Pada
akhir September hingga awal Oktober tahun 2020, saya mengikuti Bimbingan Teknik
(Bimtek) untuk Guru Pembimbing Khusus (GPK) bagi sekolah inklusi. Cerita
saat pembukaan kegiatan tersebut, saya tuliskan di
blog ini, silahkan baca di sini.
Pada sesi acara pembukaan dijelaskan bahwa Bimtek GPK saat itu adalah masih tahap pemahaman.
Akan ada tahap selanjutnya yang dijadwalkan pada tahun 2021. Semoga masih diberi umur dan sehat sehingga bisa mengikuti bimtek selanjutnya.
Dijelaskan bahwa untuk menjadi guru pembimbing khusus di sekolah inklusi, sedikitnya harus
mengetahui empat hal, yakni:
- Hakikat pendidikan inklusi
- Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusi
- Landasan Pendidikan Inklusi
- Prinsip Pendidikan Inklusi
Pendahuluan; Mengenal Konsep Pendidikan Inklusi
Kehadiran sekolah inklusi dengan guru-guru pembimbing khusus yang berasal dari guru di sekolah itu sendiri merupakan kabar baik buat orang tua yang memiliki anak yang luar biasa, anak berkebutuhan khusus.
Demikian pula peserta didik berkebutuhan
khusus, mereka memiliki harapan untuk bisa bersosialisasi dengan baik dan sehat dengan temannya, tanpa khawatir
akan mengalami perundungan.
Walaupun
pendidikan inklusi sangat erat kaitannya dengan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus, tapi tidak bisa didefinisikan bahwa pendidikan inklusi
sebagai nama lain untuk pendidikan kebutuhan khusus (Stubbs dalam Depdiknas,
2007:23).
Mengapa
demikian? Kita bahas satu persatu yuk!
Pengertian Pendidikan Inklusi
Disebutkan kalau
pendidikan inklusi tak bisa didefinisikan sebagai nama lain untuk pendidikan
kebutuhan khusus karena pendidikan inklusi menggunakan pendekatan yang berbeda
dalam mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah.
Pendidikan
inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa
diskriminasi
Hakikat Pendidikan Inklusi
Pemerintah
bukannya tidak memedulikan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, hal ini
terbukti adanya kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam undang-undang dan
berbagai peraturan pemerintah.
Misalnya,
Undang-Undang RI No 25 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Di mana dalam undang-undang
tersebut, pemerintah menjamin hak bagi setiap anak untuk memperoleh pendidikan
dan pengajaran tanpa kecuali.
Demikian
pula Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa.
Lebih
detail lagi termaktub dalam Bab IV Pasal 5 (2), warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus.
Namun,
sistem pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus saat itu masih menggunakan sistem
segregasi. Sistem segregasi tidaklah
buruk, namun merugikan dari sudut pandang anak berkebutuhan khusus yang
bersekolah.
Pembelajaran
model segregasi adalah anak berkebutuhan khusus ditempatkan di sekolah-sekolah khusus yang terpisah
dari sekolah reguler. Mereka disatukan dengan temannya yang memiliki kebutuhan khusus yang sama, sehingga
mereka hanya bertemu dan belajar bersama dengan orang yang memiliki hambatan
yang sama.
Misalnya
anak yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunarungu, maka sehari-hari mereka hanya bertemu
dan bersosialisasi dengan sesamanya tunarungu.
Pendidikan model
Segregasi tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan
potensinya secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum
sekolah biasa.
Anak-anak
yang luar biasa itu yang bersekolah di sekolah khusus atau model segregasi akan
minim interaksi sosial. Mereka akan menjadi rendah diri, merasa dikucilkan
karena tidak bisa berinteraksi dan bergaul dengan teman sebayanya dengan latar
belakang yang berbeda.
Tentu
saja hal ini menambah rasa kurang percaya dirinya serta dapat membatasi
perkembangan mereka lebih lanjut.
Bahkan secara filosofis model segregasi tidak logis. Di mana seharusnya anak berkebutuhan khusus disiapkan agar dapat berintegrasi dengan masyarakat pada umumnya, tetapi sebaliknya justru dipisahkan dengan masyarakat pada umumnya. (Reynolds dan Birch, 1988).
Selain itu,
Pembelajaran anak berkebutuhan khusus model segregasi relatif mahal dan biasanya
hanya ada di kota besar. Akibatnya, anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh
dari kota merasa kesulitan menjangkau sekolah tersebut, apalagi bagi anak
berkebutuhan khusus dari keluarga tak mampu.
Hal-hal
inilah yang mendasari munculnya pendidikan Inklusi melalui kebijakan pemerintah
tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Bermula
dari Deklarasi Bandung “Indonesia menuju pendidikan inklusi pada tahun 2004,
kemudian disusul dengan PP No 19 Tahun 2005 Pasal 41 (1) Setiap satuan
pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga
kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi
peserta didik dengan kebutuhan khusus.
Lalu
tahun 2008, kebijakan pemerintah terhadap pendidikan inklusi termaktub dalan
Permendikns No 32 tahun 2008 tentang
stadar Kualifikasi dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, yakni pada Pasal 1
(1) dijelaskan bahwa, guru pendidikan khusus adalah tenaga profesional. (2)
Guru pendidikan khusus adalah tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi
akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik bagi peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial dan/atau potensi
kecerdasan dan bakat istimewa pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan
umum, dan/atau satuan pendidikan kejuruan.
Perjalanan panjang kebijakan pemerintah RI tentang pendidikan inklusi ini akhirnya secara pelan namun pasti disambut dengan baik oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Orang
tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tidak lagi memaksakan anaknya masuk
ke sekolah luar biasa, kecuali bagi anak yang masuk dalam kategori butuh
penanganan khusus oleh ahlinya.
Hakikatnya,
pendidikan inklusi merupakan kegiatan mengajar anak dengan kebutuhan khusus
pada kelas reguler. Anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya
atau reguler guna mengoptimalkan potensi yang mereka miliki,
Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusi
Definisi pendidikan inklusi dirumuskan sejak dalam Seminar Agra pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara.
Kemudian pada bulan Maret tahun 1990
di Thailand dicetuskan Deklarasi Dunia Jomtien tentang Education For All (EFA)
yang dikumandangkan UNESCO. Pernyataan dalam deklarasi dunia Jomtien itu
mengindikasikan pentingnya menjamin kelompok marginal mendapatkan akses ke
pendidikan dalam sistem pendidikan umum, termasuk anak berkebutuhan khusus.
Maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan inklusi
merupakan sistem penyelenggaraan
Pendidikan yang memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada
semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan
individu peserta didik tanpa diskriminasi.
Tujuan Pendidikan Inklusi
Secara garis besar ada dua tujuan utama pendidikan inklusi, yakni:
- Memberi kesempatan seluas-luasanya kepada semua anak tanpa kecuali untuk memperoleh pendidikan yang layak sesuai kodisi anak
- Menciptakan pendidikan tanpa diskriminasi serta menghargai keberagamanan dan pembelajaran yang ramah anak
Landasan
Pendidikan Inklusi
Perlu diketahui bahwa kebijakan implementasi pendidikan inklusi memiliki landasan yang kuat, yakni landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011).
Apa landasan filosofinya?
Tidak lain dan tak bukan adalah dasar negara kita, yaitu Pancasila.
Bukankah kelima sila dalam dasar negara kita menuntun rakyat Indonesia untuk meyakini Tuhan yang Maha Esa, memanusiakan manusia secara adil dan beradab, memupuk persatuan, dan berhikmat dengan bijaksanaan dan terakhir adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lebih mendasar
lagi, kita memiliki semboyan negara yaitu Bhineka Tunggal Ika, Semangat
kebhinekaan itulah yang harus dimiliki sehingga kelemahan dan keunggulan tidak
memisahkan anak yang satu dengan yang lainnya
Landasan Yuridis
Ada beberapa perangkat yang menjadi landasan yuridis pendidikan inklusi,
- UUD Amandemen 1945, Pasal 31 ayat 1 dan 2
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tercatat dalam beberapa pasal.
- Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1) dan (2). Secara jelas dan nyata dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (1), “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena hambatan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
- Bahkan dalam Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.”
Landasan Empiris
Berdasarkan hasil penelitian terhadap sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, menunjukkan kalau penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah luar biasa dengan model segregasi tidak efektif dan terkesan diskriminatif.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi juga memiliki dukungan yang
kuat baik secara internasional maupun nasional. Hal ini terbukti dari berbagai
kegiatan secara nasional dan internasioanl sejak tahun 1948 dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights) hingga Rekomendasi Bukittinggi Tahun
2005 yang menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak semestinya
dipandang sebagai berikut.
- Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
- Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan anak usia dini, prasekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
- Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Prinsip Pendidikan Inklusi
Prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif telah dirumuskan
Depdiknas (2007) berupa prinsip motivasi, prinsip latar atau kontes, prinsip
hubungan sosial, optimalkan interaksi, dan prinsip individualisasi.
UNESCO dalam Hermansyah, 2003 menjabarkan tiga prinsip dalam pendidikan inklusi agar anak dapat belajar bersama dan belajar untuk hidup bersama dengan orang-orang di sekitarnya. Ketiga prinsip itu adalah:
- Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.
- Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
- Guru bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.
Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya.
Hal ini mencakup juga anak berbakat, anak
jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak
dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari
daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).
Penutup
Mungkin harapan orang tua dari anak berkebutuhan khusus belum seluruhnya terpenuhi, mengingat di sekolah-sekolah inklusi belum ada guru-guru yang paham soal pendidikan inklusi secara mendalam.
Karena itu, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang diteruskan dengan pelaksanaan bimbingan teknis bagi guru di sekolah reguler demi persiapan menyambut anak berkebutuhan khusus bersekolah di sekolahnya masing-masing.
Melalui bimtek inilah, guru-guru diberi pemahaman tentang apa, bagaimana cara menangani anak berkebutuhan khusus di sekolahnya nanti.
Karena pada akhirnya semua sekolah wajib menerima anak
berkebutuhan khusus atau dipastikan sekolah menjadi sekolah inklusi. Maka mau
tidak mau suka tidak suka, semua guru wajib paham soal pendidikan inklusi dan
menerima dengan hati yang ikhlas setiap anak didiknya tanpa membedakan latar
belakang, tingkat kecerdasan, dan sebagainya.
Demikianlah, semoga bermanfaat.
Referensi: Kemdikbud