Sejak
kecil saya suka membaca. Menulis hanya sebatas menulis di buku diary, itupun
hanya berisi segala perasaan yang melanda di dada, menuangkan kemarahan-kemarahan dan kekesalan
saya kepada seseorang atau kepada sesuatu.
Seperti saat saya mendapatkan nilai buruk sehabis
ulangan, maka buku diary adalah tempat saya melampiaskan kekecewaan kepada
guru. “Kenapa soalnya terlalu sulit,
kenapa soalnya tidak sama dengan materi pelajaran yang saya pelajari, dan lain
sebagainya.” Padahal dasarnya, saya saja yang kurang belajarnya.
Menulis
tentang apa saja di buku diary berlanjut terus hingga saya menikah. Ketika saya
marah kepada suami, maka namanya pasti tertulis di buku diary itu. Jika saya
gembira karena limpahan kasih sayangnya, maka kepadanya saya persembahan
puisi-puisi cinta. Kadang saya menulis sambil berurai air mata, kadang pula
saya menulis dengan senyuman tersungging di bibir.
Tiga
tahun awal penikahan, saya lalui di desa yang cukup terpencil. Akses
menuju ke desa tempat saya bertugas belum terlalu lancar. Pasar tradisionalnya
digelar hanya dua kali sepekan. Selain itu, tidak ada toko atau warung yang
menjual alat tulis kantor yang lengkap. Karenanya ketika buku diary saya sudah
penuh, sementara kebutuhan untuk menulis tidak bisa ditunda, maka pilihannya
jatuh kepada buku tulis, seperti buku tulis yang biasa digunakan oleh siswa
saya.
Hingga
suatu waktu, buku itu hilang. Seharian saya mencari buku itu, tetapi tidak
ketemu juga. Sementara tangan ini sudah gatal untuk menulis. Ada ide di kepala
saya untuk menulis puisi atau sekedar kata-kata manis buat suami saya. Waktu
untuk menulis saat itu sangat pas, anak saya sudah terlelap di atas ayunannya,
suami pergi ke kota untuk menjenguk ibunya.
Untuk mengantisipasinya, saya
mengambil selembar kertas dari buku PR siswa saya, semoga siswa saya itu
mengikhlaskan kertasnya.
Di
secarik kertas itulah saya menuliskan perasaan cinta saya kepadanya, rasa bahagia,
kekaguman dan sebagainya hingga kertas itu penuh, timbal balik. Mungkin kalau
waktu itu diketik, paling-paling hanya sekitar 200 hingga 300 kata. Kertas itu
kemudian saya lipat dengan rapi, lalu saya selipkan di antara lipatan baju
dalam lemari.
Suatu
waktu, kertas itu ditemukan oleh suami saya. Ia membacanya. Saya melihatnya. Sambil menahan
debaran di dada, mengharap ia datang memeluk saya sambil berucap, “Terima kasih
sayang, saya juga selalu sayang sama kamu.”
Saya deg-degan menanti momen yang
saya impikan itu.
Kurang
dari lima menit, ia membaca kertas itu. Aneh bin ajaib, suami saya menatap
tajam kepada saya. Tatapannya seakan menghunjam ke dalam hati. Saya balas
menatapnya dengan mulut melongo sambil bertanya, “Ada apa Pak?”
“Siapa
itu Hasbi?” Mulutnya mendesis. Suaranya bagaikan amukan harimau yang tertahan.
“Hasbi?
Siapa itu Hasbi?” Saya balik bertanya. Bingung, kenapa nama itu keluar dari
bibirnya setelah membaca kertas itu.
“Iniiii…”
Katanya sambil menyodorkan kertas itu.
“Di
sini Mama menulis kata-kata cinta, sayang, kagum, dan pujian kepada si Hasbi
itu!” Suaranya geram, menahan kemarahan yang seakan siap meledak.
Saya
meraih kertas itu.
Yah Rabbi!
Rasanya
ingin terbahak-bahak, tetapi saya sadar suami saya sedang dilanda cemburu, maka
ketawa itu saya tahan. Namun senyum saya tidak bisa saya sembunyikan. Suami
saya semakin murka.
“Kenapa
senyum! Mama suka sama dia?” Bentaknya sambil meremas lengan saya.
Sambil
menahan senyum saya memeluknya, saya raih lengannya, saya ciumi punggung
tangannya. Suami saya belum bergeming.
Saya merengkuh lehernya, saya mengecup
bibirnya. Terasa bibirnya dingin. Saya berbisik halus di telinganya, “Sayang, tulisan itu untuk kamu.”
“Coba
baca baik-baik judulnya.” Sambil menyodorkan kertas itu, saya menarik
pinggangnya untuk duduk di pinggir ranjang.
Di
kertas itu saya menulis judulnya, For My
Husband. Karena tulisan itu adalah tulisan tangan, dan tulisan tangan saya
kurang rapi sehingga kata Husband
dibaca Hasbi.
Hahaha …
Untunglah,
tulisan itu saya akhiri dengan kalimat, “Suamiku, sehat terus ya..dan kamu
tetap disayang Allah. Semoga kita akan terus bersama hingga maut memisahkan
kita. Aamiin.”
Suami
saya tersenyum malu-malu meong sambil
berkata, “Ah siapa suruh tulisanmu jelek, kan saya jadi cemburu.”
Ha…ha…ha…
kami tergelak bersamaan sambil berpelukan.
Sejak
saat itu, saya berusaha menulis dengan rapi, agar Husband tidak lagi dibaca Hasbi.
Apa
kabar dengan buku tulis sekaligus buku diary saya yang hilang?
Nantikan jawabannya di buku antologi "Menulis Berbagi Rasa dan Cerita".
Nantikan jawabannya di buku antologi "Menulis Berbagi Rasa dan Cerita".
To
be continued …