah wujud cinta kita kepada bangsa ini, Indonesia tercinta.

Apakah tindakan saya itu berhasil? Wallahualam.

Saya meyakini, murid yang pernah saya protes tulisannya itu memiliki kesan mendalam dengan bahasa Indonesia, sebagaimana saya dulu pernah dikritik oleh Ibu Hj Murniati sekaligus diajari menulis kata “TERIMA KASIH” bukan “TERIMAH KASI.”

 


Tulisan ini adalah memenuhi tantangan menulis dari Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP).

Baca juga tulisan tentang menulis di sini ya 

Read More

Insiden Selama PJJ

Sunday, October 17, 2021



Insyaallah, besok sekolah tempat saya bertugas sudah bisa melakukan pembelajaran tatap muka (PTM). Segala persiapan baik secara teknis maupun non teknis sudah diupayakan sedemikain rupa agar proses PTM berjalan lancar. Mulai dari teknis pengaturan siswa saat memasuki lingkungan sekolah, pengaturan jadwal mengajar serta pengaturan kehadiran siswa yang disesuaikan dengan protokol kesehatan.

Beberapa sekolah di kota saya sudah sepekan melakukan PTM, yaitu sekolah-sekolah yang dinyatakan telah memenuhi syarat untuk PTM pada tahap pertama. Alhamdulillah sekolah saya masuk pada tahap kedua.

Namun, bukan cerita itu yang ingin saya kisahkan dalam postingan saya kali ini, melainkan cerita-cerita yang mewarnai perjalanan saya selama  proses pembelajaran jarak jauh berlangsung.

Bagaimana kisahnya? Teruskan membacanya ya.

 

Ketika Pembelajaran Jarak Jauh Menjadi Solusi

 

Pembelajaran online, pembelajaran daring, pembelajaran jarak jauh (PJJ)  hingga Belajar Dari Rumah (BDR) adalah istiilah-istilah yang akrab di telinga kita selama kurun waktu 1 tahun 8 bulan ini.

Masih hangat dalam ingatan ketika pertama kalinya saya mengabarkan kepada siswa tentang belajar di rumah selama 14 hari. Mereka bersorak gembira.

Jujur, saat itu sayapun sedikit gembira. Pikirku, bisa leha-leha nih di rumah.

Lalu berbagai rencana otomatis tersusun dalam otak saya. Menulis lanjutan naskah yang sudah lama terlupakan, menggunting dan menjahit baju, taplak meja atau gorden, juga mau membaca buku yang sudah lama bertengger manis dalam rak buku serta masih banyak lagi rencana-rencana dalam pikiran saya.

Namun, apa yang terjadi?

Jauh api dari panggang, heuuu.

Ternyata 14 hari di rumah itu, para guru malah makin sibuk dengan urusan belajar mengajar. Mesti menyiapkan bahan ajar, mengolah materi pembelajaran yang biasanya dijelaskan langsung di depan siswa menjadi materi yang bisa diajarkan secara online. Dan itu tak semudah menjetikkan jemari loh.

Para guru “kaget” dengan keadaan yang tiba-tiba berubah drastis itu. Terutama yang belum akrab dengan teknologi digital. Kita tahulah, saat itu masih ada guru yang termasuk kategori gagap teknologi. Ada yang hanya menggunakan media sosial untuk nulis status di facebook, ada pula yang hanya lincah meneruskan tulisan orang lain di WAG sekalipun itu tulisan atau gambar atau apapun itu yang sudah sekian  ratus kali diteruskan.

Bahkan ada guru yang tiba-tiba mengubah dirinya menjadi artis. 

Heuu, itu saya, hahaha, tetapi saya gagal. Baca saja kisahnya dengan mengklik → Gagal Jadi Artis.

Namun, manusia itu adalah makhluk hidup yang dianugerahi oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling jago beradaptasi.

Tidak perlu waktu lama, dengan cepat para guru beradaptasi dengan keadaan. Lalu akhirnya para guru menjadi akrab dengan berbagai aplikasi yang bisa digunakan untuk mengajar online. Mulai dari classroom, zoom, google meet dan sebagainya.

Aplikasi WhatsApp adalah aplikasi yang paling sering digunakan, karena disanalah terciptanya “kelas” berupa grup-grup WA. Saya yang mengajar lima kelas saat itu otomatis punya 5 grup kelas ditambah grup khusus orang tua dan grup khusus wali kelas.   

Sejak saat itu, notifikasi di gawai saya “bernyanyi” setiap saat. Tidak pagi, siang maupun malam, gawai saya sibuk sekali. Siswa-siswa saya “rajin sekali”, mulai dari mengisi list sebagai tanda kehadirannya atau mengirim tugas berupa gambar, mengirim fotonya saat belajar hingga mengirim video.

Rasanya menyesal juga minta mereka mengirim fotonya apalagi saya sok-sokan meminta video tugasnya. Pasalnya gawai saya “berteriak” karena memorinya penuh, ha-ha-ha.

Namun, itulah konsekuensinya. 

Apakah berjalan mulus? Tidak semuanya, karena beberapa kali terjadi insiden. Kok, masih bisa terjadi insiden sih, kan tidak ketemu fisik dengan anak-anak.

Nah, itulah salah satunya yang ingin saya tuliskan.

Teruskan membaca ya. Kalau kalian mau ngeteh dulu, silahkan. Bisa kok baca blog ini sambil ngeteh atau ngopi. Selonjoran di atas meja atau di kasur. Asal jangan keterusan tidur saja ya.

 

Insiden-Insiden Belajar Selama PJJ

 

Jangan dikira insiden dalam pembelajaran  itu hanya bisa terjadi di kelas saat tatap muka. Saat mengajar daringpun sering terjadi. Berikut ini adalah tiga insiden yang cukup parah yang saya dan Ayangbeb alami. Walau masih banyak dan sering terjadi insiden-insiden lainnya. Hanya saja tidak cukup menguras emosi jiwa, jadi tak perlulah dituliskan.

 

Salah Kirim Stiker

 

Ini kisah yang dialami oleh Ayangbeb. Sedang asyik-asyiknya beliau memberi instruksi di wag tiba-tiba ada anak yang mengirim stiker berupa gambar orang sedang menungging. Kalau tungging saja sih mungkin bisa diterima sekalipun dongkol. Lah, itu tunggingnya dengan posisi pantat terlihat dari belakang dan tidak pakai celana. Kebayang kan kesalnya.

Terus ujung-ujungnya si anak bilang kalau gawainya sedang diretas. Alamak, gurumu tidak sebodoh itu juga kali, sebegitu gampangnya dibodohi.

Usut punya usut, pengakuan si-anak stiker itu ditujukan buat temannya karena kesal. Masalahnya itu bapak guru sedang mengetik pesan Nak. Elus dada deh.

Lagian itu stiker tidak pantas dikirimkan kemanapun termasuk ke teman sendiri, sekalipun kamu sedang kesal Nak!

 

Suaramu Masih Jelas Terdengar Nak!

 

Setelah melewati satu semester pembelajaran daring, baik guru maupun siswa sudah mulai akrab dengan penggunaan aplikasi zoom dan google meet. Anak-anak sudah terbiasa berdiskusi secara daring. Bertanya, menjawab bahkan sekedar nyeletuk-nyeletuk unfaedah kerap terjadi.

Kalau sekadar candaan, masih bisalah ditolerir. Nah, yang saya alami rasanya sudah mengusik jiwa harga diri saya sebagai guru.

Ceritanya begini.

Waktu itu saya mengajar di aplikas google meet dengan menggunakan laptop. Rupanya baterai laptop saya mulai menurun dayanya. Agar proses pembelajaran tidak terputus, saya buka juga google meet di gawai saya. Laptop otomatis tidak menyala dan saya keluar dong dari google meet.

“Permisi Nak, ibu mau pasang carger laptop dulu, kamera saya off kan ya” Saya bicaranya melalui gawai.

Tiba-tiba ada suara seorang anak laki-laki.

“Ih, kurang ajarnya ibu. Keluar dari room tidak bilang-bilang”

Astagfirullah, jadi darting dong sayanya.

Tadinya gairah mengajar sedang naik-naiknya berubah jadi turun drastis. Rasanya bagaikan sedang mesra-mesranya dengan kekasih tiba-tiba di ghosting. Kebayang kan kesalnya.

Anak itu pikir, saya sudah keluar dari room google meet sehingga ia dengan gampangyna mengumpat saya, padahal suaranya masih jelas terdengar  di gawai saya.

Saya bertanya, siapa pelakunya?

Pelaku tak bicara yang intinya tidak mau mengakui. Berhubung saat itu saya sedang sibuk memasang carger, maka saya tidak mencermati siapa pelakunya.

Pembelajaranpun saya hentikan. Tidak mungkin dong saya teruskan mengajar dengan hati kesal. Teman-temannya ikutan kesal, lalu ada anak yang japri ke saya dan memberitahu siapa pelakunya.

Setelah beberapa hari, melalui wali kelasnya ditemukanlah pelakunya. Saya tidak minta anak itu dihukum, hanya meminta orang tuanya bersama anaknya datang untuk berdiskusi.

Apa yang terjadi setelah insiden itu? Laiknya ibu yang marah sama anaknya, kalau si anak sudah minta maaf maka masalah selesai.

Begitulah. Masalah selesai, tetapi saya tetap tuliskan di sini sebagai kenang-kenangan, hi-hi-hi.

 

Foto Profilku Digunakan Untuk Membodohi Siswa

 

Suatu malam, A. Nurul Mawaddah wali kelas VII mengontak saya. Beliau mempertanyakan, betulkah saya memerintahkan anak walinya menginstal aplikasi Snac Video?

Lah, bagaimana ceritanya. Saya kan tidak mengajar di kelas anak tersebut.

Kemudian beliau mengirim beberapa foto hasil tangkapan layar (sceenshot)  orang tua siswa. Tampak di foto itu, saya meminta siswa untuk mendownload aplikasi snac video. Mengapa wali kelasnya berkesimpulan kalau itu adalah saya, karena foto profil yang mengirim pesan itu menggunakan foto profil WathsApp saya. Untungnya ibu wali kelas yang teliti itu memeriksa nomornya, dan ternyata itu bukan nomor saya. 





Innalillah! Rupanya ada oknum yang mencuri foto profil WA saya.

Dan, sampai saat ini, baik saya maupun wali kelasnya belum mengetahui siapakah pelakunya.

Saya berusaha berprasangka baik sajalah. Mungkin oknum tersebut sedang kesusahan mencari uang sehingga menjadikan anak kelas VII yang tidak mengerti apa-apa sebagai korbannya.

Dengar-dengar orang yang bisa mengajak orang lain menginstal aplikasi tersebut akan mendapatkan sejumlah uang.

Nah, dengan menggunakan foto profil saya, si anak akan dengan mudah mengikuti perintahnya. Lah, yang meminta kan gurunya yang manis manja ini, siapa tahu anak-anak nurut gitu kan ya? Ha-ha-ha.

Saya hanya berharap, siapapun pelakunya segera bertobat. Sebab saya pikir, perbuatan ini sulit dilakukan oleh siswa yang masih anak-anak itu. Bisa jadi dilakukan oleh orang dewasa, mungkin orang tuanya atau kakaknya. Wallahualam bissawab.

Dari beberapa kali wawancara dengan anak-anak yang terkait dengan kejadian tersebut justru bingung. Bahkan salah satunya sudah mengikuti permintaan yang mengaku saya itu, menginstal aplikasi Snac Video.

 

Penutup

 

Dari beberapa insiden yang saya paparkan di atas, bisa disimpulkan, bahwa semua itu terjadi karena kecerdasan literasi digital anak-anak masih sangat rendah.

Kalau anak-anak yang masih kurang cerdas literasi digitalnya masih bisalah dimaklumi. Yang disayangkan itu adalah kalau yang kurang cerdas literasi digitalnya adalah orang dewasa apalagi kalau itu adalah gurunya.

Apa kata dunia.

Eits, kok larinya ke litersi digital sih. Soal ini nanti deh saya tulis. Psst, sudah ada drafnya, tetapi belum masuk meja editor. Haisss gaya amat saya yah. hahaha.

Demikian cerita saya seputar pembelajaran jarak jauh. Semoga terhibur dan terinspirasi. Selamat belajar tatap muka buat kalian yang masih berstatus pelajar, semoga sukses. 

Kalian bisa juga nih baca tulisan saya tentang WFH ↦  di sini

Covid Melanda Efektifkah belajar Daring klik ↦ di sini

 

Makassar, 17 Oktober 2021

Dawiah

Read More

Menulis Bebas Bisa Menghalau Writer’s Block

Wednesday, October 13, 2021







Sudah beberapa hari ini saya tidak berniat menulis apalagi posting di blog.

Ide sih ada saja yang muncul di kepala, tetapi saya acuh tak acuh dan malahan asyik membaca cerita fiksi di aplikasi membaca online.

Anehnya, saya mengeluhkan ke teman tentang kemandekan menulis saya itu. Bilang tak ada idelah, lagi bad mood lah, lagi sibuk dengan kerjaan sekolah, lagi pelatihan dan sebagainya.

Lucu kan?

Kalau dipikir-pikir, sepertinya saya memang lagi berada di suasana hati yang buruk. 

Ini untuk urusan menulis, apa lagi ya namanya? Istilah bahasa Inggris soalnya dan saya rada-rada deh kalau urusannya istilah dalam bahasa asing.

Oh ya, writer’s block!

Baru ingat saya. Itu tuh keadaan di mana penulis mengalami kebuntuan dalam menulis. 

Psst, dibisikin sama Om Google yang baik hati dan tidak pelit ilmu.

Katanya lagi, orang yang mengalami writer’s block biasanya dipicu oleh beberapa hal, antara lain.

  • Penulis melakukan riset yang lama sehingga idenya tidak jalan.
  • Takut tulisannya dikritik. Ini nih tidak siap mentalnya.
  • Terlalu perfeksionis, ingin menghasilkan tulisan yang sempurna.

Lah, terus saya berada di level mana?

Pertama, saya tidak sedang meriset untuk tulisan di blog pribadi saya. Ada sih tulisan saya yang mandek karena persoalan riset. Itu tuh naskah fiksi yang pernah saya ikutkan di tantangan menulis di facebook jadi buku. Ada yang ingat nda?

Tidak yah? Yah sudah wkwkwk.

 

Kedua, saya tidak pernah takut dikritik kok. Kritik saja tulisan saya. Saya siap dan berterima kasih. Bukankah itu tambahan ilmu buat saya? Malahan merasa tersanjung, karena itu berarti tulisan saya dibaca dengan sepenuh hati, bukan sekedar menggugurkan kewajiban ngebewe, hahaha.

Hayoo, ada yang tersinggung perkara blog walking ini?


Ketiga, saya tidak perfeksionis. Bagi saya tidak ada manusia yang sempurna termasuk tulisan. Kan, yang sempurna itu hanya Yang Maha Sempurna itu sendiri. Makanya saya percaya diri saja menulis dan posting di blog, bahkan saya percaya diri menarsiskannya di semua media sosial saya, wkwkwk.

Lalu kenapa saya mengalami kemandekan menulis?

Apa? Jawablah Ferguzo!

Yah, sudahlah. Lupakanlah penyebabnya. Lebih baik kita cari saja solusinya. Tidak baik loh, seorang yang mengaku-ngaku penulis tetapi tidak menulis kayak saya.

Ngaku penulis, tapi tidak ada tulisannya

Ngaku bloger, tetapi blognya berisi sarang laba-laba bahkan ada yang sudah lupa kunci blognya ditaruh di mana.

Untungnya saya belum sampai di level itu. Blog saya masih aman, laba-labanya masih enggan bercokol lama-lama di sana. Lah saya rajin membersihkannya kok.

Apalagi kunci untuk membuka buka blog utama saya, masih aman. Setiap hari saya buka, minimal mengecek, kapan terakhir saya posting.

Bahkan tahun ini berhasil menerbitkan dua buku non fiksi, sekalipun buku antologi. 

Tidak apa-apa kan? Antologi itu juga buku kok. Tenang saja, masih bisa dipamerkan di media sosial. Ha-ha-ha. Dawiah emang begitu orangnya.


Kembali ke solusi agar tidak kelamaan mandek menulisnya.

Sekali lagi Om Google menjadi ujung tombak saya dalam mencari jawabannya, yaah minimal dapat informasi tentang cara menghentikan writer’s block dalam jiwa saya yang mulai rapuh.

Ih, apa seeh…

Dari berbagai sumber yang ditampilkan oleh si Om yang tak pelit ilmu itu saya mendapatkan beberapa caranya.

Mau bilang terima kasih dulu sama si Om ah, I love you tallu cabbu Om Google! Mmuahhh!!

Apa katanya Om Google?


Membaca Buku dan Mencari Inspirasi di Media Sosial


Yang ini sih sudah saya lakukan. Membaca buku hingga tamat. Bahkan saking asyiknya saya membaca hingga lupa menulis.

Terus buka media sosial. Ini apa lagi, makin buntu. Yang ada, saya malah keasyikan membuka-buka semua media sosial. Mulai dari grup WhatsApp, baca-baca kirimannya anggota grup terus ke Facebook, pindah ke Instagram terusss hingga nontonin orang masak-masak di Tiktok.

Kurang apa lagi coba?

Jika kalian mengalami hal yang sama, jangan mencontoh saya ya.

Tidak baik.

Siapa tahu, kalian menemukan ide dan makin lancar menulis setelah membaca dan membuka media sosial. Iya kan?

 

Berolahraga Ringan

 

Katanya, sehabis olahraga biasanya badan segar dan pikiran kembali jernih.

Ok, saya lakukan!

Saya jalan-jalan sore dong di mal, lanjut jajan hamburger (kata driver tercinta, tak sahih jalan di mal tanpa makan) Bhahaha.

Woii, saya salah dalam menginterpretasikan olahraga. Bukan begitu yang namanya olahraga. Makanya saya gagal total.

 

Ingat Motivasi Menulis

 

Cobalah ingat-ingat lagi motivasimu menulis. Biasanya ampuh tuh untuk membangkitkan semangat menulis kita. Ini masih saran dari si Mbah.

Apa yah motivasi menulis saya?

Dahulu sebelum merasakan nikmatnya dapat transferan hasil menulis, motivasi saya adalah mencurahkan isi hati. Sayangnya saat ini, tidak semua curahan hati bisa dituangkan.

Masa iya saya curhat tentang Ayangbeb yang kian hari kian manja. Maunya disiapkan sarapan yang lengkap lauknya. Ada sayur bening kesukaannya, ada ikan masak kuning dan sambal tomat.

Ih, tidak asyik sekali kan dituliskan? 

Kalau sifat manjanya muncul, saya tidak perlu tulis di blog, cukup mengirim link tiktok yang berisi pesan yang isinya seperti ini.

“Kalau kamu mengharapkan istrimu punya penghasilan maka bersiaplah dia tak bisa 100% mengurus rumah tangga. Kalau kamu mengharapkan istrimu mengurus rumah tanggamu secara penuh, maka kamu harus bersiap memiliki penghasilan yang lebih banyak, sebab istrimu tak bisa membantumu. Berkacalah! Setampan apakah kamu, sekaya apakah kamu? Sudah sempurnahkah kamu?”

Daaaan, saya sukses membuatnya terpaku. LOL.

Ingat! Ini jangan dicontoh. Terutama yang baru membina rumah tangga, bisa perang dunia kalian.  Hahaha.

Motivasi saya menulis lainnya adalah ingin mendapatkan cuan. 

Cuan darimana coba? Lah, kemarin saya dapat job menulis, saya tolak. Tidak sesuai dengan hati nurani.

Oh yah, ada sih pesanan artikel, sudah disetujui jumlah payment nya, tiga artikel sekaligus, tetapi belum ada brief nya. Kalau briefnya sudah ada, produknya sudah datang kan enak tuh. Langsung, cuss nulis!

Apa lagi yah cara menghalau writer’s block?

 

Menulis Bebas


Nah, ini masih kata Om Google. Katanya menulis bebas itu bisa memancing otak kita untuk menggali kata-kata yang sebenarnya sudah ada dalam memori. 

Benarkah itu?

Baiklah, saya menulis bebas saja. Saya mau menulis apa saja yang ada di pikiran saya. Apaaaa saja.

Termasuk tulisan ini.

Ih, ternyata sudah lebih 900 kata tanpa saya sadari. Terima kasih Om Google. selanjutnya saya posting di blog ah.

Terima kasih kalian sahabatku sudah meluangkan waktunya membaca tulisan bebas saya. Sampai jumpa dengan tulisan saya yang lebih terarah dan berbobot.

By the way, tulisan ini judulnya apa yah?

Ini saja kali, “Menulis Bebas Bisa Menghalau writer’s block.

Bisa juga nih kalian baca-baca tentang Rahasia Menulis di Blog. Ihsss, gaya juga ya saya, sok-sok kasi nasihat tentang menulis, padahal sering mandek juga. Ha-ha-ha.

 

Makassar, 13 Oktober 2021

Dawiah

Read More