Bumikan Sejarah, Dukung Mochammad Sroedji Menjadi Pahlawan Nasional

Sunday, April 7, 2019



Pelajaran Sejarah kurang disukai anak-anak, benarkah?

Kebiasaan saya setiap memasuki awal tahun pelajaran, saat pertama kali berjumpa dengan  peserta didik baru,  adalah bertanya tentang hal-hal seputar keluarganya, asal sekolah, hobbi dan pelajaran yang mereka sukai atau kurang disukai.

Pada umumnya mereka menjawab bahwa pelajaran yang paling tidak disukai adalah pelajaran matematika, karena menurut mereka itu adalah pelajaran paling sulit sehingga kurang diminati. Sedangkan pelajaran yang paling banyak disukai adalah pelajaran seni setelah pelajaran olahraga.

Ini hanyalah survei kecil-kecilan sehingga tidak bisa dijadikan tolok ukur, karena kenyataannya banyak juga murid saya yang suka pelajaran matematika.

Namun demikian, saya bisa menarik kesimpulan bahwa memang ada pelajaran-pelajaran tertentu yang hampir semua murid menyukainya dari tahun ke tahun,  Seperti olahraga dan seni.  

Bagaimana dengan pelajaran sejarah? 


Sepulang dari kegiatan diskusi tentang sejarah pada Ahad, 31 Maret 2019 di Up Normal Makassar, saya bertanya kepada Nabila, putri bungsu saya.

“Siapa pahlawan nasional yang kamu kenal?
Eh, ia balik bertanya. “Siapa di?”
Sejurus kemudian, ia jawab juga.
“Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Jendral Sudirman, Soekarno.”
Pertanyaan berikutnya.
“Siapa pahlawan nasional yang berasal dari Sulawesi Selatan?’
Spontan ia menjawab. “Sultan Hasanuddin.”

Alhamdulillah, ia tahu.  Tapi hanya itu. Selebihnya ia tidak tahu.

Pertanyaan ini sering juga saya lontarkan kepada murid-murid saya, Ironisnya, jawaban mereka hampir sama dengan jawaban Nabila.

Ada apa dengan Nabila dan sebagian besar murid-murid saya?

Saya pikir-pikir, itu bukan kesalahan mereka. Yang salah adalah saya dan sebagian besar guru-guru Indonesia. Saya dan mereka tidak pernah mengajarkan, menceritakan tentang siapa, mengapa dan bagaimana sejarah para pahlawan Indonesia itu.

Untungnya  belum terlambat, karena saya masih hidup sehingga  masih bisa menebus kesalahan itu dengan menceritakan tentang sejarah bangsa dan tokoh-tokoh  pahlawan Indonesia yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk kemerdekaan bangsa ini.
(Hm, saya harus belajar lagi ini tentang sejarah pahlawan-pahlawan Indonesia.)

Belum terlambat!


Karena ada bu Irma Devita yang terus  berjuang tanpa lelah  membumikan sejarah melalui Irma Devita Learning Center.

Perjuangan Irma Devita





Awalnya bu Irma Devita, berjuang untuk kakeknya sang patriot Moch Sroedji agar bisa dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Pengajuan itu dilakukan pada tahun 2016, walaupun sulit dan hingga hari ini belum terealisasi namun perjuangan bu Irma tak pernah surut.

Berangkat dari kisah-kisah yang diceritakan oleh neneknya, ibu Rukmini istri dari Moch Sroedji  tentang kegigihan kakeknya berjuang merebut kemerdekaan Indonesia,  Irma kecil berjanji kepada neneknya  untuk mengabadikan sejarah kepahlawanan beliau.

Hingga suatu waktu, Irma Devita  dirundung  kegelisahan seakan ada yang menagih janji yang pernah ia patrikan kepada neneknya. Ditambah lagi dengan  kerisauannya ketika mengetahui  bahwa masyarakat Indonesia terutama masyarakat Jember tidak mengenal sosok Letkol Moch Sroedji, sekalipun ada patung besar Moch Sroedji yang berdiri di tengah-tengah kota Jember, bahkan namanya dijadikan nama jalan.

Maka di sinilah awalnya, bu Irma mulai menapaki sejarah Moch Sroedji. Mengumpulkan data dan informasi tentang kepahlawanan beliau.

Tak lelah berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya demi mengumpulkan data, menyusuri  jejak-jejak perjuangan sang  Letkol Mochammad Sroedji hingga ke pelosok desa bahkan ke negeri Belanda.


Setelah semuanya terkumpul, bu Irma menghimpunnya dalam sebuah novel yang bertajuk “Sang Patriot”
Tidak berhenti sampai di situ, bu Irma juga menyusun tiga komik sekaligus dengan judul yang sama, Sang Patriot.

Mengenalkan Pahlawan Indonesia, Membumikan Sejarah Bangsa


Yang menarik dari kegiatan Irma Devita Learning Center adalah kegiatan sosialisasi yang tiada henti dan tanpa lelah untuk mendapatkan dukungan agar sang kakek, Letkol Moch Sroedji mendapatkan gelar sebagai  Pahlawan Nasional, justru berdampak kepada munculnya nama-nama pahlawan lainnya  yang juga sudah dilupakan oleh rakyat, terutama masyarakat Jember.

Bahkan tercipta satu program “1 sekolah 1 TNI” dan masyarakat Jember semakin antusias mencari dan menggali sejarah tentang pahlawan-pahlawan daerahnya.

Inilah yang disebarkan hingga ke Makassar. Bagaimana masyarakat Makassar, terutama generasi mudanya agar dapat  mengenal sejarah daerah sekaligus mengenal pahlawan-pahlawan daerahnya.


Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Pak Tjahyo. Harapan beliau, bagaimana kita bekerja sama dan menciptakan suatu sistem agar anak-anak lebih mengidolakan pahlawan bangsa sendiri.

Jangan sampai anak-anak kita lebih mengenal pahlawan fiktif, serupa batman dan sejenisnya daripada pahlawan bangsanya sendiri.

Karena dengan mengenal pahlawan bangsa, maka kita dan anak-anak telah  membumikan sejarah bangsa.

Bagaimana Caranya Membumikan Sejarah?


Ada diskusi dinamis dalam kegiatan hari itu. Bahwa berangkat dari pengalaman saya di sekolah, yang enam hari dalam sepekan bertemu dan bersentuhan langsung dengan anak-anak milenal, menemukan kenyataan.

Bahwa mereka, anak-anak yang lahir di tahun 2000-an ke atas cenderung lebih menyukai informasi yang visual, kurang konsentrasi untuk membahas sesuatu yang mereka anggap informasi lama. Atau lebih frontalnya, mereka kurang menyukai sejarah yang disuguhkan melalui  buku yang isi dan gambarnya  kurang menarik.  

Walaupun menurut Anwar Jimpe, berdasarkan pengalaman beliau, yang beberapa kali menyelenggarakan kegiatan pelatihan kepenulisan, di mana pesertanya tak pernah sepi dari anak-anak muda, beranggapan bahwa, buku tak akan tergantikan karena format yang kekinian itu hanya bersifat sementara. Informasi yang didapatkan akan gampang datang teapi  mudah pula dilupakan.


Kenyataannya, seperti yang saya tuliskan di awal bahwa,  anak-anak milenial kurang menyukai pelajaran sejarah. Oleh sebab itu mereka kurang mengenal sejarah bangsanya sendiri.

Bukan salah mereka.

“Mungkin karena kita yang tergolong generasi X, kurang piawai menyuguhkan informasi sejarah yang menarik.”

Dan tahukah Anda? Kalimat  di atas  diamini oleh dua anak milenal yang duduk di sebelah kiri kanan saya.

Saya yakin, kehadiran mereka di acara diskusi itu adalah salah satu awal yang baik.

Semoga perjuangan kita membumikan sejarah dapat tercapai,  dengan harapan akan muncul anak-anak milenal yang menciptakan sesuatu, mungkin pelajaran dalam bentuk visual yang menarik, aplikasi atau apapun itu bentuknya yang akan memperkenalkan dan menceritakan  tentang sejarah bangsa Indonesia.

Agar sejarah bangsa Indonesia tidak terkubur oleh masa.

Semoga perjuangan Irma Devita agar Letkol Mochammad Sroedji mendapatkan gelar pahlawan nasional segera terwujud.

Read More