Ketika
musibah menghampirimu maka kamu akan tahu siapa saudara dan sahabatmu sesungguhnya, karena tidak semuanya akan
perduli kepadamu.
Saya
tidak percaya kalimat tersebut. Namanya teman apalagi yang mengaku sahabat mana
mungkin tidak perduli dengan derita atau kesusahan yang dialami teman apalagi sahabatnya.
Tetapi itu dulu. Sebelum suatu
musibah menimpa keluarga saya.
Saat kita tertimpa musibah maka akan kelihatanlah orang-orang yang
bersimpati, orang-orang yang ringan tangan membantu tanpa perlu diminta,
saudara dan teman-teman yang datang menolong tanpa pamrih.
Sebaliknya
akan kelihatan pula orang-orang yang tersenyum samar tetapi puas melihat
penderitaan kita. Datang mengucap kata turut prihatin tetapi disertai senyum
kemenangan, seakan ini adalah pertarungan yang dia menangkan.
Bahkan ada yang
datang sekedar menonton sambil berfoto-foto ria. Memotret duka sambil tertawa
suka.
Sadis!
Saat
musibah itu menimpa keluarga saya di Makassar,
saya sedang mengikuti studi
banding ke beberapa sekolah di Surabaya dan di Yogyakarta. Kejadian itu terjadi saat saya sudah berada di
salah satu hotel di Yogyakarta.
Setelah
mendengar kabar itu, saya melapor kepada ketua rombongan untuk kembali ke
Makassar. Tujuan saya hanya satu adalah pulang
secepatnya.
Berita
tentang musibah yang menimpah saya dengan cepat menyebar ke anggota rombongan. Apalagi waktu itu, ketua rombangan
meminta sumbangan kepada semua anggota rombongan. Padahal saya tidak minta.
Beragam
sikap dan celotehan yang saya dapatkan. Ada yang datang memeluk sambil berbisik,
“Sabar ya Bu. Insya Allah semua akan diganti oleh Allah dengan rezeki yang
lebih baik.”
Ada
yang datang menyalami sambil bertanya. “Bagaimana keadaan keluarga-ta Apakah mereka baik-baik saja?”
Ada
pula yang berkata. “Alhamdulillah tidak ada korban jiwa, sabar Bu. Jaga
kesehatan, jangan stress.”
Itu
komentar yang positif dan cukup menghibur.
Beberapa
di antara rombongan ada teman yang kenal dekat dengan mama dan keluarga saya.
Beliau menanyakan kabar mama, anak-anak, dan adik-adik saya. Mengajak berbincang sambil menunggu bis yang akan mengantarkan saya ke Bandara. Di
tengah perbincangan itu, Beliau bertanya tentang apakah ada barang berharga yang
saya sembunyikan tetapi keluarga lainnya tidak tahu?
Saya
langsung ingat. Sedikit emas batangan yang saya sembunyikan di balik buku-buku
dalam lemari. Spontan saya menelepon putra sulung saya, memberitakan keberadaan
emas tersebut. Melalui telepon saya memberi petunjuk tentang letaknya hingga
akhirnya emas yang tidak seberapa itu ditemukan.
Mungkin
karena menelepon dengan suara sedikit nyaring karena panik atau apalah,
saya lupa gambaran perasaan saya waktu itu, sehingga beberapa orang yang duduk
di sekitar kami mendengarnya.
Maka
mulailah suara-suara sumbang itu datang.
“Bagus
ya Bu, ibu punya emas batangan.” Seorang ibu berkata dengan senyum yang terlalu
manis untuk dikenang.
“Tawwa ada emas batangannya.” Nyeletuk
ibu lain dengan muka kecut sekecut cuka level 99%.
“Alhamdulillah
kalau emasnya bisa ditemukan, jadi ada dong modal lagi untuk bangun rumah.” Ini
menghibur apa menghinakah?
“Berarti
tidak terlalu parah-ji rumah-ta, buktinya emas-ta bisa-ji diselamatkan.”
Pertanda tidak puas dengan musibah saya karena masih ada yang tersisa.
Beuh…
Bahkan
ada sekumpulan ibu-ibu yang bercanda.
“Eh
minggir dong yang punya emas batangan mau lewat.” Kata seorang ibu yang memakai
jilbab paling lebar.
“Silahkan
orang kaya!” Timpal lainnya sambil tertawa cekikikan.
SADIS!
Tahukah
kalian? Sejak mendengar berita musibah itu tak setetespun air mata yang keluar,
tetapi mendengar suara-suara itu hati saya
tersayat perih.
Saya
pikir jika saya sudah berkumpul dengan keluarga maka celotehan yang “manis” tak
terdengar lagi. Nyatanya makin gencar bahkan dengan mudahnya menghakimi dan
menuduh seluruh korban musibah.
“Kamu
tahu kenapa daerahmu kena musibah? Karena Allah marah!”
“Pantas
daerahmu kena musibah, banyak uang haram sih yang beredar.”
Ya Allah!
Untunglah sekarang saya sudah melupakannya. Tetapi tidak benar-benar hilang dari ingatan. Karena
setiap ada kejadian serupa muka orang-orang itu seakan muncul lagi. Suara-suara
sumbangpun kembali terngiang. Padahal harusnya dilupakan.
Tetapi
itulah kenyataannya. Pikiran tidak bekerjasama dengan hati.
![]() |
STOP SHARE!
Musibah
yang saya alami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan musibah gempa bumi yang
dialami saudara-saudara kita saat ini. Kehilangan harta belum seberapa
dibandingkan kehilangan nyawa.
Gempa
dan tsunami yang melanda Sigi, Donggala, dan Palu tahun ini sungguh telah
menyisakan luka yang tak terperi. Betapa banyak yang kehilangan keluarganya dan
orang-orang yang dicintanya. Ada jazad telah ditemukan tetapi tidak sedikit yang hilang
tanpa kabar.
Sungguh telah mengharubiru banyak hati.
Apakah mereka aman dari celoteh dan nyinyiran?
Mungkin
saja mereka tidak mendengar langsung celoteh dari orang-orang di sekitarnya,
tidak melihat senyum-senyum sinis yang seakan menghakimi mereka.
Tetapi
saat ini dunia maya jauh lebih kejam daripada dunia nyata dan jemari lebih tajam
daripada mulut.
Jika
lidah bisa disebut tak bertulang lalu jari-jari yang mengetikkan kata-kata yang
menyakitkan disebut apa? Jika 2 kali 14 tulang ruas pada jari tangan tak diberi nyawa, paling tidak pemilik jari-jari
itu memiliki hati dan otak.
Hati
dan otak seharusnya saling bekerjasama dalam mengelola pengendalian diri. Agar tidak
gampang menuliskan kalimat-kalimat yang menyakitkan. Agar tidak mudah mengklik
berita, video dan apapun lalu mengirimkan ke media sosialnya.
Cukuplah
dibagikan ke kalangan terbatas untuk saling mengingatkan, untuk saling menjaga serta
saling menghibur hati yang gulana.
Berhentilah
saling menyalahkan dan mencari sebab musababnya!
Karena sejatinya semua yang
terjadi diluar kuasa manusia. Apapun yang terjadi dalam kehidupan ini adalah
skenario yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz.
Berhentilah
saling nyinyir antara yang membantu dengan yang tidak membantu!
Karena bisa
jadi yang kelihatan diam, tidak share
di media sosialnya, atau yang tidak berkomentar apa-apa justru lebih banyak membantu
dan berdoa untuk keselamatan saudara-saudara kita yang terkena musibah.
Ketahuilah, bukan hanya musibah yang menyisakan kepedihan karena itu bisa saja hilang seiring dengan
keikhlasan menerimanya, melainkan
kepedihan yang membekas karena hujatan dari orang-orang yang sok suci.
Mereka
bisa bangkit lagi dengan sisa-sisa tenaga dan sedikit bantuan dari orang-orang
tetapi pedihnya hati akibat dikecam dan dituding tanpa ampun akan terus
membekas.
Semoga
kita semakin cerdas bermedia.