Momen Panjang yang Indah Bersama Mama; Pelajaran Berharga Tak Terukur

Thursday, January 31, 2019


Derik Pintu yang Selalu Saya Rindukan

 

Sudah hampir setahun  saya tak mendengar derik pintu rumah mama. Derik pintu itu pertanda subuh sudah menjelang. Karena saat pintu pagar berderik, itu berarti mama akan ke masjid salat subuh.

Kebiasaan salat di masjid sudah puluhan tahun dilakukannya, tepatnya sebulan setelah meninggalnya bapak, tahun 1993. Mungkin itu salah satu usahanya menepis rasa kehilangan.

Jika kamu kehilangan orang terkasih maka labuhkanlah hatimu kepada-Nya. Dia tak akan pernah pergi selama engkau mendatangi-Nya

Pertengahan tahun 2018, tiba-tiba mama mengeluh sakit di bagian pinggangnya. Sekedar mengeluh, karena tidak mau dibawa ke dokter untuk berobat. 

Mama memang begitu orangnya, nanti mau konsultasi ke dokter kalau dipaksa.  
Lagian mama itu jarang sakit, kalaupun sakit, tidak pernah sakit parah. Olehnya itu, kalau ada anaknya yang mengeluh sakit, maka mama biasanya meledek.

“Ih masih muda sudah sakit-sakitan.”

Namun sakitnya kali ini benar-benar parah, buktinya ia tidak ke masjid lagi. Selama sakitnya bisa dibawa jalan, pasti ia ke masjid. Katanya, masjid adalah tempat terbaik selain rumah.

Beberapa kali dibawa ke dokter. Hingga diopname di rumah sakit untuk pemeriksaan intensif. Tak ada penyakit tertentu yang ditemukan oleh dokter. Tekanan darahnya normal, gula darahnya normal, kolesterol dan asam urat normal.

Lalu apa penyakitnya? Kenapa tiba-tiba Beliau mengeluh sakit pada tulang-tulangnya? Mungkinkah itu gejala osteoporosis? Kata dokter, tulang mama saya sehat.

Katanya lagi, itu penyakit orang tua. Entahlah.

Saat ini Beliau hanya di rumah, tidak lagi beraktivitas seperti dulu. Salat juga hanya dilakukan di rumah.

Dan derik pintu saat subuh menjelang,  tak lagi terdengar. Saya merindukannya. 

Momen Indah Bersama Mama


Kalau ada yang bertanya, apa momen paling berkesanmu bersama Ibu? Maka di situlah saya akan terdiam.

Baca juga tentang bapak di sini

Sepanjang ingatan saya, masa kecil saya lebih banyak dihabiskan bersama bapak walaupun kami serumah. 
Saya hanya jadi pengamat dan penilai akan kelemahan ibu yang saya panggil Mama itu di hadapan bapak dan mertuanya.

Bapak pandai dan memiliki wawasan luas, juga jago berdiskusi lebih tepatnya berdebat, serta sangat kreatif menciptakan hal-hal yang kelihatannya mustahil pada waktu itu, membuat Mama  menjadi isteri yang sangat patuh, penurut, tanpa bisa mengeluarkan pendapat. 

Karena semua pendapatnya tak pernah dianggap penting.

Bapak yang besar di kota, aktif dalam organisasi, yang bisa menghabiskan waktunya berjam-jam membaca, mulai dari koran, majalah, buku-buku agama, hingga buku sejarah, lalu berdampingan dengan mama yang berasal dari kampung dan  tanpa ijazah, maka terlihat sangat tidak pandai di mata saya.

Karenanya saya lebih banyak bertanya apapun kepada bapak. Lebih sering berdiskusi dengan beliau. Bahkan soal pasanganpun saya hanya minta restu sama bapak.

Kalau bapak setuju maka semuanya beres. mama pasti tinggal mengangguk saja.

Hal lain yang membuat saya jarang dekat dengan mama dan lebih dekat dengan bapak adalah  keheroikan bapak.

Beliau selalu membantu saudara-saudara mama yang berasal dari kampung. Mereka ditampung di rumah kami, diberi jalan untuk bekerja, bahkan difasilitasi untuk  menikah.

Sehingga saya merasa, sungguh hebat Bapak dan sungguh lemah Mama.

Mama tidak pandai dan bapak sangat pandai. Itulah penilaian saya dan  tanpa disadari membangun tekad sendiri kalau saya tidak ingin seperti mama dan tidak mau mendapatkan pasangan seperti bapak.

Hingga akhirnya mata saya terbuka lebar saat bapak terkena penyakit hingga mengalami kebutaan,  dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1993, tepat seminggu usia anak kedua saya.

Saya melihat kekuatan mama yang tak dapat diukur dengan alat ukur apapun. Saya melihat kecerdasan yang sekian lama tersembunyi dalam otak kecilnya.

Saya mohon ampun atas semua penilaian masa kecil saya yang keliru terhadap mama.  

Untuk membayar semua itu, saya memutuskan untuk pindah mengajar dari daerah ke kota demi mendampingi mama.

Adik-adik saya belum ada yang berkeluarga. Tiga  orang masih  sekolah dan mereka butuh pembimbing paling tidak ada orang selain mama yang mereka segani agar bisa terus berkembang dengan baik.

Maka saya hadir untuk itu.

Itulah momen-momen kebersamaan saya dengan mama.  

Menempuh jalan panjang dalam mendampinginya dan membantu dari segala segi untuk membesarkan anak-anaknya, adik-adik saya.

Satu persatu adik-adik saya  tamat bersekolah kemudian satu persatu pula mengakhir masa lajangnya, Itu merupakan momen-momen kebersamaan kami yang tak ternilai harganya.

Sangat berkesan.

Saat ada yang datang melamar untuk adik-adik perempuan saya, maka mama akan berbisik-bisik di telinga saya. Meminta pendapat, mengajak berembuk, dan menyusun rencana agar pernikahan mereka berjalan lancar.

Demikian pula saat anak laki-laki satu-satunya akan melamar gadis pilihannya, sayalah orang pertama yang diberi tahu.

Masalah sebesar atau sekecil  apapun dalam keluarga kami, saya dan mama selalu bergandengan dan bekerjasama menyelesaikannya.

Puncak dari semua kebersamaan itu adalah bahagia saya yang tak terkira saat melihatnya tertawa lepas di depan ka’bah untuk pertama kalinya. 

Orang-orang di sekitar kami menangis terharu, mama justru tertawa lepas sambil menggapit lengan saya seraya berseru. 

”Awwih … Dawiah uwita tongengni Ka’bae! Hehehe…”
(= Oh Dawiah,  akhirnya saya melihat Ka’ba).

Dan mama meminta dengan takzim kepada saya.

“Tolong umrohkan juga Bapakmu.”

Ah, mama memang selalu cinta kepada bapak, dan saya harus banyak belajar ketulusan, keikhlasan, serta kesabaran juga rasa syukur kepada mama.

Sembuhlah Mama!

Agar kita bisa kembali lagi ke tanah suci. 

Penantian panjang yang selalu mama rindukan sebentar lagi akan terwujud.









Read More

Sulung yang Ulung Part 2

Tuesday, January 29, 2019



Katanya, jadi anak sulung itu berat. Ia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin buat adik-adiknya, ia harus menjadi suri tauladan, menjadi tolok ukur keberhasilan, dan masih banyak lagi tuntutannya.

Kalau merujuk arti kata  “sulung” dalam KBBI, maka sulung = ulung. Sedangkan Ulung adalah berpengalaman; mahir; terbaik.

ulung1 a sulung
ulung2 a berpengalaman; mahir; terbaik:

Mungkin itulah sebabnya, anak sulung selalu diharapkan jadi yang terbaik, selalu mahir, dan lebih dari adik-adiknya.

Saya sering mendengar perbincangan mama-mama di perkumpulan arisan, di posyandu, maupun di tempat lain, katanya; 

“Kalau anak sulung berhasil maka berhasil pula adik-adiknya.”
“Gara-gara kakaknya malas ke sekolah, adiknya juga ikut-ikutan.”
“Saya tekankan ke kakak (si-sulung), kamu itu contoh buat adik-adikmu. Kamu harus jadi yang terbaik.”

Saya pikir, itu  terlalu berlebihan. Justru saya beranggapan, anak sulung itu adalah anak “percobaan” Segala bentuk model pengasuhan anak, dicobakan ke dia. Itu saya, entah Ashanti.

Tanpa disadari, saya juga termasuk orang yang berpendapat seperti mereka. Misalnya, masukkan anak ke pesantren.

Fandi sebagai anak sulung menjadi ajang coba-coba. Ternyata gagal. Mengacu pada kegagalan itu, saya tidak berani lagi masukkan adik-adiknya ke pesantren.

Fandi saya ikutkan bimbingan belajar, saat ia masih SD. Ternyata ia sering stres karena beban belajar yang tinggi, maka adik-adiknya tidak lagi saya ikutkan bimbingan.

Fandi suka main bola, maka saya suruh juga adik-adiknya untuk ikut main bola. Bahkan saya tuntut Fandi agar ia mengajak adiknya main bola.

Beberapa keputusan yang saya ambil berhasil, tapi tidak sedikit yang gagal. Saya baru menyadarinya setelah anak-anak saya beranjak remaja.
Misalnya, ternyata di antara mereka ada yang berpotensi mendalami ilmu agama. Tetapi saya tidak mengarahkannya ke sana, hanya karena kegagalan si-sulung.

Ternyata ada anak saya yang lebih pandai dari Fandi, tapi saya mengacuhkannya. Masih banyak lagi, penyesalan-penyesalan kecil lainnya.
Ya sudahlah, toh sejauh ini Fandi sudah cukup berhasil dalam menjalani perannya sebagai anak sulung.

Baca juga tentang Fandi di sini

Jadi Pembela Bagi Adik


Tahun 2000, saya hijrah dari rumah lama ke rumah yang baru di Sudiang. Waktu itu, Fandi baru kelas lima. Sedangkan dua adiknya masing-masing kelas tiga, dan kelas satu. Sementara anak keempat masih TK.
Otomatis mereka juga pindah sekolah. Dari sekolah yang berbasis agama ke sekolah umum.

Perubahan lingkungan berdampak pada pergaulan dan perubahan sikap. Ada yang  positif tapi ada juga negatifnya.

Positifnya, mereka menjadi lebih mandiri. Tidak ada lagi mama saya yang selalu memanjakan mereka. Tidak bisa lagi, kalau mau makan, langsung duduk dan makanannya sudah tersedia di atas meja.

Di rumah baru, saya menerapkan peraturan baru. Saya membuat jadwal kerja yang ditempel di dinding. Mulai jadwal menyapu, mengepel, cuci piring, sampai jadwal jaga warung.

Tanpa diminta, Fandi tampil jadi ketua. Ia yang mengontrol jadwal kerja adik-adiknya. Alhamdulillah, rumah selalu bersih. Kabar buruknya, hampir tiap hari saya menemukan pecah beling di tong sampah. Kalau bukan gelas yah piring yang pecah.

Tak masalah.

Punya empat anak laki-laki yang hampir seumuran itu ternyata mengundang juga anak laki-laki lainnya. Teras rumah kami selalu dipenuhi anak laki-laki.
Mereka berkumpul dan bermain di teras rumah atau di jalanan depan rumah.

Suatu waktu, Denis anak tetangga datang mengadu. Katanya, ia dicurangi oleh Fandi bersaudara. Maka saya sidang mereka.

“Apa maksudnya itu Denis, kalian main curang?”
“Tidak Mama, kita mainnya jujur tapi Denis tidak mau kalah, maunya menang terus.” Uci menjawab sambil senyum-senyum.
“Memangnya kalian main apa?” Saya penasaran.
“Begini mama, tadinya Uci main kelereng sama Denis, hampir-mi kalah dan mau-mi menangis.” Ical putra kedua mencoba menjelaskan.
“Terus?” Saya mulai menangkap gelagat tidak baik.
“Jadi saya ikut main, saya pinjam kelerengnya Uci, Ical juga saya ajak. Akhirnya habis-mi kelerengnya Denis.” Tukas Fandi.
“Intinya diborongi Denis, hahaha….” Uci tertawa puas.

Sebenarnya saya mau ketawa, tapi sedapat mungkin ditahan.

“Lain kali tidak boleh begitu Nak, kasihan Denis.”
“Tergantung-ji Ma, kalau situasi genting, yaah kami turun tangan.” Fandi menjawab tegas tanpa senyum. Beuh segitunya.


Kejadian seperti itu sering sekali terjadi. Mereka bertiga kompak. Tapi anehnya, rumah kami masih saja dipenuhi anak-anak.

Salah satu permainan yang paling sering mereka mainkan adalah main bola-bolaan (saya tidak tahu apa nama jenis permainan itu).
Alatnya terbuat dari kertas karton yang dilipat sedemikian rupa sehingga bisa berdiri, kertas itu diibaratkan orang. Jumlah kertas itu sebanyak 22. Lalu kertas-kertas itu diatur di atas lantai. 11 kertas di sebelah kanan dan 11 lainnya di sebelah kiri.

Ada yang berperan sebagai penjaga gawang, penyerang, dan lainnya. Bolanya juga terbuat dari kertas bentuknya bulat dan lebih kecil dari kelereng. Lucunya, setiap kertas ditulisi nama-nama pemain bola.
Cara bermainnya juga lucu, bola kecil disimpan di depan kertas karton lalu oleh pemainnya, karton ditekuk agar bola terlempar ke depan. Begitu seterusnya hingga tercipta gol.

Mereka bisa bermain semalaman. Saya dan bapaknya sering jadi supporter dari salah satu tim. Hehehe…

Fandi Gagal Kuliah S2


Sesaat sebelum Fandi diwisuda, ia berbisik.

“Ma, bisa-ji saya lanjut S2?”
“Maunya lanjut di mana?”
“Rencananya lanjut ke ITB.” Jawabnya hati-hati.
“Insya Allah, selama mama dan bapak masih hidup dan masih kerja Fandi boleh kuliah.”
Fandi tersenyum dan memeluk pundak saya.


Subuh di Yogyakarta, saya mempercepat salat subuh karena sudah tidak khusuk lagi mendengar handpone berdering tiada henti. Saat melihat di layar, 30 kali panggilan tak terjawab. Deg!
Saya lalu menelpon balik. Di seberang sana terdengar suara parau campur tangis.

“Kak, rumah mama kebakaran!”
“Innalillah, bagaimana keadaan mama dan semuanya?” Teringat mama saya yang sudah sepuh.
“Selamat-ji semua. Eh rumah-ta juga sudah mulai terbakar!” Teriak adik saya. Saya hanya melongo.


Suatu pagi di rumah pengungsian, pascamusibah kebakaran,  Fandi mendekati saya dengan wajah masygul.

“Ma jangan-mi saya lanjut S2, cari-ma dulu pekerjaan.”

Fandi paham, kalau semua tabungan kami harus dikuras demi membangun kembali rumah yang telah rata dengan tanah. Apalagi masih ada adiknya Uci yang sementara kuliah di ATKP.

Terima kasih atas pengertianmu Nak, kami terpaksa ingkar janji. Bukan karena tak mau tetapi keadaan tidak memungkinkan.

Fandi Jatuh Cinta, Saya Patah Hati


Tiba-tiba saya melihat Fandi memasang foto perempuan cantik di facebooknya. Dengan caption Limited edition.

Maka meluncurlah kalimat-kalimat nasehat di kolom komentarnya. Teman-temannya ikutan mengompori. Tak sekalipun Fandi membalas komenku. 

Untungnya Itu hanya  terjadi di dunia maya, di dunia nyata kami tak pernah membahasnya.

Saat itu Fandi masih berstatus mahasiswa. Saya dan bapaknya sudah tekankan, tidak boleh pacaran. Kalau mau pacaran, berhenti sekolah dan langsung menikah.

Anak-anak saya tahu bahwa ada aturan tidak tertulis yang sejak kecil ditanamkan ke mereka, bahwa mereka tidak boleh pacaran, tidak boleh membawa teman perempuan ke rumah yang bukan muhrim,  tidak boleh menikah sebelum  bekerja, jika saatnya tiba harus mencari pasangan yang seiman, dan berbagai aturan lainnya.

Mungkin itulah Fandi tidak berani membahas soal foto di facebooknya. Tetapi saya tahu, ia sudah jatuh hati kepada gadis di foto itu.

Saat Fandi diterima bekerja di salah satu perusahaan di Bandung, saya pertanyakan gadis yang ada di foto itu. Dengan hati-hati Ia menjelaskan siapa namanya, asal-usulnya dan segala hal tentang gadis itu.

Duhai, anakku betul-betul sudah jatuh cinta. Tapi aneh, saya merasa patah hati.  Merasa diduakan dan tak siap menerima kenyataan, kalau ada perempuan lain di hatinya.

Namun begitu, saya harus menerima kenyataan. Si sulung semakin dewasa. Lambat atau cepat, ia akan membina rumah tangga.

Gadis Gorontalo Pujaan Hati


“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).  ....”
(QS: An-Nur ayat: 26)

Tak ada keraguan atas janji Allah itu, dan saya yakin Fandi adalah laki-laki yang baik maka ia berhak mendapatkan perempuan yang baik pula.

Setiap malam saya berdoa, mohon petunjuk atas pilihannya. Jika nama gadis itu yang  tertulis di Lauhul Mahfudz sebagai jodoh Fandi, maka mudahkanlah urusannya. 

Jika bukan, maka berilah anakku kesabaran menerima takdirnya.

Alhamdulillah, doa-doaku yang melangit ke Arsy dikabulkan. 
Kami bisa bersilaturahim ke Gorontalo sekaligus melamar gadis pujaan hati Fandi. Silaturahim itu berjalan hikmat dan penuh kekeluargaan.

Gadis pujaan Fandi akan menjadi anak perempuan kedua dalam keluarga kami.

Hadiah Untuk Fandi


Bapaknya bertanya, hadiah perkawinan apa yang bagus diberikan kepada Fandi?

“Tak ada hadiah berupa harta benda. Tetapi meminang perempuan beriman nan cantik untuknya adalah hadiah terbesar buat Fandi.”

Satu-satunya benda yang saya berikan adalah buku berjudul “ Menggapai Samara” sembari menitipkan pesan.

“Kamu telah memikul tanggung jawab sebagai suami, maka hidupmu sekarang bukan lagi untuk dirimu semata, melainkan untuk berdua dan kelak untuk anak-anakmu”

“Baik buruknya istrimu, ditentukan oleh caramu memimpinnya, maka tuntunlah dengan kasih sayang, siangi dengan cinta.”

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki)  telah memberikan nafkah dari hartanya ….”
(QS: An-Nisa; 34).



Sehat terus Nak, jadilah keluarga sakina mawaddah warahmah.
Sampai kapanpun kamu tetap anakku, maka doaku akan kebahagiaan dan kesuksesan  tak akan pernah berhenti untukmu.




Read More

Si Sulung yang Ulung

Wednesday, January 23, 2019






Saat saya berniat menulis tentang si-sulung ini, saya minta izin sama dia. Bagaimanapun  sekarang Beliau itu sudah dewasa, saya khawatir ia malu kalau “aibnya” dipublish.

Alhamdulillah, Beliau mengizinkan katanya, “dengan senang hati.”

Kenapa minta izin?  Kan tidak lucu kalau saya digugat oleh anak sendiri lalu kena jerat undang-undang IT dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan,  berhubung karena kisah masa kecilnya dipublish.

Lahir pada bulan Juni 1991 dengan wajah yang persis sama dengan wajah bapaknya. Saya beri nama Muhammad Fadlan Afandi, lebih akrab dipanggil Fandi.

Begitu miripnya, sampai-sampai teman SD bapaknya bisa langsung menebak kalau ia itu adalah anak temannya, padahal kami belum saling mengenal satu sama lain. 
Peristiwa itu terjadi di ruang tunggu, ruang praktik Dr.  Farid. 

Waktu itu, saya bawa Fandi berobat ke dokter anak, kami hanya berdua karena bapaknya juga kurang sehat. usianya sekitar tiga tahun. Walaupun dia sakit, tapi masih lincah berlarian ke sana kemari.

Seorang laki-laki yang seumuran dengan bapaknya, tidak berhenti memperhatikan Fandi. Mungkin karena sangat penasaran, beliau langsung mendatangai saya dan bertanya.

Tabe Bu, itu anak-ta?”
“Iye, kenapa Pak?” Saya balik bertanya.
“Ibu istrinya Nasir, anaknya itu Nasir di?” Tanyanya beruntun.
“Iye, kenapa bapak tahu, pernah-ki ketemu?”
“Lama sekali-mi saya tidak ketemu sama bapak. Tapi dari tadi saya perhatikan anak-ta, itu mukanya persis teman SD ku dulu, namanya Nasir. Makanya saya langsung tebak, pasti ini anaknya teman SD ku.” Jawabnya dengan mata berbinar, menyiratkan kalau tebakannya berhasil.

“ooo… begitu di?”

“Benarkah to Bu, kita istrinya temanku. Titip salam ya sama dia.” Jawabnya senang.

Maka berbincanglah kami, sekaligus ia memperkenalkan istrinya. Mereka juga membawa anak sulungnya berobat.

Pulangnya saya ceritakan kejadian itu dan bapaknya  jawab begini.
“Betul toh, Fandi itu anakku.” Sambil mengedipkan mata.

Hahaha… siapa juga yang meragukannya.

Satu hal yang saya sesali sehubungan dengan masa kecilnya, ia tidak menikmati asi eksklusif. Waktu itu pengetahuan saya tentang ASI belum ada. Bahkan kalau ke Posyandu, ibu-ibu dan petugas Posyandu lebih ribut membicarakan jenis-jenis susu formula. 

Tapi bukan karena itu juga alasannya, melainkan karena saya hamil anak kedua sebelum saya mengalami haid pertama pascamelahirkan.

Betapa sedihnya, saat pertama kali mau menghentikan dia menyusu. Usianya hanya terpaut 18 bulan dengan anak kedua. Maka praktis Fandi berhenti ASI saat usianya belum menginjak dua tahun.  

Kalau Tidak Bodoh Sekali, Dia Akan Pintar Sekali

Kalau anaknya tidak bodoh sekali maka ia akan pintar sekali. 

Kalimat itu diucapkan oleh dokter ahli syaraf yang merawat Fandi. Duhai betapa nelangsanya.

Ceritanya, waktu itu Fandi  terjatuh dari tangga, jarak jatuhnya sekitar 2 meter dan pingsan selama kurang lebih 10 menit. Sesaat setelah sadar Fandi muntah dua kali. Maka spontan kami melarikannya ke dokter terdekat.

Karena dokter anak lagi tak ada di tempat, maka saya daftarkan Fandi ke dokter ahli syaraf. Yah karena ini berhubungan dengan kepalanya yang terbentur saat jatuh, mungkin dokter ahli syaraf bisa membantu menanganinya. Itu yang kami pikirkan waktu itu.

Setelah diperiksa, dokter menyimpulkan kalau Fandi kena gegar otak. Ia harus diterapi sampai sembuh.
Maka jadilah Fandi sebagai langganan pasien dokter ahli syaraf.

Diakhir proses terapinya, dokter mengatakan bahwa, saya harus ekstra mendampingi Fandi serta memantau perkembangan otaknya, karena bisa jadi ia akan mengalami kemunduran perkembangan otak atau malah mengalami kemajuan yang pesat.

“Maksud dokter bagaimana?” Untuk mempertegas pernyataannya.
“Anak ibu, bisa saja tidak pandai atau malah sangat pandai. Kalau tidak terlalu bodoh yah sangat pandai.” Jelasnya lugas.  

“Ya Allah! Jadi apa yang harus saya lakukan agar anak saya tidak idiot?”
“Bukan idiot Bu, tapi tidak pintar.” Ah sama saja pikirku.
“Berdoalah Bu, kan ibu sudah  ikhtiar dengan melakukan terapi, kalau Allah berkehendak, apapun bisa terjadi.”

Maka jadilah hari-hari saya diliputi rasa cemas dan malam-malam penuh doa khusus buatnya.

Sirnalah Sudah Kecemasan


Tanda-tanda kalau otak Fandi tidak rusak sebenarnya sudah mulai terlihat, sejak beberapa bulan  setelah paristiwa jatuhnya dari tangga itu. 
Usianya baru 2,5 tahun, dan ia sudah pandai membedakan warna dan mengelompokkannya. 

 Walaupun agak lambat berbicara dan lambat pula berjalan.
Dia lancar berjalan saat teman-teman seusianya sudah bisa berlari,  dia baru terbata-bata berbicara saat anak-anak seusianya sudah bisa bernyanyi.

Namun perkembangan otaknya luar biasa. 

Enam bulan setelah jadi langganan dokter syaraf dan diterapi, ia menunjukan perkembangan yang signifikan. 

Fandi bisa mengarahkan matanya pada lensa okuler lalu mengatur lensa objektif pada mikroskop untuk mendapatkan gambar obyek yang terang.   

Ia bisa melakukannya selama berjam-jam, dan tidak mau berhenti sebelum obyek yang dilihatnya  terlihat jelas.  Walaupun ia tidak tahu gambar apa yang ia amati.

Selain itu, ia sangat suka memainkan garpu tala. Ia pukulkan ujung garpu tala lalu mendekatkannya ke selembar kertas. Saat kertas itu ikut bergetar ia tertawa kesenangan, bola matanya berputar-putar bahagia. 
Seakan memberitahu kalau kertas itu ikut bergetar akibat getaran pada garpu tala.

Yah, ia sangat akrab dengan alat-alat laboratorium IPA. 
Pastilah akrab,  tempat bermainnya di laboratoirum IPA, hehehe…

Saat itu,  saya masih bertugas di SMP Balocci, kebetulan saya jadi kepala lab IPA, maka setiap mengajar di lab,  Fandi selalu saya bawa dan ia senang sekali bermain dengan alat-alat laboratorium.  

Kecemasan atas perkembangan kecerdasan Fandi baru betul-betul sirna setelah  ia  masuk SD. 

Akibat pernyataan dokter yang terus membayangi pikiran, maka jadilah saya mama-mama yang selalu merepotkan gurunya. Hampir setiap hari saya bertanya kepada guru kelasnya. 

Apalagi kalau melihat kebiasaannya di rumah yang tidak mau membaca, ia lebih senang pelajaran berhitung. Setiap kali diberikan buku bacaan, ia tepis dan ia ganti dengan pelajaran berhitung.

Pernah satu waktu saya ke sekolahnya, oleh gurunya ia diberi PR berhitung tersendiri. Saya protes, kenapa anak saya diperlakukan tidak sama dengan temannya. Temannya diberi PR berhitung tiga nomor eh anak saya diberi PR enam nomor dan berbeda pula dari yang lainnya.

Ternyata menurut gurunya, kalau diberi PR yang sama pasti temannya meniru sama dia, tidak jadi PR tapi dikerjakan saat itu juga.
Masih menurut gurunya, kalau dia  menuliskan PR  di papan tulis, Fandi menulis di buku PR langsung dengan jawabannya, nah temannya tahu dan meniru. Maka tidak jadi PR deh. Olehnya itu, ia diberi soal tersendiri dan lebih banyak.

Alhamdulillah, saya lega. 
Ternyata Fandi  tidak masuk kategori tidak pandai sekalipun dalam hal membaca masih kurang, setidaknya otaknya masih bekerja dengan baik.

Anak Manja yang Dimanjakan

Saya melihat Fandi suka sekali mengaji, atas dasar itulah saya masukkan ia ke pesantren selepas tamat SD. Ia ikhlas saja dimasukkan ke sana, tetapi bapaknya kurang ikhlas.

Bagaimana tidak saya katakan demikian,  tiap hari ia berkunjung ke pesantren. Kalau tahu ada anak lain yang mengganggu maka Beliau pasang badan. 

Saya menyesal juga kenapa ya saya tidak masukkan ke pesantren yang jauh, biar bapaknya tidak terlalu sering berkunjung ke pesantren.

Lah,  ini pesantrennya  selalu dilewati tiap pulang mengajar, maka jadilah ia rajin berkunjung.

Selama di pesantren,  beberapa kali Fandi mewakili pesantrennya mengikuti lomba matematika. Walau tidak pernah menang tetapi masuk 10 besar dan mewakili pesantrennya sudah membuat saya bangga. Setidaknya ia lebih pandai matematika dari santri lainnya.

Sayangnya, cita-cita saya agar Fandi jadi  penghafal Al Qur’an  tidak tercapai. Walaupun begitu, saya tetap bangga kepadanya. Karena ia tumbuh menjadi pemuda yang baik, rajin sholat, terutama pergaulannya terkontrol.
Ia selalu menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya.

Cat Hitam Tanda Stres

Suatu waktu, Fandi minta uang untuk beli cat. Ia ingin mengecat kamarnya. Sebagai mama yang baik, saya senang. Fandi sudah mulai mandiri. Maka saya berikan uang itu, dan percaya ia pasti bisa melakukannya.

Alhasil ia beli cat, lalu bersama temannya ia cat kamarnya dan dengan bangga ia pamerkan kepada saya.

“Ma,  sudah-mi kucat kamarku, masuk maki, nyaman sekali suasananya.”

Daaan ... saya tertegun.

Kamarnya dicat warna hitam!

Dinding dan plafonnya semua hitam. Astagfirullah! 
Apa bagusnya coba?

Kamar yang hanya seluas 3 kali 3 meter itu semuanya gelap. 

Begitu bapaknya datang, Beliau geleng-geleng kepala sambil berkata.
“Gigimu mami yang kelihatan Nak, itu juga kalau kau ketawa.” Hahaha….

Peristiwa itu terjadi selepas tamat SMA. Kata adiknya.
 “Fandi stres mama, tidak lulus di UNHAS.”

Yah sudahlah, saya hanya minta dia untuk mengubah warna plafonnya jangan hitam semua, dan dindingnya diberi sedikit sentuhan putih agar tidak terlalu kelabu.

Apakah itu pertanda stres? Saya tidak tahu. Yang pasti ia kecewa karena tidak lulus di beberapa perguruan tinggi negeri.

Oleh bapaknya, ia didaftarkan di STIMIK Handayani.
“Yang penting ia kuliah, tidak perduli di perguruan tinggi mana. Kalau tinggal di rumah, ia bisa tambah stres.” Bagitu pikir bapaknya.

Satu hal yang saya kagumi dari Fandi, ia tidak gampang putus asa. Selama setahun ia menjalani kuliah di STIMIK sambil ikut bimbingan belajar. Targetnya adalah tahun berikutnya ia harus lulus di teknik UNHAS.

Alhamdulillah, Allah mengabulkan harapannya. Ia lulus dan menyelesaikan S1 nya di teknik UNHAS  dengan nilai yang memuaskan.




Gagal Lanjut S2


Kenapa Fandi gagal lanjut S2, padahal saya sudah setuju dan bersedia membiayai kuliahnya? 
Postingan berikutnya saja yah saya ceritakan.


Bersambung …











Read More