Hari
ini, Sabila duduk di depan pintu dapur sambil bertopang dagu, mukanya kusut, dan
cemberut. Saya meliriknya sekilas sambil
berkata dalam hati, “ah sudah biasa.”
Tapi
kok, kelihatannya ini lain, tidak
biasanya adik bungsuku ini, duduk bertopang dagu sambil memandang lurus tanpa
berkedip, ada apa yah?
Perlahan
saya menyentuh bahunya, masih tidak bergeming.
Saya
mendehem, ehem … ehem!
Masih
diam, seakan saya hanya angin sepoi yang numpang lewat.
“Kenapa
adiku sayang, kok muka kusut gitu?” Akhirnya saya tegur juga. Dia cuma melengos.
“Sabila
cantik marah yah sama kakak?” Saya
ikutan duduk sambil topang dagu, saya
sentuhkan lutut ke lututnya, kami berhadapan hanya sejarak 10 centi.
“Iii..kakak
ah, mama jahat!” Tudingnya dengan mata merah.
Wah,
ini bahaya, tidak lama lagi bendungan air mata akan meluap. Nah benar kan, dia
mulai melelehkan air matanya, ini tandanya kesalnya sudah masuk kategori
waspada.
“Kenapa
mama membunuh kucing Sabila!” Nah kan, mulai tuh muncul kata-kata tuduhan tanpa
ampun.
“Ih
kok adik kakak yang cantik ini nuduh
Mama, masa Mama dibilang pembunuh sih.” Saya merajuk, pura-pura sedih.
“Terus,
kalau bukan Mama, siapa coba yang singkirin kucing Sabila, Mama kan paling benci
sama kucing.” Mulut mungilnya bergerak-gerak lincah.
Begitulah,
adik saya selalu saja menuduh mama kalau berhubungan dengan kucingnya, soalnya
Mama suka kesal sama kucing, apalagi
kalau kucing itu kencing sembarangan.
Bahkan
buang tinja juga sembarangan, maka omelan mama bisa sepanjang hari. Belum lagi
kalau kucing Sabila masuk ke dapur, terus mencuri ikan, lalu dimuntahin di
lantai.
Masya
Allah!
Saat
itulah kemarahan mama akan memuncak, maka sapu lidi akan menjadi senjata mama
untuk memburu kucing lalu semua pintu ditutup rapat-rapat agar tak ada seekorpun
kucing masuk ke rumah.
Mungkin
itulah penyebabnya, adik bungsu saya ini langsung menuduh mama yang
menghilangkan nyawa kucing kesayangannya.
Tetapi
kali ini sudah sangat keterlaluan, masa mama saya yang super lembut, super
baik, yang sangat takut sama darah malah dituduh membunuh sih!
Ini
masalah nyawa loh, sekalipun hanya nyawa kucing tetapi kan sama saja, nyawa makhluk
hidup.
Wah…
wah… ini tidak bisa dibiarkan.
****************
Pelan-pelan
saya dekati mama yang lagi asyik menulis.
Oh
iya, cantik-cantik begitu, mama saya penulis loh.
Aaraghh,
tidak ada hubungannya!
“Ma,
lihat kucingnya Sabila nggak? Bisikku
halus di telinga mama. Mama menoleh sejenak, senyum simpul sambil menggeleng.
“Sabila
sedih Ma, dari tadi mukanya kusut kayak benang yang habis diperebutkan kucing
sama tikus.”
Eh,
mama malah senyum-senyum, sambil terus mengetik, matanya tak lepas dari layar
laptopnya.
“Ma!
Mama dengar nggak sih!” Saya coba
nambah volume suara.
“Iya,
mama dengar sayang, kucing Sabila sakit.” Kata mama tanpa menoleh sedikitpun.
“Hii,
berarti Sabila benar ya Ma, Mama pukulin kucingnya sampai sakit?” Aduh, saya kok ikut-ikutan menuduh mama sih.
Mama
menoleh. Tangannya menepuk lengan saya perlahan, “kamu juga ikut-ikutan adikmu
menuduh sembarangan.” Mata mama mendelik, pura-pura marah.
“Kata
dokter, kucing itu sakit karena kena virus. Sekarang lagi dirawat di rumah
sakit.”
“Siapa yang membawanya ke rumah sakit Ma?”
Tanyaku penasaran.
“Mamalah,
masa papa.” Jawab mama sambil balik lagi
ke laptopnya.
“Maafkan
kakak ya Ma, sudah ikutan menuduh Mama. Baik
Mama sayang, saya akan sampaikan sama Sabila”
Saya peluk leher mama, sambil ciumin rambutnya. Mama melirik sambil
tersenyum manis. Ah mama saya memang manis.
*************************
Sabila
lagi duduk di halaman belakang, masih dengan gaya yang sama, muka ditekuk, mata
memandang lurus, laiknya orang yang lagi patah hati. Saya dekati adik
kesayangan keluarga ini.
“Sabila,
saya sudah tahu berita tentang kucingmu.” Sabila hanya melirik.
“Ternyata
ada di rumah sakit, dibawa oleh Mama karena sakit flu.” Sabila tersentak dari
lamunannya.
“Apa
Kak! Mama yang bawa kucing saya ke rumah sakit?” Suaranya seperti teriakan
kucing yang lagi kejepit pintu. Saya mengangguk meyakinkan Sabila.
Sabila
berdiri, menepuk-nepuk roknya yang kena tanah, lalu berlari ke dalam rumah.
“Mamaaa…!”
Teriaknya, suaranya melengking. Membelah kesenyapan. Dia berlari memeluk mama
yang sekarang sudah mulai merapikan meja kerjanya.
“Maafkan
Sabila yah Ma, Sabila sudah salah menuduh Mama.” Sabila memeluk kaki mama
sambil terisak.
“Iya,
sudah yah sayang, Mama tidak marah kok.”
Nah,
tuh kan apa saya bilang, Mama nggak mungkinlah menyakiti kucing apalagi
membunuh, bisik saya dalam hati, tidak berani bicara ke dia, nanti Sabila tambah menyesal dan isaknya
menjadi raungan kesedihan.
Mama
dan Sabila berpelukan, dan saya memandang mereka dengan bahagia.
Anak-anak,
setelah membaca cerita anak ini, kalian bisa mengambil hikmahnya ya, yaitu:
- Kita tidak boleh langsung menuduh jika belum ada buktinya.
- Tidak boleh menyakiti hewan
- Jangan malu meminta maaf jika telah melakukan kesalahan.