Sebenarnya drama memilih sekolah bukan hanya dialami oleh orang tua saja, melainkan ada anak yang jauh lebih drama dari orang tuanya.
Saat saya masih mengajar di
desa yang cukup terpencil, dramanya tidak sedramatis mengajar di ibukota
provinsi.
Kala itu, guru-guru yang sibuk
mencari murid. Membujuk orang tua untuk menyekolahkan anaknya dan kami guru
siap menerima resiko sekolah sepi saat musim menanam padi atau saat panen.
Tidak ada ceritanya, orang tua datang mencak-mencak agar anaknya diluluskan, karena anak mereka
lulus sebelum mendaftar, ha-ha-ha.
Keadaan itu berbanding terbalik
ketika saya pindah mengajar di kota.
Huaa … dramanya melebihi drama
Korea.
Tak jarang saya menyaksikan air mata kemarahan, kesedihan, kekecewaan dari orang tua dan anak calon siswa baru.
Bahkan, dahulu sering terjadi
permainan kotor demi agar anaknya bisa diluluskan di sekolah pilihannya.
Kalian masih ingat kan,
istilah lulus lewat jendela, atau lulus pakai nota pejabat?
Nah, itu dramanya panjang
banget. Bisa berjilid-jilid dan episodenya bisa sampai tiga tahun.
Ada yang rela tidak
menyekolahkan anaknya untuk menunggu “pintu” sekolah pilihannya dibuka atau
minimal bisa masuk lewat plafon.
Sekarang Bagaimana?
Melihat keadaan itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan dengan terus memperbaiki regulasi PPDB hingga tiba pada sistem zonasi
yang tiga tahun terakhir ini diberlakukan, maka pandangan orang mulai bergeser sedikit demi sedikit.
Namun, yang namanya perubahan,
pasti ada saja kekurangannya.
Terutama bagi orang yang tempat tinggalnya jauh dari sekolah pilihannya. Kebijakan ini sangat tidak menguntungkan.
Oh yah, Ini berlaku untuk sekolah
negeri, karena sekolah swasta bebas saja.
Jika tidak ada sekolah negeri
yang berada di sekitar tempat tinggalnya, maka pasti tidak masuk zonasi.
Sistem zonasi bukanlah satu-satunya pilihan, karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan agar calon siswa baru bisa menempuh
beberapa jalur pendaftaran.
Berdasarkan Permendikbud Nomor
1 Tahun 2021 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, terdapat beberapa jalur
pendaftaran, yaitu: Zonasi, Afirmasi, Perpindahan tugas orang tua/wali, dan
jalur prestasi. Penjelasannya seperti berikut ini.
- Jalur zonasi SD paling sedikit 70% dari daya tampung sekolah dan SMP dan SMA paling sedikit 50% dari daya tampung sekolah.
- Jalur afirmasi paling sedikit 15% dari daya tampung sekolah untuk semua tingkatan.
- Jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% dari daya tampung sekolah untuk semua tingkatan.
- Untuk jalur prestasi tidak berlaku bagi TK dan SD kelas 1
Nah, orang tua dan calon siswa baru boleh memilih salah satu jalur tersebut, jika syaratnya terpenuhi.
Saya pernah menuliskan tentang
PPDB ini di sini
Putus Asa Tidak Lulus di Sekolah Impian?
Apa yang harus dilakukan, jika
anak tidak lulus di sekolah pilihannya?
Biasanya kalau baru mau masuk
SD, anaknya tidak apa-apa kalau gagal masuk ke SD pilihan orang tuanya. Justru
yang kecewa adalah orang tuanya, kan pilihan mereka, wkwkwk.
Beda cerita kalau mau masuk SMP atau SMA. Anak-anak sudah pandai memilih sekolah favoritnya.
Makanya saya tak heran ketika beberapa kali menyaksikan ada anak yang menangis seharian, gara-gara tidak lulus di sekolah pilihannya. Terutama saat saya bertugas di salah satu SMP yang cukup populer di kelurahan itu.
Maka apa yang harusnya orang
tua lakukan jika mengalami hal seperti itu?
Menurut saya, orang tua seharusnya
tampil sebagai penghibur dan pemberi jalan keluar, bahwa masih banyak sekolah
yang baik dan mungkin lebih baik daripada sekolah pilihannya.
Bukannya mencari jalan lain
yang tidak elok untuk memasukkan anaknya
di sekolah pilihannya tersebut. Katakan kepada anak, bahwa sekolah
favorit bukan penentu kesuksesan di masa depan.
Sekolah Favorit Bukan Penentu Kesuksesan
"Bersekolah di sekolah favorit bukan penentu kesuksesan kalian."
Ini
adalah kalimat yang saya jadikan azimat buat anak-anak saya juga kepada
murid-murid yang saya ajar ketika mereka tidak lulus di sekolah lanjutan
pilihannya.
Apa pasal?
Sebagai guru yang pernah
bertugas di daerah terpencil, di mana sekolah tempat saya mengajar itu jauh
dari kategori sekolah unggul apalagi sekolah favorit.
Bahkan saya pernah mengajar di
sekolah swasta dengan tingkat sosial dan ekonomi orang tua di bawah
rata-rata, maka saya bisa berkesimpulan seperti itu.
Buktinya, setelah murid-murid
saya dari kedua sekolah itu tamat dan bertemu dengan mereka puluhan tahun
kemudian, saya mendapati fenomena yang luar biasa.
Lulusan dari sekolah-sekolah
itu banyak yang sukses, baik secara akademisi maupun ekonominya. Ada yang
menjadi pejabat pemerintahan, akademisi, pengusaha, dsb.
Padahal mereka bukan tamatan
sekolah unggulan apalagi sekolah favorit.
Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley, Ph.D.
Beliau meneliti orang-orang
sukses dari berbagai bidang, lalu dari hasil penelitiannya itu, beliau
menemukan kenyataan bahwa sekolah favorit hanya berada di urutan ke-23 sebagai faktor kesuksesan orang-orang sukses
tersebut
Nah, kan?
Bahkan IQ seseorang hanya
berada di urutan ke-21. Dan yang lebih mencengangkan, lulus dengan nilai
terbaik atau katakanlah selalu mendapatkan nilai teratas, hanya berada di
urutan ke-30 sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang.
Lalu apa 10 faktor utama yang
memengaruhi kesuksesan seseorang?
Yap, kesepuluh faktor utama
itu semuanya adalah soft skill berupa keterampilan sosial, komunikasi,
kecerdasan sosial, dsb
Lebih jelasnya dituliskan oleh
Thomas J. Stanley, Ph.D, kesepuluh soft skill yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
- Kejujuran.
- Disiplin.
- Good interpersonal skill atau
kemampuan bergaul dengan baik.
- Dukungan pasangan hidup atau pendamping, bisa orang tua atau orang terdekat lainnya.
- Tekun dan bekerja lebih keras dari yang lain.
- Mencintai pekerjaannya.
- Good & Strong Leadership atau
memiliki jiwa kepemimpinan yang baik.
- Memiliki jiwa kompetitif dan semangat yang tinggi.
- Good life management atau
mampu mengelola hidupnya dengan baik.
- Abilty to sell idea or product atau
kemampuan menjual gagasan atau produk.
Setelah mengetahui semua ini, seharusnya
tidak ada lagi drama berkepanjangan soal memilih sekolah buat anak.
Di manapun anak-anak kita
bersekolah, selama kita membekali dengan soft skill yang mumpuni, maka
insyaallah mereka, anak-anak kita akan baik-baik saja.
Yakinlah kesuksesan bisa diraih.
Sekalipun begitu, memilih
sekolah yang baik dengan pertimbangan menempatkan anak-anak kita di lingkungan
yang kondusif, tetaplah harus jadi prioritas.
Sekolah favorit bukanlah yang
utama. Selama sekolah itu baik lingkungannya, guru-gurunya kompeten di
jurusannya masing-masing, serta sistem pembelajarannya dijalankan sesuai
aturan, maka yakinlah sekolah itu baik buat anak kita.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Makassar,
29 Juni 2021
Dawiah
********
Artikel ini diikutkan dalam
Tantangan Artikel Pasukan Bloger Joeragan Artikel bulan Juni 2021 dengan tema “Memilih
Sekolah”
#blogerJoeraganArtikel