Antara Benci dan Cinta Pada Mata Pelajaran Ini
Waktu SMP, mata pelajaran yang paling saya sukai adalah Bahasa Inggris. Hampir tiap waktu saya membuka kamus Bahasa Inggris untuk mencari kata-kata baru lalu menghafalnya.
Menanti jadwal masuknya mata pelajaran itu adalah saat-saat yang menyenangkan sekaligus bikin deg-degan karena saya akan bertemu dengan guru kebanggaan dan kesayangan saya, beliau guru kesukaan hampir semua murid di kelas saya waktu itu.
Beliau mengajar dua jenis mata Pelajaran, yaitu Bahasa Inggris sebagai mata Pelajaran utamanya dan mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn.
Sebagian teman saya tidak terlalu suka sama beliau ketika mengajar Bahasa Inggris, tetapi menjadi antusias saat beliau mengajar PKn. Sebagian lagi berlaku sebaliknya, dan saya suka sama beliau saat mengajar mata pelajaran apa pun.
Kebetulan beliau juga wali kelas kami sehingga kadang masuk kelas mengisi pelajaran apa saja ketika gurunya berhalangan hadir.
Saya merasa, saya adalah salah satu siswa kesayangan beliau. Saya merasa seperti itu karena sayalah yang paling sering dipanggil maju ke depan untuk mengerjakan soal-soal. Saya yang paling rajin menjawab atau maju ke depan untuk praktik bercakap Bahasa Inggris.
Rasanya waktu itu, hanya beliau guru saya, guru lain hanya numpang lewat, wkwkwk. Eh, saya jadi mikir, saya suka pelajarannya atau gurunya saja sih?
Musibah Saat Acara Perpisahan
Bagaimana ceritanya perasaan saya berubah drastis?
Saya memuja Beliau dan mata pelajaran Bahasa Inggris itu selama tiga tahun, sejak kelas 1 hingga kelas 3 SMP menjelang tamat dan tiba-tiba berubah pada saat acara perpisahan atau pelepasan siswa yang tamat.
Di acara pelepasan itu, saya menjadi protokol acara, jadi otomatis semua susunan acaranya, sayalah yang akan membacanya dan lebih dahulu tahu daripada teman bahkan oleh tamu-tamu yang hadir.
Awalnya acara berlangsung lancar dan aman. Lalu tibalah pada saat pengumuman siswa berprestasi, Beliau sebagai ketua panitia menyodorkan selembar kertas yang berisi nama-nama siswa yang berprestasi dan yang akan saya bacakan.
Sejenak, saya tercenung. Dalam hati, kenapa nama saya tidak ada di kertas itu? Bukankah selama ini saya selalu masuk peringkat kelas, setidaknya nilaiku masuk 3 besar dalam kelas?
Semakin berdebarlah jantung saya, saat melihat satu nama yang berada di urutan ketiga, nama teman saya yang terkenal karena ketidakmampuannya untuk semua mata pelajaran, terutama Bahasa Inggris.
Bahkan tulisan tangannya saja tidak bisa dibaca sehingga paling sering disuruh tinggal di kelas untuk latihan menulis tangan sementara siswa lain pulang.
Kenapa bisa?
Apakah dia mendapatkan mukjizat saat ujian sehingga bisa menjawab semua soal dengan benar?
Jiwa saya berontak, marah, lalu saya keluar dari ruangan acara dan melemparkan kertas itu. Beliau terkejut dan mengejar saya.
“Nak, acara belum selesai, saatnya membacakan nama-nama siswa yang berprestasi.” Kata beliau.
“Maafkan saya pak, saya tidak bisa. Saya sedih, kenapa nama saya tidak ada, sementara nama si Fulan itu ada. Tolong dijelaskan, apa sebabnya?”
Beliau memungut kertas yang saya lemparkan itu, kening beliau berkerut lalu masuk ke ruangan kepala sekolah. Sejurus kemudian beliau keluar dan mendatangi saya, katanya,
“Ternyata nilai ujian Bahasa Inggrismu yang anjlok Nak. Nilaimu merah, hanya 5, sementara nilai temanmu itu terbilang tinggi” Nada bicaranya terdengar sangsi dan kalut.
Mata saya membelalak, “Pak, saya kan siswa yang paling rajin untuk Pelajaran bapak, saya selalu mendapatkan nilai tertinggi untuk Pelajaran Bahasa Inggris, bapak tahu kan?” suara saya serak bercampur tangis.
Beliau termangu, “Bapak juga heran, kenapa bisa yah?”
Yah Allah, hati saya makin kacau. Saya tinggalkan acara itu dan pulang dengan tangis yang saya sembunyikan. Saya tidak peduli dengan tugas saya sebagai protokol, kacau, kacau deh, hati saya sakit sekali. Itu adalah musibah buat saya.
Cinta Berubah Jadi Benci
Berhari-hari saya tidak muncul di sekolah. Kalau bukan karena mau membubuhkan sidik jari pada ijazah, saya tidak muncul sebab saya bersumpah tidak akan melihat muka kepala sekolah dan beliau lagi.
Dua tiga kali beliau datang ke rumah menjelaskan kronologinya, tetapi telinga saya sudah tertutup, tidak mau tahu dan makin sakit hati ini saat melihat angka 5 untuk Bahasa Inggris di ijazah saya.
Merah!
Yah Allah, padahal itu adalah mata pelajaran kesukaan saya di mana saya selalu meraih nilai tertinggi setiap kali ulangan maupun mengerjakan tugas-tugas harian. Benci sekali hati ini sama guru dan kepala sekolah yang berimbas pada mata Pelajaran Bahasa inggris.
Singkat cerita, saya melanjutkan pendidikan di SMA negeri yang tidak jauh dari rumah saya. Keengganan belajar Bahasa inggris belum juga hilang, dan makin enggan saat guru yang mengajar mata Pelajaran itu tidak sebagus guru mata pelajaran Bahasa Inggris saya itu waktu SMP.
Saya sadar, itu adalah sikap yang tidak baik dan hanya akan merugikan diri saya sendiri. Jangan dibilang, saya tidak berjuang melawan perasaan benci itu untuk menjadi suka. Namun, rasa sakit hati terlanjur menggerogoti jiwa ini.
Saya mengikuti pelajaran sekadar memenuhi kewajiban sebagai siswa, pura-pura belajar, padahal pikiran saya kemana-mana. Saat ulangan, saya menjawab asal saja, tapi anehnya, nilai saya aman-aman saja.
Tidak tinggi, tetapi tidak memalukan juga. Kok bisa yah?
Saat naik ke kelas 2 SMA, guru yang mengajar Bahasa inggris di kelas saya, digantikan oleh guru lain. Guru itu adalah guru yang cukup popular dan yang paling disukai oleh semua siswa yang pernah diajar. Kabarnya, beliau adalah guru idola semua siswa terutama oleh siswa perempuan karena ketampanan dan sikapnya yang supel.
Sayangnya saya tidak tertarik dan masih trauma.
Benci Menjadi Cinta
Jika mata pelajaran Bahasa Inggris dulunya saya sukai lalu berubah menjadi tidak suka maka berbeda dengan mata pelajaran Fisika.
Mata Pelajaran yang paling ditakuti oleh siswa karena begitu sulitnya. Namun, itu tidak berlaku buat saya. Saya menjadi suka sekalipun sulit dipelajari. Saya menjadi dendam pada mata pelajaran Fisika karena sesuatu hal.
Cerita bermula dari guru yang mengajar mata pelajaran Fisika saat di semester 1. Saat usai ulangan harian, beliau membagikan kertas ulangan/jawaban yang telah beliau periksa dengan mendatangi meja siswa satu persatu. Saat tiba di depan meja saya, guru Fisika itu berkata,
“Nilai kamu yang paling rendah. Sepertinya kamu memang tidak berbakat dengan pelajaran eksakta. Nanti saat pembagian jurusan, kamu jangan coba-coba pilih jurusan IPA. Bisa-bisa kamu pingsan setiap hari gara-gara tidak bisa mengikuti pelajaran, terutama pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Kamu cocoknya di jurusan IPS atau Bahasa saja.”
Pada masa itu, pembagian jurusan di SMA berdasarkan nilai perolehan di rapor, belum ada tes bakat, minat, diagnostik dan sejenisnya.
Mendengar komentar beliau, saya merasa tertantang dan sedikit kesal.
Saya kesal mendengar kata-kata beliau, tetapi saya sadar bahwa nilai saya memang yang terendah. Namun, di balik itu, terbersit dalam hati, kalau Fisika akan saya taklukkan, bagaimanapun caranya.
Memasuki semester 2, saya belajar mati-matian hanya untuk empat mata Pelajaran, yaitu matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi, dan tetap mempelajari mata pelajaran lain sekalipun tidak sesering mempelajari empat mata pelajaran itu.
Dalam hati, saya bertekad untuk membuktikan kepada beliau bahwa, anggapannya terhadap saya adalah salah besar.
Tibalah pada saat pembagian jurusan menjelang kenaikan kelas 2. Masyaallah, nama saya terdaftar di kelas 2 Jurusan IPA. Rasanya saya ingin menunjukkan rapor saya itu kepada belaiu sambil bilang, “Bapak salah, saya berhasil masuk jurusan IPA.”
Sayangnya kami tidak bertemu hingga libur semester berakhir.
Qadarullah, kami dipertemukan lagi di kelas 2, kembali beliau mengajar di kelas saya, tapi saya heran, beliau kok tidak mengenal saya yah?
Tak apalah, mungkin beliau malu karena sudah salah memprediksi.
Menjelang kenaikan ke kelas 3, kembali beliau “bikin ulah” dengan berkata, “Kebetulan saja kalian semua ini masuk jurusan IPA, karena hanya ada sekitar 10 siswa yang betul-betul memiliki kecerdasan eksakta, selebihnya lebih cocok masuk IPS.”
Bisa yah ada guru seperti itu? Teman-teman saya yang lain, mungkin tidak peduli dengan kata-kata beliau, tetapi tidak buat saya. Saat itu, saya berdoa, semoga di pertemuan kami berikutnya, beliau mengangkat topi buat saya karena berhasil menjadi sarjana Fisika.
Saya yakin saat itu Allah mendengar doa saya dan mengabulkannya, karena beberapa tahun kemudian, saya bertemu beliau bukan lagi sebagai siswa dan guru melainkan sebagai sesama guru. Saya mengajar IPA di SMP di sebelah SMA saya dulu sekolah, tempat beliau mengajar.
Beliau termangu ketika mengetahui kalau saya sudah menjadi guru dan mengajar mata Pelajaran IPA, pelajaran yang mencakup tiga mata pelajaran sekaligus, yaitu Fisika, Biologi dan Kimia bahkan waktu itu ada juga pelajaran Ilmu Pengetahuan Bumi & Antariksa (IPBA).
Tidak cukup sampai di situ, dua tahun setelahnya, kami dipertemukan lagi oleh Allah dalam acara seminar Fisika. Dengan bangga saya katakan, “Pak sekarang saya sudah sarjana, sarjana Fisika seperti bapak.”
Beliau tersenyum dan menjabat tangan saya, “Kamu luar biasa.”
Hikmah Dari Peristiwa Itu
Apa hikmah yang bisa kita ambil dari kedua peristiwa yang saya alami itu? Setidaknya buat saya yang ditakdirkan menjadi guru.
Pertama, setiap guru hendaknya harus berhati-hati dalam memberikan nilai terutama untuk penulisan nilai rapor. Untuk hal ini, saya selalu membuka diri, ketika ada siswa yang memprotes nilainya, karena bisa jadi saya yang keliru.
Kedua, rapikan administrasi terutama administrasi penilaian. Jadi ketika ada anak yang mempertanyakan hasil perolehan nilainya, bapak, ibu guru bisa mempertanggungjawabkan di hadapan siswa, bahwa memang nilainya sudah sesuai, dan kalau ada kekeliruan, jangan segan meminta maaf dan memperbaiki nilainya.
Ketiga, buat saya pribadi. Saat masih menggunakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada kurikulum 2013, saya selalu mengambil standar nilai KKM yang tinggi dan memberikan nilai di atas KKM untuk semua siswa yang rajin apalagi buat siswa yang pandai, rajin plus berkarakter baik.Jika ada siswa yang nilainya berada pada nilai KKM, itu artinya anak tersebut sudah tergolong sangat malas
Saya sadar, bahwa penilaian guru terhadap siswa itu sangat memengaruhi kejiwaan anak. Saya selalu beranggapan bahwa tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang malas saja. Maka selama siswa itu rajin atau menunjukkan antusiasnya maka dia berhak mendapatkan nilai yang bagus tanpa mengacuhkan siswa lain yang lebih pandai.
Keempat, buat guru, sangat penting memiliki tabungan kesabaran yang banyak. Selalulah berjuang menahan diri, menahan mulut dan tangan jika menemukan suatu kejadian yang menjengkelkan. Kalau sesekali keceplosan juga, segeralah beristigfar, sebab sekarang keadaan memang agak lain.
Tanpa menghakimi, anak-anak sekarang terutama yang lahir pada tahun 2000-an banyak yang jauh lebih "kreatif" dan kritis dibandingkan anak-anak dahulu, terutama anak yang lahir pada tahun 90-an.
Yaah, namanya juga dunia yang selalu dinamis, teknologi berkembang sangat pesat, informasi bisa didapatkan semudah kita tersenyum, dan banyak hal lainnya. Semua itu membutuhkan kehati-hatian kita dalam mendidik anak.
Semoga kisah saya ini bisa menjadi pelajaran buat kita semua, bahwa menanamkan rasa suka anak pada suatu mata pelajaran tidak semudah menjadikannya benci pada mata pelajaran lainnya.
Tulisan ini adalah untuk memenuhi Tema Tantangan Menulis (TTM) di Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP)
Makassar, 25 Mei 2024
Dawiah