Mengukir Kenangan di Balocci
Sabtu pagi yang cerah, saya bersama Bu Ida meninggalkan kota Makassar menuju desa di kaki gunung Bulusaraung.
Sepanjang perjalanan saya sibuk mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan yang mulai mengabut dalam ingatan.
Bukan tidak penting, tetapi banyak bagian dari kenangan itu yang pernah saya dan Ayangbeb niatkan untuk meninggalkannya di situ saja. Kami sepakat untuk tidak membawanya sekalipun itu hanya kenangan.
Namun, yang namanya kenangan, kita tidak bisa begitu saja mengabaikannya. Kadang datang menyeruak dalam ingatan tanpa diundang.
Dan, hari Sabtu itu saya dipaksa untuk datang ke asal kenangan. Lalu, saya sibuk menatanya agar bisa tercipta utuh. Tak perlu semuanya, cukup menghadirkan wajah-wajah murid yang pernah kami ajar pada tahun 1986 sampai tahun 1993.
Sekitar pukul 11.00 mobil yang saya dan Bu Ida tumpangi memasuki halaman sekolah. Hanya saya dan Bu Ida yang turun sedangkan anaknya Bu Ida yang menyopiri kami memutar mobilnya ke rumah kakaknya bu Ida untuk istirahat.
Saya berjalan memasuki halaman sekolah dengan kenangan yang tidak utuh. Terlalu banyak yang hilang dan saya susah payah menghadirkannya kembali.
Apalagi setelah bertemu mantan murid-murid yang saya ajar sekitar 35 tahun lalu. Mereka serempak menyambut kami dengan senyum lebar disertai kata-kata manis.
"Masyaallah, bu guruku tidak berubah, masih seperti dulu."
"Bu guru masih cantik."
Masyaallah, sambutan manis yang melambungkan perasaanku.
Dokpri. Saya di antara mantan muridku |
Dokpri Melepas kangen dengan mantan muridku |
Pada dasarnya semua orang berubah, tetapi kadang perasaan kita yang tidak bisa beranjak dari ingatan lama. Misalnya fisik saya saat pertama kali menginjakkan kaki di kaki Gurung Bulusaraung ini, saat usia masih 22 tahun pastinya mengalami banyak sekali perubahan dibandingkan saat ini di mana usia sudah setengah abad lebih.
Kalaupun murid-muridku mengatakan “masih seperti dulu, tidak berubah, masih cantik dsb.” Bukan berarti tidak ada perubahan melainkan mereka yang merasa sangat berubah karena mereka terus bertumbuh dan berkembang dengan cepat.
Bayangkanlah anak SMP, usia masih belasan, masih unyu-unyu lalu berproses menjadi dewasa, ada yang telah menikah bahkan ada yang sudah bercucu dan seterusnya maka pastilah perubahannya sangat nampak.
SMP Standar Balocci Dalam Bingkai Kenangan
Tahun 1986 saya menginjakkan kaki di sekolah yang diberi nama SMP Standar Balocci. Saya tidak tahu, apa sebabnya disebut sekolah standar. Yang jelas sekolah itu masih baru dan satu-satunya sekolah negeri tingkat menengah pertama di kecamatan Balocci.
Dari semua personil yang bertugas di SMP Standar, hanya kepala sekolah dan bujang sekolahnya yang sudah menikah. Selebihnya, mulai dari kepala Tata Usaha, staf Tata Usaha hingga guru-gurunya masih lajang dan masih muda.
Rata-rata guru yang ditempatkan di sekolah itu adalah alumni diploma IKIP, tidak ada satu pun yang sudah bergelar sarjana.
Ada yang lepasan Diploma 2 bahkan ada yang hanya Diploma 1. Diploma 2 artinya hanya mengecap pendidikan guru selama 2 tahun dan Diploma 1 yaah belajar jadi guru di IKIP hanya 1 tahun.
Jadi kalian bisa menghitung usia guru-gurunya bukan?
Yang tertua waktu itu adalah yang sekarang menjadi suami saya, kelahiran 1962 karena itulah beliau didaulat menjadi wakil kepala sekolah.
Jadi bukan karena kompetensi atau pengalamannya yang menjadi dasar penunjukan jadi wakil kepala sekolah. Lah, kita semua sama-sama guru baru, minim kompetensi apalagi pengalaman.
Kalau soal pengalaman mengajar, mungkin saya masih bisa menepuk dada waktu itu, karena saya sudah mengajar sejak tahun 1984, dua tahun sebelum terangkat menjadi guru ASN dan ditempatkan di sekolah itu.
Namun, soal kompetensi, kita sama. Sama-sama masih belajar dan berjuang mengukir prestasi.
Berada di lingkungan baru dan minim fasilitas membuat jiwa kotaku memberontak. Tidak ada listrik, tidak ada air bersih, pasar jauh dan hanya beroperasi dua kali sepekan. Itu semua yang memicu niatku untuk segera pindah dari sana.
Namun, takdir berkata lain.
Allah Swt telah menulis di Lauhul Mahfudz kalau jodoh saya menanti di Balocci. Kita sama-sama lahir di Kota Makassar, jauh-jauh dibawa ke desa untuk dipertemukan dan ditakdirkan membangun rumah tangga. Begitulah, jodoh memang rahasia Ilahi.
14 Februari 1990 saya menikah dengan Pak Wakil Kepala Sekolah dan mencoba bertahan stay di sana hingga lahir anak kedua. Tahun 1993, saya memaksa Ayangbeb pindah dan kembali ke kota asal yaitu kota Makassar.
Usaha pindah mengajar sebenarnya sudah kami lakukan sejak hamil anak pertama, tetapi baru terwujud saat anak kedua lahir. Oktober 1993 saya resmi mengikuti ayangbeb yang 3 bulan lebih dahulu pindah ke SMP Negeri 7 Makassar.
Lalu jejak kehidupan dan semua kenangannya selama di Balocci, perlahan tapi pasti mulai memudar. Kami terus melangkah dan hanya sesekali bercerita kepada anak-anak, bahwa dahulu ibu bapaknya ini dipertemukan oleh Allah di suatu desa di kaki gunung Bulusaraung.
Setelah 35 Tahun
Sebenarnya mengunjungi kembali desa Balocci ini bukan yang pertama kalinya. Setelah pindah pada tahun 1993, saya bersama Ida pernah mengunjungi desa ini pada tahun 2018 dan mengabadikannya dalam tulisan yang berjudul Menapaki Jejak 32 Tahun.