Memesona itu Merdeka

Thursday, March 30, 2017

Saat kita memasuki usia senja, yah usia sekitar lima puluhan ke-atas, seperti aku saat ini, seharusnya kita sudah merdeka. Merdeka bukan karena dijajah oleh seseorang. Tetapi merdeka dari segala jenis “penjajahan” yang bisa jadi penjajahan itu sumbernya dari diri sendiri.
Apa sajakah yang termasuk penjajahan yang sumbernya dari diri sendiri? Tiada lain adalah pikiran negatif.
Yah, pikiran negatif  adalah  penjajahan yang paling mengintimidasi jiwa dan raga.
Cobalah dibayangkan, saat kita sedang bersama sahabat yang lama tidak bertemu,  tiba-tiba pikiran kita disusupi pikiran buruk.
“Ih, jangan-jangan dia sudah tidak menganggapku sahabatnya lagi.”
“Barangkali dia sekarang malu bersahabat denganku karena aku tidak sesukses dia.” 
Atau bisa jadi kita sedang asyik-asyiknya bersama pasangan lalu pikiran buruk itu muncul dan merasuk ke dalam hati, kemudian kita bertanya-tanya, “apakah dia masih setia kepadaku?” Atau, “apakah dia tidak selingkuh, bukankah aku sekarang sudah tua dan tidak memesona dia lagi?”
Luar biasa capeknya kan?
Makanya, segeralah merdekakan diri dari pikiran-pikiran buruk. Ciptakan habits untuk selalu berprasangka baik kepada diri sendiri, berprasangka baik  kepada suami, kepada saudara, kepada teman, bahkan kepada musibah yang menimpa dan terutama adalah berprasangka baik kepada Allah swt.
Rasulullah saw bersabda yang artinya adalah:

“Allah ‘azza wajalla berfirman; “Aku berada dalam prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” (HR. Bukhari)

Jika kita berprasangka buruk kepada Allah swt, berarti kita siap menerima hal buruk berdasarkan prasangka itu.
Berprasangka baik kepada diri sendiri adalah meyakini bahwa seburuk apapun rupa dan diri, kita masih memiliki orang-orang yang menyayangi, mencintai, yaitu orang-orang terdekat, suami, anak-anak, orang tua, saudara, dan teman-teman lainnya.

Bahkan berprasangka baiklah terhadap musibah yang menimpa, karena bisa jadi musibah itu adalah pencuci dosa bagi diri kita, atau bisa jadi musibah itu adalah awal akan datangnya kebahagiaan.

Dan aku telah membuktikannya saat musibah kebakaran menimpa keluargaku, rumah dan seluruh isinya ludes terbakar. Masya Allah! Aku memang kehilangan harta benda tetapi anak-anakku dan semua keluargaku selamat.
Lalu kami saling menyemangati, saling menghibur dan yang paling penting kami berprasangka baik kepada Allah swt.
Karena andaikan kami tidak berprasangka baik kepada Allah, tentu kami akan mengutuk musibah itu, tentu kami akan menyesali “hadiah” Allah swt untuk keluarga kami. Lalu hikmah apa yang dapat aku petik? 
Masya Allah, luar biasa. Entah dari mana asalnya, kami diberi rezki yang berlimpah hingga dapat membangun kembali rumah kami yang lebih bagus dari rumah sebelumnya, anak-anakku pun berjuang mencari pekerjaan demi membantu keluarga.
Bukan karena mereka berjuang dalam mencari pekerjaan yang membanggakanku, melainkan rasa tanggung jawab yang mereka miliki terhadap keluarganyalah penyebabnya. Mereka menjadi semakin dewasa, mereka semakin saling menyayangi.  Dan bagiku itulah anugrah yang terindah.

Memesona itu adalah merdeka. Merdeka dari ketergantungan  secara finansial kepada orang lain, bahkan kepada anak-anak kita sendiri. Anak memang harta kita, tetapi jangan lupa mereka akan terus bertumbuh dan berkembang hingga suatu saat mereka akan memiliki kehidupan sendiri saat mereka mulai membangun keluarganya.
Maka alangkah terjajahnya diri jika diusia tua hanya menggantungkan harapan dan bantuan finansial dari anak-anak.
Maka sejak awal persiapkan diri sebelum  usia tua tiba, sebelum kelemahan mendera,  agar kita tetap merdeka secara finansial sehingga tidak membebani anak-anak dan orang lain kelak.

Selagi masih ada waktu, maka berjuanglah agar diri tetap memesona dengan merdeka. Dekatkan diri kepada pemilik hidup agar rasa tak berdaya menjadi sirna, yakinkan diri bahwa Allah swt sangat dekat kepada hambaNya, lebih dekat dari urat leher kita sendiri. 
#MemesonaItu


Read More

Para Abdullah Di Sekitar Rasulullah

Wednesday, March 15, 2017



Judul Buku: Para Abdullah Di Sekitar Rasulullah

Penulis: Haeriah Syamsuddin
Editor: Muslik
Desain Sampul: Budi Setiawan
Tata Letak: Nunu Saputra Kostawa
Penerbit: Khazanah Intelektual
Cetakan: Pertama, Juni 2013 M/Sya’ban 1434 H

Sebenarnya buku ini sudah lama kumiliki, hadiah dari penulisnya,  Ibu Haeriah Syamsuddin.
Aku tidak pernah mengenal beliau, belum pernah juga membaca bukunya. Maka bukanlah tanpa sebab, ketika  Allah SWT mempertemukan kami dalam suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh IIDN Makassar beberapa waktu lalu.
Bertempat di Dilo Makassar, kami bertemu walau tak sempat saling menyapa namun hadiah buku yang dibagikan kepada semua yang hadir  telah menghasilkan   jalinan silaturahim yang indah.
Aku tidak tahu, apakah aku akan mereview buku ini atau akan membedanya. Entahlah. Yang pasti, aku akan membagi kekagumanku, kebanggaanku atas kisah-kisah para Abdullah di sekitar Rasulullah yang ditulis dengan sangat apik.

Buku ini bertema sejarah, sejarah Islam. 

Sejarah tentang Rasulullah,  sejarah tentang para sahabatnya. (Semoga aku tidak salah menginterpretasi).



Judul buku ini sangat menggoda, juga menyimpan tanya. Sehingga mendorongku untuk mulai membacanya.
Dan hasilnya adalah buku ini berhasil  menarikku ke dalam pusaran kisah indah, cerita kasih sayang karena Allah, juga  semangat para sahabat dan orang-orang yang berada di sekitar  Rasulullah. Yang unik dalam buku ini adalah semua kisah sahabat Rasulullah yang bernama Abdullah saja.
Maka tidak ada kata lain yang bisa kukatakan selain kata “Sangat Cerdas.”

Begitu banyak kerabat dan sahabat Rasulullah yang mengelilinginya, tetapi siapa yang menyangka bahwa kerabat dan sahabat beliau yang bernama Abdullah tidaklah sedikit.
Dari buku ini, aku mengetahui ada  dua puluh orang yang berada di sekitar Rasulullah yang bernama Abdullah. Masya Allah!

Penulis menggambarkan setiap sahabat Rasulullah yang bernama Abdullah itu dengan lugas, penggambarannya nyata, sedemikian nyatanya sehingga aku merasa melihat dan bertemu dengan para sahabat Rasulullah yang mulia itu. Tentu saja ini tidak serta merta ditulis, ini adalah hasil penelusuran panjang penulis sehingga dapat menuliskan kisah para Abdullah ini dengan sangat teliti.
Penulis juga menuturkan kisah para Abdullah di sekitar Rasulullah itu dengan kata-kata yang indah dan  penuh cinta sehingga kita yang membacanya merasa turut cinta kepada sahabat Rasulullah terutama kepada Rasulullah sendiri.
Dari kisah para Abdullah ini, kita mendapatkan gambaran betapa hebatnya orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah dan betapa dahsyatnya pesona dan pengaruh Rasulullah sehingga dapat menuntun, mengajari memberi tauladan kepada sahabat-sahabatnya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Penulis menggambarkan pesona itu melalui Abdullah bin Umar anak dari Umar bin Khattab yang sangat mencintai Rasulullah sehingga setiap tingkah laku Rasulullah, beliau mengikutinya.
Adalah Abdullah bin Abbas, sepupu sekaligus keponakan Rasulullah dituturkan oleh penulis sebagai orang yang didoakan oleh Rasulullah agar menjadi faqih dalam agama, maka doa itu terkabul sehingga Abdullah bin Abbas dikenal sebagai sang ulama ummat.

Bagaimana dengan para Abdullah lainnya?

Penulis piawai merangkai kata yang memotivasi untuk terus membaca demi menuntaskan rasa ingin tahu kita tentang Abdullah lainnya.
Seperti kisah Abdullah bin Amr bin Ash, sangat kuat beribadah. Begitu kuatnya beribadah sehingga Rasulullah menasehatinya sebagaimana yang diriwayatkan oleh H.R. Bukhari dan Muslim. “Sesungguhnya aku puasa dan berbuka. Aku salat dan tidur. Aku menikahi perempuan. Ketahuilah, tubuhmu juga punya hak untuk istirahat. Maka, siapa yang tidak suka sunnahku, tidak termasuk dalam golongan ummatku.”

Kita juga akan disuguhi kisah keberanian  dari Abdullah bin Zubair yang berperang diusia 12 tahun. Jika dibandingkan dengan keadaan saat ini, masih adakah anak-anak remaja seusia Abdullah bin Zubair yang memiliki keberanian seperti itu? Sehingga diakhir hidupnya, telah merusak akhirat Hajjaj.
Abdullah bin Mas’ud, adalah orang yang diberi pujian oleh Rasulullah. “Barang siapa yang ingin membaca Al-Qur’an sebagaimana ketika Al-Qur’an diturunkan, maka bacalah sebagaimana cara membaca Ibnu Ummi Ibdin (Abdullah bin Mas’ud)” (H.R. Ahmad).

Membaca kisah Abdullah bin Rawahah,  Abdullah bin Jahsy. Abdullah bin Amru bin Haram, Abdullah Dzul Bajadain, yang dituturkan oleh penulis  seakan mengaduk-aduk perasaanku. Kisah gugurnya satu persatu sahabat Rasulullah di medan perang telah menyeretku dalam kubangan kesedihan juga rasa bangga akan keberanian mereka hingga “kecemburuanku” atas berita gembira bahwa mereka telah diterima sebagai syahid.

"Kecemburuanku" semakin tak terbendung ketika penulis mengisahkan tentang Abdullah bin Ummi Maktum, seorang buta yang sangat ingin berjihad sehingga kehadirannya telah menyebabkan turunnya surah Abasa (80). Masya Allah!

Aku semakin hanyut dalam lautan kisah para Abdullah dalam buku ini. Kisah keteguhan iman Abdullah bin Khuzafah As-Sahmi dan kerelaannya mencium kepala kaisar demi membebaskan tawanan Muslim lainnya, sehingga dia mendapatkan hadiah ciuman di kepalanya oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a yang kemudian diikuti oleh kaum Muslimin lainnya. (Aku tersenyum simpul membaca kisah manis ini).
Semangatku untuk terus membela dan mencintai agamaku ini semakin menggebu ketika membaca kisah  Abdullah bin Abu Aufa yang berperang dalam perang Khaibar, Abdullah bin Salam, pemuka Yahudi yang masuk Islam dan kelak menjadi penghuni surga.

Akhirnya aku kehabisan kata-kata.

Tak elok rupanya jika aku menuturkan semua tentang kisah para Abdullah itu. Jika saudara-saudara muslimku penasaran dengan kisah-kisah yang indah, seru, dan menginspirasi ini, maka segeralah membacanya!
Ukuran bukunya tidak terlalu besar, juga tidak terlalu tebal sehingga sangat enteng dibawa kemana-mana. Namun percayalah, isinya sangat padat!

Selamat untuk penulis Haeriah Syamsuddin, yang telah berhasil menyusun kisah indah ini. Terima kasih atas butiran kata yang telah disebarkan.

Read More

Haru Biru di Tahun 2016

Tuesday, March 7, 2017

Minggu, 01 Januari 2017



Tahun 2016 baru saja berlalu menurut penanggalan Miladiyah.
Begitu banyak peristiwa yang terjadi dari hari ke hari. Tahun 2016 ini adalah hari yang penuh kebahagiaan tahun memetik hikmah atas peristiwa duka diakhir tahun 2015. Karena tahun 2015 bagiku adalah tahun yang penuh sensasi. Tahun dimana saya dianugerahi nikmat yang luar biasa, penuh dengan berkah Allah SWT sekaligus sebagai tahun  yang sarat dengan cobaan dan ujian.
Saya tidak menangis apalagi meraung, saya terdiam. Sepertinya bersabar. Namun saat itulah saya merasakan kekosongan jiwa. Tidak punya impian, Semua rutinitas berjalan biasa, berusaha melakoni aktifitas dengan baik namun hampa.
Maka hari ini, 1 Januari 2017, saya akan menuliskan kenangan-kenangan yang tidak kalah sensasinya di tahun 2016. Perjalanan kehidupan ibarat kaleidoskop atau bisa juga disebut refleksi diri.
Menata Puing-puing.

Januari 2016, saya kembali ke rumah. Rumah yang telah runtuh akibat peristiwa kebakaran. Api yang telah melalap habis rumah dan seluruh isinya. Saya berharap inilah yang pertama dan terakhir.
Memasuki rumah yang penuh kenangan ini terasa ada sedikit luka, luka itu tidak terlalu besar tipis saja sayatannya tetapi perih bagaikan sayatan silet. Hampir setiap hari saya merasakan sayatan-sayatan itu. Perihnya terasa setiap kali berada di tempat tertentu dan terasa setiap melakukan aktivitas-aktivitas  tertentu. Misalnya, sedang memasak maka luka sayatan itu muncul tanpa direncanakan, mendapati ruang dapur yang kosong  tanpa peralatan dapur. Yang tidak kalah perihnya adalah ketika mau membaca, buku-buku yang saya kumpulkan bertahun-tahun silam juga telah musnah.  
Namun, perlahan-lahan saya dan keluarga mulai menata kehidupan, mencoba menerima situasi yang serba kekurangan itu.  Hubungan dan kasih sayang diantara anak-anak saya semakin terjalin indah, terlihat dari keikhlasan mereka untuk saling berbagi pakaian. Jika si sulung akan keluar rumah maka si adik merelakan pakaiannya dipakai oleh si kakak demikian pula si sulung. Satu celana dipakai berarma-ramai, hehehe…yes mereka semakin saling memahami.
Hikmah lain dari musibah itu adalah kedua anakku yang kebetulan telah menyelesaikan pendidikannya menjadi semakin bersemangat mencari pekerjaan. Awalnya mereka berencana melanjutkan pendidikan ke S2 karena melihat kondisi keuangan orang tuanya akhirnya memutuskan untuk menunda cita-cita mereka.
“Saya mau cari pekerjaan dulu ma..untuk membantu keluarga, doakan ya ma..” kata si sulung dengan mantap.
“Saya juga, doakan saya juga ma..” kata si adik.
Subhanallah..alhamdulillah, mereka benar-benar telah dewasa. Niat mereka untuk membantu keluarganya membuatku terharu sekaligus bangga.
Mama pasti mendoakanmu nak!
Tahukah kalian? Di sepertiga malam, setiap selesai bersujud kepada Ilahi, mama mendatangimu, mengusap kepalamu sambil berbisik dalam hati, “mama takut meminta kekayaan kepada Allah atas dirimu, mama hanya meminta, cukuplah kamu menjadi anak yang sholeh, urusan kekayaan dan kesuksesan biarkan Allah yang mengatur hidupmu”.
Allah azza wajallah tidak pernah tidur! Sulungku mendapatkan pekerjaan yang menurutnya itu sangat sesuai passionnya, sesuai pula dengan pendidikannya, Alhamdulillah, saatnya si sulung memasuki dunia baru lagi, dunia pekerjaan yang pasti lebih dinamis. Ketika dia pamit ke Bandung, tempat tugasnya, saya hanya berpesan, “hati-hati, jaga sholatmu, jaga ibadahmu, jaga hatimu!
Beruntun mendapatkan anugrah dari-Nya, si adik juga mendapatkan pekerjaan yang diharapkannya. Masih dengan pesan yang sama sebelum memasuki dunia yang lebih “keras”. Hati-hati, jaga sholatmu, jaga ibadahmu, jaga hatimu!



Februari di Pulau Lakkang

Ada satu kegiatan yang sangat mengasyikkan di bulan Februari 2016. Kegiatan muridku, yaitu kegiatan Hizbulwathan, suatu kegiatan kepanduan Muhammadiyah yang dilaksanakan di suatu pulau di tengah-tengah kota Makassar. Pulau Lakkang. Pulau ini adalah kelurahan dan pulau di kecamatana Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Sekalipun saya asli penduduk Makassar, tetapi baru kali itulah saya menginjakkan kaki di pulau itu. Sangat indah dengan luas  1,65 km2, jumlah penduduk kurang lebih 976 jiwa dengan ramah menyambut kami, menyambut semua peserta kegiatan kepanduan itu. (suatu saat saya akan menulis tentang pulau ini).
Sungguh bahagia rasanya bersama anak-anak yang bersemangat, berlomba, berkreasi, bergembira. Mereka  saling memamerkan ketangkasannya mendirikan kemah, memamerkan kepandaiannya memasak, memamerkan kelincahannya menari, menyanyi. Wow…luar biasa! Maka bahagia itu memang sederhana.













Titik Balik di Bulan September

Di bulan ini, untuk pertama kalinya mengikuti training online, training ini adalah hadiah atas kemenangan saya dalam suatu lomba menulis puisi yang dilaksanakan oleh grup Tips Nulis dan Bisnis. Puisi itu sebenarnya saya adaptasi dari puisi saya sebelumnya, karena harus bertemakan lomba maka berubahlah beberapa kata-katanya.
Dari puisi ini.
Perlahan tapi pasti…
Mentari menukik ke ujung barat
Tersenyum malu melambaikan tangan
Seakan mengisyaratkan seribu tanya
Akankah kita bertemu esok
Karena bisa jadi malampun tak akan bersua

Perlahan tapi pasti..
Ingatan muncul pada senyum manismu
Terasa indah
Menari-nari di pelupuk mata
Melambai-lambai mesrah

Perlahan tapi pasti..
Mata nakal mulai melirik
Pada ajakan manjamu
Bermesraan di taman kasih

Inginnya hati merengkuhmu
Namun jiwa menahan
Pelan-pelan saja…
Wahai diri

Pupuk saja kesabaranmu
Lalu teruslah berjuang tanpa lelah
Karena…
Perlahan tapi pasti….
Maka kepastian cintamu akan berlabuh

Menjadi seperti ini.
Perlahan tapi pasti…
Mentari menukik ke ujung barat
Tersenyum malu melambaikan tangan
Seakan mengisyaratkan seribu tanya
Akankah kita bertemu esok
Karena bisa jadi malampun tak akan bersua
Perlahan tapi pasti..
Ingatan muncul pada Grup tips Nulis dan Bisnis 13
Tulisan indah penuh  inspirasi
Kata-kata manis penyemangat jiwa
Menari-nari di pelupuk mata
Melambai-lambai menarik masuk ke indscrip  Training Center
Perlahan tapi pasti…
Mata tertuju pada TOD: bagaimana membisniskan tulisan
Namun hati menahan karena segumpal benak.
Berbisik lirih mengajak ke Sekolah Perempuan
Perlahan tapi pasti..
Mata nakal mulai melirik
pada ajakan manja dari sang mentor
untuk melabuhkan hati pada Heart Selling

Inginnya menapakkan hati pada semua training itu
Namun jiwa menahan sambil tersenyum simpul
Pelan-pelan saja…
Satu persatu wahai ibu

Pupuk saja semangatmu
Lalu teruslah berjuang tanpa lelah
Karena…
Perlahan tapi pasti…
Asal bersama Indscrip Training Center
Maka kepastian citamu akan tercapai

Inilah titik balik kebangkitan saya dalam kepenulisan.  Mengikuti training online yang dimentoring Indari Mastuti, membuka cakrawala berpikir saya tentang menulis yang baik. Lalu terciptalah tulisan-tulisan inspiratif yang menjadi bahan pelatihan menulis saya. 
Saya semakin “haus” dengan ilmu menulis karenanya saya meminta bergabung ke  berbagai grup menulis. Salah satunya adalah grup  IIDN Makassar yang digawangi seorang ibu muda yang luar biasa. Ibu Mugniar. Melalui beliau saya mengenal berbagai komunitas blogger.
Saya mulai lagi belajar ngeblog. Karena saya memang bukanlah blogger yang handal, saya masih dalam taraf belajar. Tulisan-tulisan hasil training itu saya posting di blog. 
Awal bulan Nopember, saya memenuhi lagi perasaan “haus” saya dengan mengikuti sekolah tentang menulis. Sekolah Perempuan, sekolah yang mengajarkan tentang berbagai ilmu yang berhubungan dengan menulis dan masih berlangsung sampai hari ini. Sangatfeel incredible, (sok-sok bahasa Inggris, hehehe..) semangat belajar saya bangkit bagaikan mendapatkan amunisi baru dalam kehidupan saya.  Dengan percaya diri, saya memutuskan bahwa, menulis telah menguraikan kesedihanku menjadi simpul-simpul kebahagiaan.

Kemenangan di Bulan Nopember

Mengikuti lomba menulis kisah inspiratif adalah kegiatan yang pertama kali saya ikuti di tahun 2016. Ini adalah lomba menulis ke-dua yang saya ikuti. Yah..karena beberapa puluh tahun silam, waktu saya masih SMP pernah juga mengikuti lomba menulis dan berhasil meraih juara tiga. Tetapi lomba yang saya ikuti kali ini, sangat berbeda dengan lomba yang saya ikuti puluhan tahun lalu itu. Jelaslah sangat berbeda, karena waktu itu, tulisan tangan yang baik dan indah menjadi bagian penilaian. (hihihi..lucu juga mengingat masa itu). 
Lomba menulis kisah inspiratif dengan tema “Bangga Jadi Ibu” yang akan diumumkan pada bulan Desember 2016. Awalnya saya ragu mengikuti lomba itu, karena pesertanya adalah ibu-ibu seluruh Indonesia yang beberapa diantaranya adalah ibu-ibu yang sudah berpengalaman dalam dunia menulis.
Bismilllah, saya percaya diri saja mengikutinya. Saya lalu mencoba menuliskan kisah saya sebagai ibu dengan empat orang putra dan seorang putri. Tulisan itu saya beri judul  “Anugerah Terindah”.  Saking bersemangatnya saya menuliskan lagi kisah saya  yang terinspirasi dari album foto yang saya temukan, tulisan itu saya beri   judul “Album Foto Usang”. 
Taraa…”Album Foto Usang” masuk dalam 99 finalis penulis antologi “Bangga Jadi Ibu”. Subhanallah. Alhamdulillah, kabar yang sangat membahagiakan. Walaupun tulisan itu tidak juara tetapi saya merasa sudah menang, mengalahkan ketidak percayaan diriku.

Mengharu biru di bulan Desember.

Aksi damai 212 adalah peristiwa di Indonesia yang mengharu biru perasaan saya. Melihat saudara-saudara muslim saya melakukan aksi super damai walaupun hanya melalui tayangan di televisi, melihat foto-foto postingan di media sosial telah memekarkan lagi perasaan cinta saya terhadap agama saya. Cinta yang selalu saya pelihara di hati dan senantiasa berusaha memupuk, menyemai dan menyiraminya.  Hari itu, tanggal 2 Desember 2016, terasa cintaku berkobar luar biasa. Dua dari lima anakku yang ikut aksi damai 212 itu mengirimkan  foto-fotonya. Alhamdulillah, sekalipun mama tidak bisa ikut tetapi kalian telah mewakili mama. Terima kasih anak-anakku, mari kita menanamkan cinta kepada agama kita dan menyebarkan kedamaian kepada seluruh makhluk di bumi ini.

Selalu, bulan Desember adalah bulan yang istimewa buat saya, karena di bulan inilah saya terlahir 52 tahun silam, tepatnya pada tanggal 11 Desember.  Tanpa direncanakan sebelumnya, saya bersama suami mengunjungi Yogyakarta tepat di hari ulang tahun saya itu. Inilah kali pertama kami berwisata bersama. Seakan-akan kami merayakan ulang tahun saya di Yogyakarta, padahal sesungguhnya hanya kebetulan saja.
Berwisata bersama suami di pegunungan Dieng yang indah, sejuk sesejuk perasaan kami. Lalu mengunjungi Telaga Warna bagaikan memantulkan warna warni kehidupan keluarga kami. Subhanallah. Semoga cinta kami semakin dikuatkan.
Inilah akhir  yang indah di tahun 2016.


Read More

ANAK = INVESTASI

Monday, March 6, 2017


Kegiatan pembelajaran dalam semester genap telah berlangsung selama sebulan lebih, dan hari ini kembali saya menerima tamu istimewa. Ya, bagi saya setiap orang tua siswa yang datang berkunjung dan menemui saya adalah tamu istimewa. Istimewa karena mereka telah meluangkan waktunya untuk datang ke sekolah. Entah itu mereka datang untuk memenuhi panggilan guru karena perbuatan anaknya yang super kreatif atau hanya sekedar datang bersilaturahim.

Tamu-tamu saya itu datang untuk memenuhi undangan sekolah dan terkhusus undangan dari saya karena sehari sebelumnya anak-anak mereka terlibat perkelahian.

Teringat lagi  peristiwa kemarin, di saat saya sedang sibuk mengatur kelompok-kelompok belajar siswa tiba-tiba terdengar jeritan dari sudut kelas
“Bu, si Fulan dan si Fulis berkelahi”. Teriak beberapa suara siswa serempak.
Saya lalu bergegeas ke sudut kelas, rasanya gemas. Beberapa anak laki-laki turut membantu saya melerai kedua siswa yang sedang bergumul.
“Kenapa nak berkelahi?  Sambil menarik salah satu tangan mereka.
“ Dia salah Bu” Teriak si Fulan.
“Dia yang salah Bu, patoa-toai “ Balas si Fulis dengan muka merah.
Mereka saling bertatapan dengan mata melotot. Rasanya mata saya juga ikut melotot, segenap jiwa  menahan amarah. Duh, anak-anak ini,  mereka berkelahi di depan mata.
Setelah melewati tanya jawab diselingi ceramah dan sedikit suara tinggi sebagai penekanan kekesalan atas kelakuan mereka, maka akhirnya saya berhasil mendamaikan si Fulan dan si Fulis.

Maka inilah kelanjutan dari kejadian kemarin. Tamu pertama saya adalah seorang perempuan yang usianya tidak jauh berbeda dengan usia ibu saya lalu disusul oleh tamu ke-dua, yaitu seorang laki-laki yang kelihatannya hampir seumur dengan tamu pertama.

“Saya neneknya si Fulan, kata cucu saya, Ibu guru memanggil orang tuanya tetapi berhubung kedua orang tua si Fulan tidak tinggal besama kami maka sayalah yang mewakili orang tuanya”. Si Ibu memperkenalkan dirinya setelah saya persilahkan duduk.
“Saya kakeknya si Fulis, cucu saya ini sudah tidak memiliki orang tua”. Si Bapak juga memperkenalkan diri sebelum saya persilahkan duduk.
“Terima kasih atas kesediaan bapak dan ibu menghadiri undangan dari sekolah”.
“Apakah bapak dan ibu tahu tentang kejadian kemarin?” Tanya saya sembari menatap mata mereka, kelihatannya mereka belum mengetahuinya.
“Tidak, Bu”. Mereka kompak menjawab.
“Sebenarnya masalah anak-anak kita kemarin sudah ditangani dan mereka sudah saling memaafkan, tetapi sangat penting Bapak dan Ibu ketahui, bahwa kemarin mereka berseteru, lebih tepatnya berkelahi”.
“Terima kasih, Bu. Nanti pi di rumah baru kuhukum ki”. Jawab kakeknya Fulis. Kedengarannya sedikit kesal.
“Edede..anak-anaka assibajjimi sede.., disuruh pigi sekolah untuk belajar tetapipigiji sibajji, persoalan apakah Bu Guru, tidak adakah gurunya yang jagaiki?”. Neneknya Fulan bicara sambil menggerutu. 

Oh baru sadar, ternyata guru juga berfungsi sebagai satpam, paling tidak ini anggapan si Nenek dan bisa jadi juga anggapan sebahagian orang tua siswa. 
Pegang jidat, puyeng.

“Begini.. saya mengundang Bapak dan Ibu ke sekolah untuk bersilaturahim sekaligus mau mengajak kerjasama, siapa tahu berminat” Kata-kata ini keluar setelah saya berpikir cukup keras.
“Wee…bagusnya itu Bu Guru, bisnis apami itu”. 
Cling! Mata Kakek bersinar ceriah.
Itumi kusuka, lumayan toh untuk tambah-tambah uang belanjanya Fulan”. 
Hi..hi..dasar ibu-ibu.
“Ini keuntungannya lebih besar dari uang yang berjuta-juta tetapi harus berinvestasi dahulu”. Bismillah, semoga saya diberi petunjuk.

“Bermodal ki dulu ya, Bu Guru?” Tanya mereka hampir serempak.
“Iya, investasi ini untuk anak-anak kita dan nanti hasilnya akan didapatkan setelah mereka dewasa”.
“Ii..lamanya itu Bu ditabung?” Terdengar nada kurang setuju.
“Memang lama tetapi hasilnya sangat memuaskan dan sekedar informasi yah Bu, Pak, hasil dari investasi ini nantinya  akan tetap didapat  sampai anak-anak kita meninggal dunia”. Sedikit kesulitan juga merangkai kata-kata.
“Investasi apami itu na sanggena mate niya inji wassele’na”. Geli dengar kata si Nenek.

Saya menggunakan kata investasi bagi anak-anak kita, sekalipun dalam pengertian yang sebenarnya, investasi berhubungan dengan keuangan namun keterkaitannya dengan mendapatkan keuntungan pada masa depan, penanaman modal membuat saya menggunakan kata itu. Karena seyogyanya, anak adalah modal utama suatu keluarga dan  bangsa.
Jika anak-anak kita dibekali modal pengetahuan tentang akhlak yang baik, ilmu yang bermanfaat serta melatihnya dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik maka kelak kita akan menuai hasil investasi itu, tentu saja hasil yang diharapkan adalah generasi yang lebih baik dari generasi kita saat ini.

Setelah menjelaskan panjang lebar diselingi dengan minum-minum teh yang disuguhkan oleh siswa yang bertugas piket, akhirnya mereka manggut-manggut tanda mulai mengerti.
Maka sepakatlah kami, di sekolah, guru mendidik dan mengajarkan nilai-nilai dan ilmu, di rumah orang tua mendidik dan melatih hasil pengajaran guru-gurunya. 
Deal!


Demikianlah, maka tamu istimewa saya pulang dengan senyum mengembang, kelihatannya bersemangat. Semoga.
Read More

Bukan Valentine


Tanggal 14 Februari.
Ada apa dengan tanggal ini?

Bukan tanpa sebab, tanggal 14 Februari 1990 menjadi hari pernikahanku. Pasti semuanya karena pengaturan Allah Subhanahu Wataala semata. Jangankan mengatur tanggal pernikahanku, daun jatuh saja diatur oleh-Nya. Subhanallah

Tanggal 14 Februari, 27 tahun yang lalu adalah peristiwa yang sangat istimewa.
Tetapi aneh, ingatan tentang tanggal itu hanya bertahan selama kurang lebih setahun. Selanjutnya aku dan suamiku lupa. Sungguh! Betul-betul lupa.
Bahkan saat kami akan mengisi data yang meminta tanggal ini dicantumkan, kami selalu mencari dahulu dokumennya,  buku nikah!


Yang selalu diingat dan dibicarakan hanyalah peristiwa-peristiwa yang menyertai tanggal itu, tentang undangan yang di tempelin kertas di atas tanggal acara pestanya karena salah tanggal pada saat undangan dicetak. Tentang hujan deras pada malam resepsinya yang sederhana di gedung sederhana, dan sebagainya.

Kami lupa tanggal itu, mungkin karena sesudah tanggal itu, kami telah sibuk.
Sibuk mengatur rumah tangga, sibuk menghadapi kehamilan pertama, kedua, ketiga, keempat hingga kelima. Sibuk menyesuaikan waktu antara bekerja di rumah dengan bekerja di luar rumah, sibuk mengasuh anak, sibuk mengurus segala keperluan keluarga dan terutama keperluan anak-anak, dan kesibukan-kesibukan lainnya.
Dan yang paling utama dari kesibukan kami adalah selalu dan selalu menjaga cawan retak kami.
Entah darimana sumbernya, aku selalu teringat kalimat ini, “perkawinan itu ibarat cawan retak, maka kewajiban suami isteri adalah menjaganya agar tidak pecah”.
Tanpa komitmen awal tentang cawan retak ini, kami saling membantu menjaganya, kadang dia yang menggunakan segala daya dan upayanya agar cawan tidak terjatuh terkadang pula aku yang tampil dengan mengerahkan segala kekuatanku menadah cawan itu saat akan terjatuh.
Hingga hari ini cawan  retak kami masih terjaga dengan baik. 
Dua puluh tujuh tahun sudah kami berjibaku dengan segala urusan rumah tangga. Sejak si-Sulung hadir kemudian disusul dengan adik-adiknya selalu saja ada air mata di sana. Kadang air mata kesedihan, air mata haru juga air mata kebahagiaan.
Ketika salah seorang anak sakit, kami bergantian merawatnya walau lebih sering dia yang begadang karena sudah menjadi takdirnya, dia tak dapat memejamkan mata jika salah seorang anggota keluarganya yang sakit. Juga sudah menjadi takdirku, gampang tertidur walau apapun yang terjadi. Disitulah terkadang aku heran

14 Februari 1990 sudah lama kami lewati dan tanggal itu baru benar-benar melekat dalam memoriku setelah 25 tahun berlalu. Yah, tepatnya dua tahun lalu.
Saat itu berita tentang hari valentine sangat gencar diberitakan baik lewat televisi apalagi lewat media sosial. Bungsuku, Nabila Putri Salsabila baru berusia 11 tahun dan dia telah mendengar istilah hari valentine sebagai hari kasih sayang. Aku lupa bagaimana dia mengetahui tentang  tanggal pernikahan kami yang kuingat adalah perkataannya.
“Ternyata hari kasih sayang itu tanggal 14 Februari, ma..”. Lalu disusul dengan kata-kata ini.
“Ih..mama sama bapak sengaja menikah di hari valentine, hari kasih sayaaang tawwa”. Dia melirikku, meledekku.
“Betulkah, kita menikah pada tanggal itu Pak?” Tanyaku serius sama suami.
“Entahlah, lupa” Jawabnya lugu.
Lalu bergegas aku mencari buku nikah kami. Dan taraaaa… di buku itu terpampang nyata:

Pada hari  RABU tanggal 19 RAJAB 1410 H atau tanggal 14 – 2 – 1990 M,
jam 10.00 telah berlangsung akad nikah antara:
Seorang laki-laki dst….
dengan 
Seorang perempuan dst…

Aku tersenyum geli menatap ke suami sambil bertanya, “kenapa yah waktu itu kita pilih tanggal itu?”
“Karena waktu itu tidak ada gedung kosong, kosongnya pas tanggal itu” Jawab suami lugas.
“Nah..ketemu de jawabannya, jadiii bukan karena hari valentine sayang”. Kukatakan itu kepada bungsuku.
“Tanggal pernikahan mama ditentukan oleh kosongnya gedung yah, hiii lucunya?” Nabila tertawa geli.
“Yah begitula adanya, waktu itu bapak sama mama tidak tahu itu hari valentine, dan Nabila harus tahu kalau berkasih sayang itu tidak perlu menunggu waktunya, kita berkasi sayang setiap saat kok”. Jawabku
“Valentine itu bukan budaya agama dan bangsa kita  nak, itu harinya ummat lain”. Sambungku.
Sejak saat itulah, aku betul-betul ingat tanggal pernikahanku. Bukan karena kebetulan bersamaan dengan hari valentine saja tetapi karena kusadari bungsuku sudah mulai beranjak remaja, maka amunisi baru harus dipersiapkan lebih banyak dalam rangka menyongsong datangnya masa yang penuh sensasi, dinamis dan amat mendebarkan bagi putriku satu-satunya. 
Dua puluh tujuh tahun sudah kami menjaga cawan retak kami agar tidak pecah berantakan.
Diibaratkan cawan retak, karena menyatukan dua pribadi yang berbeda latar belakangnya, berbeda sifatnya, berbeda hobbinya, bahkan berbeda segala-galanya maka tidaklah mengherankan jika selalu timbul gesekan-gesekan, pertentangan-pertentangan dan sedikit pertengkaran-pertengkaran bahkan mungkin sedikit keretakan-keretakan namun dengan segala daya dan upaya serta doa yang tiada henti kami menjaganya agar tidak timbul perpecahan lalu keretakan-keretakan itu kami satukan  lagi agar tetap utuh.
Tentu saja untuk menjaga cawan retak itu, kami bergantian menadahnya. Saat aku lelah, dia datang merangkul bahuku, meraihku dalam dekapannya. Saat dia lesu, aku datang mendampinginya, menghiburnya.
Semoga kami diberi kekuatan untuk terus bersama hingga waktu memisahkan.
Semoga keluarga kami selalu diridhoi oleh Allah Rabbul Alamin.

Read More