Ketika
flyer Seminar Nasional dengan tema
“Wajah Baru Kurikulum di Tahun 2019” itu disebar di grup-grup whatsapp guru,
ada teman yang kirim pesan ke saya. Katanya, “apakah ada lagi perubahan
kurikulum?"
Yah, inilah salah satu kelemahan kita, kadang membaca tanpa menyimak
dengan baik. Seminar ini tidak akan memperkenalkan apalagi membahas tentang
kurikulum baru tahun 2019.
Lah dalaah, kurikulum lama saja (kurikulum 2013) masih di sekitar sosialisasi, keluhan-keluhan karena belum paham penerapan penilaiannya, persamaan persepsi tentang cara menggunakannya, dan sebagainya.
Padahal ini sudah berjalan lima tahun. Yaah, mungkin karena ini masih usia balita, makanya masih perlu berjalan
tertatih-tatih.
Kita tinggalkan sejenak kurikulum 2013, mari tengok revolusi industri 4.0 yang muncul bagai jelangkung, datang tanpa diundang, dan pergi tidak diantar.
Revolusi industri 4.0 memaksa kita berada dalam sistem fisik maya. Hampir semua kegiatan yang dahulu hanya bisa dilakukan di dunia nyata, berpindah ke dunia maya. Internet seakan menjadi kebutuhan utama manusia.
Bahkan generasi saat ini, dikenal sebagai anak milenial lebih memilih tidak jajan makanan, daripada tak punya kuota internet. Itu mengindikasikan kalau kebutuhan mereka terhadap internet seakan jauh lebih tinggi daripada kebutuhan akan makanan.
Kabar baiknya, mereka bisa mengakses informasi melebihi kecepatan bicara gurunya di kelas.
Nah, kalau guru masih terlena dengan gaya belajar dan mengajar seperti dahulu kala, maka jangan marah kalau muridnya lebih cepat menguasai ilmu yang mau diajarkan sebelum sang guru mengajarkannya.
Bayangkanlah, di dalam kelas seorang guru sedang menjelaskan cara membedah katak dengan tujuan ingin memperlihatkan organ-organ katak, hingga mulutnya berbusa-busa.
Sementara itu, muridnya bisa langsung membedah katak, lalu memperlihatkan organ-organnya lengkap dengan penjelasan yang rinci.
Kan tidak asyik dan bikin keki.
Olehnya itu, guru harus secepatnya berbenah. Belajar lebih keras agar bisa mengimbangi gaya belajar anak milenial.
Tak perlulah ikutan gaya milenialnya, cukup amati, pelajari, dan modifikasi.
Padahal ini sudah berjalan lima tahun. Yaah, mungkin karena ini masih usia balita, makanya masih perlu berjalan tertatih-tatih.
Kita tinggalkan sejenak kurikulum 2013, mari tengok revolusi industri 4.0 yang muncul bagai jelangkung, datang tanpa diundang, dan pergi tidak diantar.
Nah, kalau guru masih terlena dengan gaya belajar dan mengajar seperti dahulu kala, maka jangan marah kalau muridnya lebih cepat menguasai ilmu yang mau diajarkan sebelum sang guru mengajarkannya.
Kan tidak asyik dan bikin keki.
Olehnya itu, guru harus secepatnya berbenah. Belajar lebih keras agar bisa mengimbangi gaya belajar anak milenial.
Tak perlulah ikutan gaya milenialnya, cukup amati, pelajari, dan modifikasi.
Tingkatkan Kompetensi Guru Bersama IGI
Ikatan Guru Indonesia (IGI) sebagai salah satu organisasi guru yang diinisiasi pada tahun 2000 dan resmi berbadan hukum pada tanggal 26 November 2009.
Periode kepengurusan berikutnya, yakni 2016-2021 dengan Ketua Umum Muhammad Ramli Rahim juga telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Ham, sangat paham masalah ini. Olehnya itu, IGI menitik beratkan perjuangannya dalam meningkatkan kompetensi guru.
Bagi
IGI, ujung pangkal dari persoalan pendidikan di Indonesia ada pada rendahnya
kompetensi guru Indonesia yang meliputi empat kompetensi, yakni kompetensi
profesional, paedagogik, sosial, dan kepribadian.
Dengan
mengusung motto “sharing and growing
together” IGI sudah melakukan banyak hal melalui gerakan-gerakan seperti
berikut.
- Gerakan Guru Berintegritas
- Gerakan Hemat Energi dan Penciptaan Energi Baru dan Terbarukan.
- Gerakan peningkatan kemampuan guru Inklusi dan pendidikan untuk semua
- Gerakan Guru Saudara
- Gerakan Bayar Balik
Disamping
gerakan-gerakan di atas, IGI juga melahirkan 67 kanal kegiatan pada awal tahun 2018.
Kanal apa sajakah itu? Silahkan baca di sini.
Kanal apa sajakah itu? Silahkan baca di sini.
Pantang Mengajar Kalau Tidak Belajar
Sebagai
guru yang menjadi tombak dalam penyelenggaraan Pendidikan, seharusnya
berprinsip, bahwa guru harus belajar setiap saat dan jangan berani mengajar kalau tidak
belajar.
IGI senantiasa memberi ruang bagi guru untuk belajar dan berbagi dengan mengadakan
kegiatan workshop, pelatihan, dan seminar.
Nah,
itulah yang dilakukan oleh Pengurus IGI Daerah Makassar pada awal tahun 2019,
yaitu mengadakan Seminar Nasional, bertempat di
Aula Sekolah Islam Athira Kajaolalido.
Mengangkat tema “Wajah Baru Kurikulum di Tahun 2019” dengan menghadirkan empat pembicara yang berkompeten dibidangnya.
Mengangkat tema “Wajah Baru Kurikulum di Tahun 2019” dengan menghadirkan empat pembicara yang berkompeten dibidangnya.
Mereka
adalah Prof. Dr. Jasruddin, M.Si selaku Kepala
LLDIKTI Wilayah IX, H. Irman Yasin Limpo, SH, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi
Sulawesi Selatan, dan H. Muh Hasri,M.Hum utusan Widyaiswara LP3TK Gowa, serta Ketua
Umum IGI Pusat, Muhammad Ramli Rahim.
Peserta
yang diprediksi akan hadir hanya sebanyak 300 orang, ternyata membludak hingga
400 lebih. Sampai-sampai peserta yang datang belakangan terpaksa duduk
melantai beralaskan karpet. Ini bertanda kalau guru-guru di Sulawesi Selatan, khususnya guru- guru di Makassar semakin sadar akan pentingnya mengupgrade pengetahuannya.
Demi
mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan peserta ini, saya dan teman-teman
panitia tak sempat lagi menyimak pembahasan yang disampaikan oleh Pak Hasri
selaku pembicara pertama.
Padahal
materi yang disampaikan sungguh keren, yaitu Peranan Higher Order Thinkings Skills (HOTS) dalam Pengembangan Kurikulum.
Tema yang populer akhir-akhir ini
seiring didengungkannya revolusi industri 4.0.
Tantangan Kurikulum di Era Revolusi Industri 4.0
Seperti
biasanya, kalau Pak Irman Yasin Limpo yang lebih akrab dipanggil Pak None ini
berbicara maka hadirin akan terpaku, terpukau, dan menyimak dengan
sungguh-sungguh sehingga waktu 1 jam 30 menit itu berlalu tanpa terasa.
Secara
garis besar, Beliau menjelaskan tentang perkembangan kurikulum di Indonesia.
Dimulai dari kurikulum 1947 yang disebut Rencana Pelajaran 1947 hingga Kurikulum
2013.
Pak
None juga menyebutkan, bahwa kurikulum
itu berubah disebabkan oleh
enam
faktor yaitu globalisasi, teknologi industri,
orientasi politik, konsep pemikiran baru, eksploitasi ilmu pengetahuan, dan
perubahan internal bangsa.
Apakah
pergantian menteri identik dengan pergantian kurikulum? Bisa iya bisa juga
tidak. Tergantung situasi dan kondisi bangsa.
Bagaimana seharusnya kurikulum Pendidikan di Indonesia menghadapi revolusi industri 4.0?
Pak
None menjawabnya dengan penekanan bahwa, peserta didik harus memiliki lima kemampuan
yang mumpuni dalam menghadapinya. Kelima kemampuan itu adalah sebagai berikut.
- Kemampuan berpikir kritis
- Kreatif dan inovatif.
- Kemampuan berkomunikasi
- Kemampuan berkolaborasi.
- Memiliki kepercayaan diri.
Jika
peserta didik saja dituntut memiliki lima kemampuan tersebut, apalagi guru yang seharusnya memiliki
lebih dari itu.
Bagaimana
bapak dan ibu guru, sudah siapkah
menyongsong revolusi industri 4.0?
Kurikulum Sejalan dengan Perkembangan Pendidikan
Hal lain
yang dijelaskan oleh Pak None adalah kurikulum yang selalu sejalan dengan
perkembangan pendidikan. Dicontohkan bahwa, Pendidikan 1.0, kurikulum berorientasi
kepada guru. Jika disandingkan dengan industri 1.0 berarti ini terjadi pada
abad ke-18. Masa itu industri masih berfokus pada produksi mekanik.
Pendidikan
2.0, kurikulum menekankan peserta didik sebagai wadah pengetahuan. Revolusi industri
yang terjadi pada saat itu adalah industri 2.0. di mana telekomunikasi dan
listrik ditemukan.
Pendidikan
3.0, kurikulum menekankan pada tugas guru sebagai fasilitator. Sedangkan revolusi
industri pada masa itu adalah revolusi industri 3.0 yang terjadi pada awal
tahun 70-an hingga abad ke-20. Pada masa itu, IT dan penggunaan elektronik
mulai mengotomatisasi produksi.
Saat
ini kita berada pada pendidikan 4.0 di mana guru diharapkan menjadi konektor, kreator,
dan konstruktor lalu peserta didik akan berfikir
tingkat tinggi (HOTS). Hal ini seiring dengan revolusi industri 4.0, di mana sistem
fisik maya semakin mengglobal.
Jika
peserta didik dituntut berfikir tingkat tinggi melalui HOTS, maka seharusnya
guru lebih dahulu menerapkan itu dalam kesehariannya mengajar.
Sehingga
tuntutan sebanding dengan ketersediaan.
Pada akhir sesi, Pak None menutup dengan mengajak peserta seminar untuk merenungi gambar yang ada di layar, sistem pendidikan di Finlandia.
Pada akhir sesi, Pak None menutup dengan mengajak peserta seminar untuk merenungi gambar yang ada di layar, sistem pendidikan di Finlandia.
Hm, kalau sistem pendidikan di Indonesia seperti di Finlandia, sepertinya saya tidak mau pensiun sampai ajal menjemput, hehehe ...
Maunya mengajar terus.
Maunya mengajar terus.
Bersama pengurus IGI Makassar, Sul-Sel, dan Ketum IGI Pusat |