Akhir Mei 2022, kita dikejutkan oleh berita hanyutnya Emmeril Khan Mumtadz putra dari Bapak Ridwan Kamil di sungai Aare kota Bern Swiss.
Lalu, media ramai memberitakannya disusul banyaknya postingan dari warganet di semua platform media sosial.
Saya menahan diri, tepatnya menahan jemari untuk tidak ikut menulis apa pun tentang beliau. Cukuplah saya melafalkan doa buat Eril agar husnul khotimah dan semua keluarganya diberi kesabaran dan ketabahan.
Mengapa Tidak Ikutan Menulis?
Saya tidak ikutan menuliskan apa pun tentang beliau, karena saya punya alasan tersendiri.
Pertama, saya tidak tahu mau menulis apa tentang beliau. Lah, saya tahunya Kang Emil (maaf ya, saya ikut-ikutan nulis nama beliau dengan “Kang Emil”) punya anak yang bernama Eril setelah terjadinya musibah itu.
Kedua, saya tidak sanggup menahan kesedihan. Yang namanya ditinggal oleh anak untuk selamanya pasti sangat menyedihkan, bagaimanapun caranya pergi dan di mana pun ia bersemayam.
Dua alasan itu saja membuat saya tak sanggup menuliskan tentang beliau. Jiwaku terlalu rapuh untuk sebuah kepergiaan.
Namun, diam-diam saya mengikuti beritanya melalui media sosial Kang Emil. Dan, diam-diam pula saya mengusap air mata sembari mendoakan beliau sekeluarga.
Perlahan rasa cemburu menyelusup ke dalam jiwa yang rapuh ini. Cemburu akan indahnya kepergian Eril yang ditangisi oleh berjuta rakyat Indonesia serta doa-doa yang melangit untuk kebahagiaannya di alam keabadiaan.
Betul, Eril meninggal di usia muda, tetapi insyaallah keberadaannya di dunia yang singkat itu tak seringkas amalannya.
Karena selepas kepergiannya, bermunculanlah orang-orang yang menjadi saksi akan kebaikannya, ketulusannya dan semua hal-hal baik yang telah ia lakukanlah.
Masyaallah!
Akhirnya Menulis Tentang Kepergian Emmeril Khan Mumtadz
Akhirnya saya menulis tentang Eril. Kenapa?
Ini semua gara-gara tantangan yang diberikan oleh ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) Makassar.
Setelah acara kopdar yang tidak sempat saya hadiri kemarin, Mugniar sang ketua IIDN wilayah Makassar menyampaikan, bahwa akan ada tantangan ngeblog 10 pekan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan tertentu, seperti, peserta adalah anggota IIDN Makassar, berkomitmen menulis sebanyak 1 tulisan di blog setiap pekan selama 10 pekan berturut-turut.
Ketentuan lainnya bisa dilihat di media sosial IIDN Makassar dan IIDN pusat.
Selain ketentuan-ketentuan tersebut, ada pula topik tulisan tertentu yang diberikan setiap pekannya. Nah, topik pertama di pekan pertama adalah hikmah tentang kematian putra Bapak Ridwan Kamil.
Dalam hati saya, wah, IIDN Makassar jeli juga melihat topik yang lagi ramai diperbincangkan oleh rakyat Indonesia terutama oleh netizen Indonesia.
Terpaksa deh saya menulis tentang beliau. Namanya juga tantangan, haruslah ditaklukkan. Iya kan?
Rahasia Kehidupan; Datang Belakangan Pulang Lebih Duluan
Setelah jasad Eril ditemukan hingga dikebumikan, berita tentangnya menaburkan banyak sekali hikmah yang bisa kita petik.
Tentang keikhlasan, kepasrahan, dan ujian keimanan. Bukan saja buat kang Emil, tetapi buat saya dan seluruh orang yang mengikuti beritanya.
Bukan sekadar turut berduka cita atau menyaksikan betapa besar ujian yang diberikan kepada keluarga beliau, tetapi bagaimana kita belajar akan keindahan akhlak kang Emil sekeluarga.
Kekaguman saya semakin bertambah manakala tanpa sengaja saya menemukan potongan video Kang Emil di Instagram.
Pada potongan video itu, beliau berkata,
“Seharusnya siapa yang datang duluan dia perginya duluan. Siapa yang datangnya belakangan harusnya pulangnya juga belakangan, tetapi rahasia kehidupan tidak matematik. Ini adalah contohnya, anak saya datang belakangan, tetapi berpulangnya terlebih dahulu.” (Ridwan Kamil).
Masyaallah!
Ini adalah puncak keikhlasan Kang Emil sekaligus memaksa kita untuk memetik hikmah atas apa yang terjadi.
Bahwa, sekuat apa pun manusia berjuang mempertahankan diri, jika tiba waktunya dipanggil, maka kematian adalah pasti.
Siapa yang tidak mengenal Bapak Ridwan Kamil, terutama di tempatnya berkuasa, tetapi di negeri orang lain, Kang Emil bukan siapa-siapa sehingga hanya bisa pasrah dan mengikuti prosedur pencarian anaknya kepada pemerintah setempat.
Coba bayangkan, seandainya peristiwa itu terjadi di Indonesia apalagi jika itu terjadi di daerah kekuasaannya, maka pastilah beliau akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencari anaknya hingga ditemukan dalam waktu singkat.
Namun, Allah Swt sekali lagi memperlihatkan kekuasaan-Nya kepada kita, maka wajar saja jika Bapak Ridwan Kamil menyebutkan kalau kehilangan putra sulungya di negeri orang merupakan semacam ujian kekuasaan pula buat beliau.
Apa pun itu, takdir Eril sudah ditentukan sejak rohnya berada di Lauhul Mahfuz. Kita yang masih berada di tempat yang fana ini masih harus berjuang agar kita bisa berakhir dalam kebaikan, bagaimanapun bentuk kematian kita.
Eril sudah menyelesaikan amanahnya dengan baik, Insyaallah syahid, sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadist tentang beberapa tanda-tanda kematian yang syahid.
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang mati syahid ada lima macam, yaitu orang yang kena tha’un (wabah), orang yang mati karena sakit perut, korban tenggelam, korban yang tertiban reruntuhan dan orang syahid di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sedangkan kita belum tahu, bagaimana bentuk kematian kita kelak, apakah syahid atau tidak? Apakah husnul khotimah (wafat dalam keadaan baik) atau su’ul khotimah (wafat dalam keadaan buruk).
Yang jelas kematian itu pasti dan tidak akan mungkin ditunda walau sesaat.
“Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Munafiqun: 11).
Tugas kita hanyalah berjuang melakukan hal terbaik dan mencegah diri melakukan hal buruk agar kelak saat ajal tiba, kita wafat dalam keadaan baik.
Amin ya rabbal alamin.
Makassar, 16 Juni 2020
Wassalam
Dawiah