Gagal Jadi Artis
Saya
selalu bilang ke teman-teman seprofesi, bahwa guru itu sebenarnya artis. Setiap
mau masuk kelas, guru harus memperhatikan penampilannya agar sedap dipandang
mata, minimal dipandang oleh murid-murid.
Ia
harus menjaga suasana hatinya, tetap terlihat gembira sekalipun hati sedang
gulana. Artis juga begitu kan, walau sedang berduka jika harus tampil maka ia
tak boleh menampakkan kesedihannya.
Ternyata
pendapat saya itu keliru.
Artis
bisa berpura-pura di depan kamera, akting. Tapi saya tidak bisa. Kalau menutupi
suasana hati di depan murid-murid saat di depan kelas pasti bisa, tapi berbicara
lancar di depan kamera seakan berbicara di depan murid sungguh sulit.
Sumber gambar: Pixabay.com |
Tidak
percaya? Baca saja pengalaman saya saat harus akting di depan kamera
Proses Pembuatan Video Pertama
Untuk
memutus rantai penyebaran virus copid-19, sekolah diliburkan. Tidak ada
pembelajaran tatap muka tetapi pembelajaran harus tetap jalan, maka jadilah
pembelajaran itu dilakukan secara daring atau dalam jaringan.
Beberapa
teman guru menggunakan aplikasi yang bisa saling menyapa dan tatap muka secara daring,
seperti aplikasi zoom, classroom, dan
sebagainya.
Tetapi
saya memilih aplikasi sejuta ummat, yaitu whatsapp. Pertimbangannya, hampir semua
murid menggunakan aplikasi ini. Selain itu, saya
bisa menyapa murid dengan mengirim suara saja sambil baring dan gunakan pakaian rumah alias daster.
Hari
pertama, beberapa teman guru mengirim videonya yang sedang mengajar ke grup whatsapp
sekolah, wah kelihatan keren. Sepertinya gampang, cukup menjelaskan materi
pelajaran dan direkam.
Hm, saya juga bisa.
Untuk
kelas 8 yang saya ampu kebetulan saya punya animasi pembelajaran tentang materi Getaran, Gelombang,
dan Bunyi. Maka animasi itu saya rekam sembari menjelaskannya. Gampanglah ini.
Nah,
giliran mau mengajar ke kelas 9 saya mulai bingung. Cara apa yang bisa saya
gunakan agar murid-murid saya tetap merasa diajar. Maka langkah pertama yang saya
lakukan adalah menulis materi itu di
blog lalu bagikan linknya. Lumayan kan bisa menghalau laba-laba yang
sudah mulai bikin sarang di sana.
Materinya bisa dibaca di sini
Materinya bisa dibaca di sini
Tapi
rasanya kurang lengkap, murid tidak menatap saya, nanti mereka kangen, kan
kasihan. Percaya diri dikangeni sama murid, ha-ha-ha.
Kata
si-Bungsu, “bikin video saja Mak, nanti saya yang rekam-ki.”
Baiklah,
siapa takut. Begini-begini, mamakmu ini pernah main teater, dulu.
“Tulis
dahulu skenarionya, apa kata pembukanya, materi apa yang mau diajarkan.” Saran
si-bungsu.
“Gampang,
kan tinggal cuap-cuap, beres.” Saya percaya diri.
Maka
jadilah peristiwa itu sebagai kenangan yang tak terlupakan.
Sang
kamerawan merangkap sutradara dan editor itu dengan songongnya mengatur-atur
saya. Tapi memang begitu kan, sang pemain harus ikhlas diatur-atur oleh
sutradara, ya sudahlah ikhlaskan saja diatur dan ditegur oleh anak sendiri.
“Cut!
Bicaranya belepotan Ma, ulangi.” Teriak sang sutradara. Mamanya menurut saja.
“Cut!
Jangan okkots, dasar orang Makassar. JANGAN mama, bukan JANGANG.”
“Ulangi,
mukanya biasa saja, jangan senyum-senyum tidak jelas begitu.”
Hiii,
rasanya ingin jambak rambutnya.
“Sabaaar,
ini ujian. Kan mau jadi artis to.” Bapaknya ikutan coddo sambil tersenyum.
Akhirnya
setelah beberapa kali mengambil gambar, maka jadilah video itu.
“Mana
videonya?” Tak sabar mau melihat muka sendiri
“Mau
diedit dulu Ma, ini banyak gambar tidak penting yang muncul.”
Tak
lama kemudian video itu jadi. Masya Allah, saya hanya menyapa murid dan
menginformasikan tentang tugasnya saja, butuh take berulang kali.
Sumber pribadi |
Video Kedua
Memasuki
pekan kedua, saya mau direkam lagi. Kali ini persiapannya lebih ribet. Berhubung Kepala
Sekolah menghimbau guru-guru untuk membuat materi pembelajaran yang sehubungan dengan
virus corona. Maka seharian saya gunakan waktu mencari informasi penting dan
akurat tentang hal tersebut.
Akhirnya
ketemulah website WHO, di sana memuat segala hal yang berhubungan dengan pandemi
itu. Beberapa gambar saya unduh, rencananya akan digabung dengan rekaman muka
dan suara saya.
Proses
rekamanpun dimulai. Eh, sebelumnya saya bongkar lemari dulu, cari-cari baju
yang pas. Entah kenapa, selama sepekan di rumah bobot tubuh meningkat pesat.
Baju menjadi kecil, eh salah bukan bajunya yang mengecil melainkan badannya
yang membesar.
“Saya
berdiri saja agar kelihatan lebih langsing.” Sesekali artis boleh ajukan
permintaan kan ke sutradara.
“Boleh
Ma.”
Sama
dengan proses pengambilan gambar sebelumnya, pengambilan gambar diulang beberapa kali.
“Cut!
Agak miring Ma, biar kesannya kurus sedikit.” Mulai deh.
“Cut!
Perutnya bisa ditutupi sedikitkah? Pakai buku atau apa gitu.” Ini anak meledek
atau apa yah.
Tapi
demi sebuah video saya pasrah sajalah.
Akhirnya
video selesai, sang editor memperlihatkan hasil editannya.
“Ih,
jelek. Kenapa badan semua isinya.” Saya kaget lihat videonya.
“Mama
kan berdiri, jadinya kelihatan semua badannya.” Kamerawan bela diri.
“Ya
sudah hapus saja yang ada saya, pakai slide saja.”
“Hii,
capek-capek direkam ujung-ujungnya tidak digunakan.” Giliran dia yang
menggerutu.
Sumber pribadi |
Tadaaa…
video selesai, isinya semua slide tanpa badan saya.
Gagal
deh jadi artis😃
Oh
yah, jika videonya diiringi musik zaman sekarang, maklumi saja yah. Yang bikin
anak milenia usia 15 tahun. Usulan bapaknya pakai musik Ebiet G Ade ditolak
mentah-mentah.
“Ih
sudah tidak zaman Pak.”