Curhat
Sebenarnya saya ingin melampiaskan kekesalan tentang berbagai hal yang saya rasakan akhir-akhir ini, tetapi itu tidak mungkin saya lakukan. Pikiran warasku melarang, karena pada dasarnya itu sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Malahan bisa jadi menambah masalah baru.
Maka sedapat mungkin saya meredamnya. Namun, meredam rasa gelisah, kekesalan bahkan amarah adalah sesuatu yang tidak nyaman. Ibarat balon yang telah penuh dengan udara, tetapi masih juga ditiup maka yang ada balonnya bisa meletus.
Bumm!!
Sudahlah suara letusannya memekakkan telinga, balonnya pun pecah berantakan. Maka saya berpikir, rasa ini harus dikeluarkan, dilampiaskan seluruhnya agar tidak tertinggal sedikit pun di dalam hati.
Tetapi bagaimana caranya?
Biasanya kalau saya kesal kepada anak-anak yang tidurnya kelamaan atau lambat bergerak saat saya membutuhkan bantuannya, atau apalah itu, saya membuat gaduh di dapur (Hiiii, ini jangan ditiru ya teman-teman).
Cuci piring sambil ngomel, masak sambil ngomel, nyapu sambil ngomel. Pokoknya ngomel!
Jika kekesalan itu belum juga hilang, saya mengadu ke suami, meminta bantuannya untuk meneruskan omelan saya. Sayangnya, si ayangbebku itu bukan tipe orang yang gampang dihasut.
Dengan santainya ia akan berkata, “kamu saja yang ngomel, saya sih tidak.”
Atau dia bilang begini, “cukuplah kamu yang berkurang kecantikanmu karena amarah, saya tak mau kegantenganku berkurang gara-gara ikutan emosi.”
Jika kalian berada di posisi saya, bagaimana perasaan kalian?
Saya yakin, kalian makin emosi kan? Hahaha.
Ada yang bilang, jika kamu sedang marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Jika masih juga marah, maka berbaringlah. Masih marah juga, maka basuhlah wajahmu lalu berwudhu.
Kedengarannya mudah, tetapi tidak semudah mempraktikkannya. Soalnya saya pernah melakukannya. Saat marah saya bangkit dari duduk lalu berdiri, lah, emosi saya ikutan berdiri.
Saya berbaring, malah ketiduran dan marah itu masuk ke dalam mimpi. Mimpi diburu anjing gila pula. Saya terbangun dari tidur dengan napas ngos-ngosan bagai habis “berlari kencang” maka makin emosilah saya.
Jurus terakhir, saya berwudhu lalu salat sunat. Lah, habis salat saya tertidur di atas sajadah, sayangnya saya tidak bermimpi padahal saya berharap mengalami mimpi indah.
Sesuatu yang indah, sekalipun itu hanya mimpi akan terasa juga senangnya. Namun, mimpi bagi orang seperti saya belum tentu itu ilham, mungkin hanya bunga-bunga tidur yang tidak nyata. Jadi, ngapain menikmati sesuatu yang tidak nyata sekalipun itu indah. Jadi untuk apa saya berharap bermimpi indah, toh itu tidak nyata.
Jadi kau maunya apaaaa?
Mimpi indah atau mimpi buruk? Ha-ha-ha-ha-ha.
Hidup Sekali, Berarti, lalu Mati
Untungnya saya mempunyai hobi yang bisa menghempaskan semua kekesalan di hati. Cukup duduk di pojokan lalu membaca atau menuliskan semua rasa yang ada. Saya bisa asyik menulis di notes handpone atau menulis langsung di laptop.
Saya menuliskan semua kekesalan, kemarahan dan kesedihan atau apa pun itu.
Nah, buku yang berhasil menghalau kekesalan saya hari ini adalah buku karya Ahmad Rifa’I Rif’an. Seperti biasa, saya tidak menulis reviewnya karena belum tuntas saya baca. Saya hanya mau bilang, kalau buku ini bagus. Judulnya saja sudah meneduhkan hati.
Ada beberapa kutipan yang rasanya sangat mengena di hati yang sedang kacau, kesal apalagi bersedih.
“Jangan pernah meremehkan mahakarya Tuhan dengan pilihan hidup kita yang kerdil. Jangan pernah melecehkan mahakarya Tuhan dengan aktivitas kita yang kecil.” (Ahmad Rifa’I Rif’an)
Saya memaknai kutipan di atas sesuai perasaan saya saat membaca buku ini, bahwa jangan remehkan mahakarya Tuhan dengan mengisi hidup kita dengan kemarahan.
Siapa mahakarya Tuhan itu? Yah, saya, kamu, kita!
Jadi, jangan kesal-kesal lagi yah wahai emosi jiwaku.
“Berjihadlah sesuai dengan peran sosial yang telah kau pilih.” (Ahmad Rifa’I Rif’an)
Ada dua kata yang istilahnya berbeda, tetapi maksudnya sering disamakan, yaitu jihad dan qital. Jihad berarti perjuangan dalam arti yang umum, sedangkan qital berarti peperangan. (halaman 32)
Islam tidak pernah mempersempit makna jihad pada perang saja. Namun, jihad bisa berarti berperang melawan hawa napsu.
Kemarahan, kekesalan dan kesedihan adalah napsu yang bisa berkobar bagai api yang menyala-nyala. Dan, itu adalah napsu yang dibisikkan oleh setan, maka berjihadlah dengan memerangi hawa napsumu wahai jiwa yang rapuh.
Satu lagi kutipan yang berhasil menembus kepala saya dalam buku ini, yaitu:
“Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tetapi satu telunjuk (tulisan) sanggup menembus jutaan kepala.” (Sayyid Quthb)
Kalimat-kalimat yang terukir dalam buku ini telah mampu menembus kepala hingga ke dasar otakku.
Mungkin terlalu tinggi jika saya berharap tulisan saya akan menembus jutaan kepala orang, tetapi tulisan itu akan meredakan amarah, kekesalan dan kesedihan saya adalah nyata adanya.
Manusia itu memang selalu berkeluh kesah, tetapi Allah Swt telah membekali manusia dengan hati dan pikiran, maka gunakanlah hati untuk mengelola perasaan dan perdayakan pikiran untuk memikirkan akibat dari meluapkan perasaan secara membabi buta.
Seperti pesan dalam buku ini, hidup hanya sekali maka isilah dengan sesuatu yang berarti sebab setelahnya kita akan mati.
Alhamdulillah, saya telah berhasil mencurahkan hati saya melalui tulisan ini. Mohon maaf jika temanya random. Namanya juga curhat kan yah.
Baca juga curhatan saya lainnya di sini 📌 Sepatutnya Kita Saling Mengenal
Makassar 2 Oktober
Dawiah