Bukan Valentine

Monday, March 6, 2017


Tanggal 14 Februari.
Ada apa dengan tanggal ini?

Bukan tanpa sebab, tanggal 14 Februari 1990 menjadi hari pernikahanku. Pasti semuanya karena pengaturan Allah Subhanahu Wataala semata. Jangankan mengatur tanggal pernikahanku, daun jatuh saja diatur oleh-Nya. Subhanallah

Tanggal 14 Februari, 27 tahun yang lalu adalah peristiwa yang sangat istimewa.
Tetapi aneh, ingatan tentang tanggal itu hanya bertahan selama kurang lebih setahun. Selanjutnya aku dan suamiku lupa. Sungguh! Betul-betul lupa.
Bahkan saat kami akan mengisi data yang meminta tanggal ini dicantumkan, kami selalu mencari dahulu dokumennya,  buku nikah!


Yang selalu diingat dan dibicarakan hanyalah peristiwa-peristiwa yang menyertai tanggal itu, tentang undangan yang di tempelin kertas di atas tanggal acara pestanya karena salah tanggal pada saat undangan dicetak. Tentang hujan deras pada malam resepsinya yang sederhana di gedung sederhana, dan sebagainya.

Kami lupa tanggal itu, mungkin karena sesudah tanggal itu, kami telah sibuk.
Sibuk mengatur rumah tangga, sibuk menghadapi kehamilan pertama, kedua, ketiga, keempat hingga kelima. Sibuk menyesuaikan waktu antara bekerja di rumah dengan bekerja di luar rumah, sibuk mengasuh anak, sibuk mengurus segala keperluan keluarga dan terutama keperluan anak-anak, dan kesibukan-kesibukan lainnya.
Dan yang paling utama dari kesibukan kami adalah selalu dan selalu menjaga cawan retak kami.
Entah darimana sumbernya, aku selalu teringat kalimat ini, “perkawinan itu ibarat cawan retak, maka kewajiban suami isteri adalah menjaganya agar tidak pecah”.
Tanpa komitmen awal tentang cawan retak ini, kami saling membantu menjaganya, kadang dia yang menggunakan segala daya dan upayanya agar cawan tidak terjatuh terkadang pula aku yang tampil dengan mengerahkan segala kekuatanku menadah cawan itu saat akan terjatuh.
Hingga hari ini cawan  retak kami masih terjaga dengan baik. 
Dua puluh tujuh tahun sudah kami berjibaku dengan segala urusan rumah tangga. Sejak si-Sulung hadir kemudian disusul dengan adik-adiknya selalu saja ada air mata di sana. Kadang air mata kesedihan, air mata haru juga air mata kebahagiaan.
Ketika salah seorang anak sakit, kami bergantian merawatnya walau lebih sering dia yang begadang karena sudah menjadi takdirnya, dia tak dapat memejamkan mata jika salah seorang anggota keluarganya yang sakit. Juga sudah menjadi takdirku, gampang tertidur walau apapun yang terjadi. Disitulah terkadang aku heran

14 Februari 1990 sudah lama kami lewati dan tanggal itu baru benar-benar melekat dalam memoriku setelah 25 tahun berlalu. Yah, tepatnya dua tahun lalu.
Saat itu berita tentang hari valentine sangat gencar diberitakan baik lewat televisi apalagi lewat media sosial. Bungsuku, Nabila Putri Salsabila baru berusia 11 tahun dan dia telah mendengar istilah hari valentine sebagai hari kasih sayang. Aku lupa bagaimana dia mengetahui tentang  tanggal pernikahan kami yang kuingat adalah perkataannya.
“Ternyata hari kasih sayang itu tanggal 14 Februari, ma..”. Lalu disusul dengan kata-kata ini.
“Ih..mama sama bapak sengaja menikah di hari valentine, hari kasih sayaaang tawwa”. Dia melirikku, meledekku.
“Betulkah, kita menikah pada tanggal itu Pak?” Tanyaku serius sama suami.
“Entahlah, lupa” Jawabnya lugu.
Lalu bergegas aku mencari buku nikah kami. Dan taraaaa… di buku itu terpampang nyata:

Pada hari  RABU tanggal 19 RAJAB 1410 H atau tanggal 14 – 2 – 1990 M,
jam 10.00 telah berlangsung akad nikah antara:
Seorang laki-laki dst….
dengan 
Seorang perempuan dst…

Aku tersenyum geli menatap ke suami sambil bertanya, “kenapa yah waktu itu kita pilih tanggal itu?”
“Karena waktu itu tidak ada gedung kosong, kosongnya pas tanggal itu” Jawab suami lugas.
“Nah..ketemu de jawabannya, jadiii bukan karena hari valentine sayang”. Kukatakan itu kepada bungsuku.
“Tanggal pernikahan mama ditentukan oleh kosongnya gedung yah, hiii lucunya?” Nabila tertawa geli.
“Yah begitula adanya, waktu itu bapak sama mama tidak tahu itu hari valentine, dan Nabila harus tahu kalau berkasih sayang itu tidak perlu menunggu waktunya, kita berkasi sayang setiap saat kok”. Jawabku
“Valentine itu bukan budaya agama dan bangsa kita  nak, itu harinya ummat lain”. Sambungku.
Sejak saat itulah, aku betul-betul ingat tanggal pernikahanku. Bukan karena kebetulan bersamaan dengan hari valentine saja tetapi karena kusadari bungsuku sudah mulai beranjak remaja, maka amunisi baru harus dipersiapkan lebih banyak dalam rangka menyongsong datangnya masa yang penuh sensasi, dinamis dan amat mendebarkan bagi putriku satu-satunya. 
Dua puluh tujuh tahun sudah kami menjaga cawan retak kami agar tidak pecah berantakan.
Diibaratkan cawan retak, karena menyatukan dua pribadi yang berbeda latar belakangnya, berbeda sifatnya, berbeda hobbinya, bahkan berbeda segala-galanya maka tidaklah mengherankan jika selalu timbul gesekan-gesekan, pertentangan-pertentangan dan sedikit pertengkaran-pertengkaran bahkan mungkin sedikit keretakan-keretakan namun dengan segala daya dan upaya serta doa yang tiada henti kami menjaganya agar tidak timbul perpecahan lalu keretakan-keretakan itu kami satukan  lagi agar tetap utuh.
Tentu saja untuk menjaga cawan retak itu, kami bergantian menadahnya. Saat aku lelah, dia datang merangkul bahuku, meraihku dalam dekapannya. Saat dia lesu, aku datang mendampinginya, menghiburnya.
Semoga kami diberi kekuatan untuk terus bersama hingga waktu memisahkan.
Semoga keluarga kami selalu diridhoi oleh Allah Rabbul Alamin.

Post a Comment