Cerita di akhir September saya adalah cerita tentang kunjungan ke kedua tempat fasilitas kesehatan. Dimulai pada konsultasi kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) lalu mendapatkan surat rujukan untuk ke rumah sakit dengan fasilitas lebih lengkap dan dengan dokter ahli.
Namun, saya tidak akan bercerita tentang apa, mengapa, apalagi alasan ke kedua tempat yang tidak diinginkan itu. Lalu apa yang menarik untuk diceritakan dari tempat yang saya datangi itu?
Saya tiba di puskesmas sekitar pukul 09.00 lewat beberapa menit. Nampak pasien masih sedikit, tetapi para petugas kesehatan sudah bersiap-siap di tempatnya masing-masing untuk pelayanan. Karena itulah saya berjalan santai ke loket pengambilan nomor antrian, ternyata saya tak perlu antri karena langsung dimintai kartu kontrol kemudian ditanyai siapa yang mau berobat.
Tidak butuh waktu lama, urusan di loket selesai, saya dipersilahkan duduk menunggu panggilan untuk diperiksa sama dokter.
Saat duduk di kursi panjang, tak sengaja saya mendengar obrolan dua orang ibu-ibu, tapi saya tidak tahu mereka ngobrolin apa, soalnya keduanya berbahasa Jawa. Dari bahasa tubuh keduanya, kelihatan si ibu yang memakai baju kaus mengeluh kepada si ibu yang berjilbab abu-abu dan si ibu berjilbab mendengarkan dan bicara acuh tak acuh.
Sesekali terdengar mereka berbahasa Indonesia, jadi ada sedikit informasi yang saya dapatkan dari obrolan itu. Mungkin rasa penasaran saya tak bisa bersembunyi di balik wajah sok polos saya sehingga si ibu berjilbab menengok ke arah saya, lalu mengangguk ramah dengan sorot mata nampak kesal ke lawan bicaranya.
Obrolan mereka terhenti karena si ibu berjilbab dipanggil melalui pengeras suara. Tiba-tiba si ibu berbaju kaus mendatangi saya dan terjadilah obrolan yang cukup panjang.
Telinga saya rasanya gerah mendengar keluhannya, mulai dari susahnya punya suami pengangguran, jadi pendamping penerima Program Keluarga Harapan (PKH) di mana penerima PKH tidak tahu terima kasih, dsb. Namun, yang menarik dari setiap permasalahan yang dikeluhkannya adalah selalu ada kalimat yang seakan-akan minta dibantu.
Seperti ini.
“Kalau saya ke rumah sakit atau ke puskesmas, perawat dan dokter selalu menyelipkan uang karena mereka tahu kehidupan saya yang miskin.”
“Bahkan kalau ketemu orang baru dan mendengar cerita saya, selalu kasihan pada saya dan pasti dia memberi bantuan.”
Lah, ini seakan menyindir saya. Coba disimak, kita baru ketemu, tidak saling kenal sebelumnya lalu dia bercerita tentang kehidupannya yang susah. Berarti harusnya saya kasihan dan memberi dia bantuan bukan?
Pantas waktu ngobrol dengan si ibu berjilbab tadi, mukanya nampak sewot.
Sebagai orang yang berkali-kali ditipu oleh orang yang menjual kesusahan dan kemiskinannya, saya menjadi lebih hati-hati dan tidak mudah tersentuh apalagi langsung kasihan dan memberi sesuatu.
Oh tidak semudah itu, oncom basi!
Otak saya terlanjur merekam peristiwa di mana saya ditipu oleh orang yang pandai memanfaatkan rasa kasihan saya. Bukan sekali saja soalnya, lebih dari lima kali.
Lima kali, saudara-saudara! Dan orang-orang itu lenyap entah kemana.
Ada yang menyamar jadi mantan murid saya yang minta pinjam uang karena ijazah anaknya ditahan oleh pihak sekolah. Goblognya saya, karena masih percaya kalau hari ini sekolah bisa menahan ijazah siswanya gara-gara tidak membayar. Padahal pembayaran uang SPP sudah lama dihapus. Duh!
Sekitar tahun 2000, seorang laki-laki tua sepantaran suami saya pernah datang ke rumah. Dia mengaku mantan murid saya ketika masih jadi guru honorer sekitar tahun 1985. Saya menerimanya dengan baik, menjamu sambil berusaha mengingat-ingat wajahnya. Katanya dia tinggal di luar kota, habis dicopet sekian juta, lalu mau pulang kampung, tapi uang transport tidak ada.
Ngakunya, satu-satunya rumah gurunya yang sering dia kunjungi dulu adalah rumah saya makanya dia tidak lupa. Katanya lagi, saya adalah guru yang paling dia kagumi, baik hati, tidak sombong dan tidak PELIT.
Nah, di situlah kuncinya, saya haus pujian wkwkwk.
Maka uang Rp. 200.000 melayang yang katanya hanya mau dipinjam dan akan dibayar bulan depan. Sekarang sudah tahun 2024 dan si mantan murid itu tidak kunjung datang membayar utangnya. Mungkin sudah koit. Saat saya menceritakan itu kepada suami, beliau bilang begini.
“Bisa-bisanya kamu percaya dia mantan muridmu sedangkan mukanya setua muka saya. Waktu kamu jadi guru di tahun itu, saya sudah mahasiswa.”
Iya juga yah? Hahaha.
Pernah pula ditipu sama seorang ibu yang minta sejumlah uang karena ibunya mau dioperasi, tapi kekurangan biaya sehingga operasi ibunya ditunda. Dia hanya butuh 10.000 rupiah!
Bayangkan, betapa ngelegnya otak saya saat itu. Kira-kira adakah rumah sakit yang menunda operasi pasiennya hanya gara-gara kurang biaya sebanyak Rp.10.000?
Tidak banyak sebenarnya, hanya pembeli semangkok bakso, tapi bukan faktor jumlahnya melainkan perasaan dibodohi itu yang sakitnya tuh di sini, sambil nunjuk dada, hahaha.
Makanya sekarang setiap ketemu dengan orang yang serupa, tapi tak sama dengan orang-orang si penipu itu, otak saya langsung memberi sinyal WASPADA. Yaah ada baiknya, tapi mungkin ada buruknya juga, karena jiwa kepedulian saya menipis.
Maafkan saya yah Bu!
Nampaknya ibu memang susah, tapi saya terlalu sering ditipu oleh muka-muka susah seperti ibu.
Mengapa Banyak yang Mudah Tertipu Seperti Saya?
Dilansir fimela.com, ada lima sikap seseorang yang membuat dia gampang ditipu, yaitu:
- Terlalu percaya pada orang lain.
- Kesulitan menolak permintaan orang lain.
- Tidak mampu membedakan antara kejujuran dengan kebohongan.
- Kurangnya rasa curiga atau kewaspadaan.
- Keterlibatan dalam investasi tertentu.
Dari kelima sikap itu, sepertinya dahulu saya memiliki setidaknya tiga sikap di antaranya. Namun, itu dulu. Sekarang insya Allah tidak lagi deh.
Semoga Allah subhanahu wataala selalu melindungi. Amin.
Kalau kalian, punyakah pengalaman pernah ditipu juga? Bagi ceritanya dong di kolom komentar.
Makassar, 1 Oktober 2024
Dawiah