Haji adalah Arafah
Hari ini, Selasa tanggal 27 Juni tahun 2023 jutaan umat muslim bergerak menuju ke Arafah, mungkin saat saya menulis ini jutaaan umat muslim itu telah tiba di Arafah.
Sementara saya terbangun untuk melaksanakan sahur dalam rangka puasa sunah Arafah.
Dua hari ini saya menulis tentang perjuangan saya dan mama serta suami menuju Tanah Suci hingga di Madina, tetapi tiba-tiba teringat perjuangan panjang jutaan umat muslim di sana pada hari ini menuju puncak haji.
Saya meninggalkan sejenak tulisan itu lalu beralih ke tulisan ini.
Rasanya moment saat kami naik bus menuju Arafah empat tahun lalu kembali mengemuka, bagaikan saya merasakan lagi satu peristiwa yang menguji kesabaran saya ketika saya mengangkat kursi roda mama ke atas bus dan dua tas jinjingan di bus lain.
Perjuangan Menuju Arafah
Saat itu, kesabaran jamaah haji semakin teruji, mulai menuju bus hingga perjalanan dan turun dari bus. Ternyata kesabaran sebagian jamaah haji, teman perjalanan saya masih banyak setipis tisu dibelah sepuluh.
Mereka berebut tempat duduk dan sialnya saya ikut terpancing karena memikirkan tempat duduk untuk mama.
Bagaimana kalau beliau tidak kebagian kursi dan terpaksa berdiri, bagaimana kalau kursi rodanya tidak dapat tempat, bagaimana kalau saya dan mama terpisah.
Berbagai kecemasan pun muncul dan teraplikasi ke gerakan saya yang sigap menaikkan tas jinjingan ke sebuah bus.
Setelah itu saya dan suami ikut antri berniat menaikkan terlebih dahulu kursi roda mama dan ternyata bus itu sudah penuh sebelum antrian kami lalu kami diarahkan ke bus berikutnya.
Kata mama, “tidak apa-apa, kita pindah ke bus itu saja.”
Beliau tersenyum sabar dan menyabarkan kami terutama saya yang gusar karena kami terpisah dengan tas jinjingan.
Kembali setan datang membisikkan berbagai ketakutan-ketakutan yang tidak penting.
Bagaimana kalau kita tidak ketemu tas jinjingan itu sedangkan semua pakaian ada di sana berarti kita tidak bisa bersalin pakaian. Bayangkan kurang lebih lima hari dari menginap semalam di Arafah, Mabit di Muzdalifa lalu tiga hari di Mina dengan pakaian satu-satunya yang melekat di badan kami saat itu.
Ah, lupakan sejenak tas jinjingan itu, nanti juga ketemu. Saya menepis kegalauan lalu mengangkat kursi roda mama ke atas bus diikuti suami yang memapah mama.
Mama duduk di depan di dekat sopir, tempat yang sengaja saya pilih agar memudahkan nanti saat turun dari bus.
Sumber dokumen pribadi |
Perjalanan menuju Arafah adalah perjalanan penuh haru bahkan tangis dari hati saya. Mama tidak henti-hentinya mengucapkan syukur dan bertalbiah dengan suara lirih.
Labbaika lahumma labbaik.
Labbaika laaa syarikaa laka labbaik.
Innalhamda wanikmata laka wal mulk
Laa syarikala…
Beberapa jam kemudian, bus tiba di Arafah. Saya menuntun mama turun dari bis dan suami mengangkat kuris roda beliau.
Setelah mama duduk di atas kursi rodanya, kursi roda itu saya dorong ke pinggir dan berteduh di bawah sebuah pohon yang cukup rindang.
“Ma, di sini maki dulu …. Saya mau mencari tas jinjingan di bus lain.”
Saat saya berbicara dengan mama, saya pikir suami ada di belakang saya, ternyata beliau lebih dahulu pergi mencari tas kami.
Tidak sampai 10 menit, beliau datang sambil menjinjing satu tas.
“Saya hanya menemukan tas ini saja.” Katanya dengan muka muram.
“Tas satunya mana Pak? Tadi itu kan kita masukkan dua tas berdampingan.”
“Tidak ada, hanya ini saja yang tersisa di bagasi bus, semua jamaah sudah pergi membawa tas nya masing-masing.”
“Kalau begitu kita cari sama-sama, tas ini simpan di dekat kursi mama.”
Kami bersepakat untuk menyebar, saya ke arah belakang bus yang kami tumpangi dan suami ke arah sebaliknya, dan mama kami biarkan menunggu di bawah pohon sendirian.
Tidak sendirian juga sebenarnya karena masih banyak jamaah dari maktab lain yang lalu lalang.
Akhirnya tas jinjingan itu saya temukan di pinggir jalan. Alhamdulillah, saya kembali ke bawah pohon untuk menjemput mama.
Astagfirullah!
Dada saya rasanya mau pecah melihat pemandangan di depan mata. Tidak ada siapa-siapa di bawah pohon itu. Saya bolak balik dari bus ke pohon-pohon lain mencari mama. Pikiran saya kalut, mungkin saya tersesat.
Bagaimana bisa tersesat, sedangkan arah dari pohon tempat mama berteduh searah dengan jalanan menuju bus-bus yang masih terparkir. Jalan lurus saja tidak berkelok-kelok.
Tangis saya hampir pecah ketika salah seorang jamaah bertanya.
“Siapa yang ibu cari?”
“Mama saya Pak, tadi beliau berteduh di bawah pohon itu.” Jawabku lesu.
“Oh, yang pakai kursi roda itu yah?”
“Betul Pak, apakah bapak melihatnya?”
“Iya Bu, tadi ada teman ibu yang bantu mendorong kursinya, katanya, mereka satu maktab.”
Saya mengangguk takzim seraya mengucapkan terima kasih.
Hati saya lega sekaligus gusar. Harusnya jangan seenak itu membawa mama tanpa ada saya atau suami yang mendampingi.
Akhirnya saya memutuskan berdiri di bawah pohon menanti suami yang belum kembali dari mencari tas. Cukuplah saya terpisah dengan mama, saya tidak mau terpisah dengan suami.
Tak lama suami saya datang, baju ihramnya basah dengan keringat.
“Alhamdulillah, ternyata kamu yang menemukan tas itu.” Katanya demi melihat tas jinjingan yang kami cari sudah ada di dekat kaki saya.
“Lah, mama mana?” Suami saya heran melihat saya sendirian menunggu dia.
“Mama sudah masuk, ikut sama teman yang setenda dengan kita.”
Saya belum yakin dengan ucapan saya itu, tetapi saya mencoba berpikir positif bahwa yang mendorong kursi roda mama adalah orang baik yang cukup kenal dengan kami.
Tidak henti-hentinya saya beristigfar sambil menahan air mata. Di ujung keputus asaan, tiba-tiba kami ditegur oleh seseorang yang ternyata beliau itu adalah ketua rombongan kami.
“Ibu dan bapak mau kemana? Itu mama ta sudah di dalam tenda, tadi kursi rodanya didorong sama Pak Akib.”
“Oh alhamdulillah Pak, terima kasih.” Saya melongo sekian detik.
“Lewat sini ki, Pak, Bu.” Katanya lagi sambil menunjuk pintu tenda yang persis di belakang kami.
Subhanallah, jadi dari tadi kami berputar-putar sampai tiga kali hanya mengelilingi tenda ini?
Astagfirullah, dosa dan kesalahan apa yang kami perbuat sehingga membuat kami sedikit bingung. Kehilangan mama, ketinggalan rombongan yang disebabkan kelamaan mencari tas yang berada di bus lain, sedangkan saya tidak bisa menghubungi teman sekamar maupun ketua regu karena handpone saya mati total demikian pula handpone suami.
Namun, semua kelelahan dan kegalauan hati saya terobati tatkala melihat mama sudah berbaring di dalam tenda.
Mama menatap saya dan tersenyum,
“Tadi ada seorang bapak yang membantu mendorong kursi roda mama, katanya, dia temannya suamimu.”
“Iya Ma, alhamdulillah.”
Saya tidak menceritakan kalau tadi kami pusing mencari beliau sesuai pesan suami,
“jangan sampai mama merasa bersalah karena meninggalkan kita.” \
Saya terpaksa menceritakan kepada suami kalau mama ikut sama orang lain.
Wukuf di Arafah
9 Zulhijjah 1440 bertepatan tanggal 10 Agustus 2019 merupakan waktu wukuf di Arafah sesuai sidang isbat yang dilaksanakan oleh pemerintah Arab Saudi, yang menghasilkan keputusan bahwa tanggal 1 Zulhijjah jatuh pada Jumat, 2 Agustus 2019.
Di sinilah kami sekarang, di Padang Arafah bagai kota yang dipenuhi tenda maka pantas saja disebut kota sejuta tenda. Gunung yang disulap menjadi lautan manusia dari berbagai penjuru dunia.
Di sinilah kami berdiam diri, di dalam tenda, “wukuf” merenungi kesalahan dan dosa-dosa diri. Kejadian ketika mau berangkat hingga tiba di Arafah adalah sebagai tanda-tanda bahwa saya adalah makhluk penuh dosa.
Saya duduk di dekat kursi roda mama dan menafakuri semua hal dalam diri ini.
Bahwa hari Arafah adalah hari yang paling istimewa bagi umat Islam terutama yang sedang menunaikan ibadah haji, dan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah Subhanahu wataala agar memenuhi janji-Nya sebagaimana yang diriwayatkan dalam Hadis Riwayat Muslim.
Nabi sallalahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidak ada hari yang paling banyak Allah membebaskan hambaNya dari neraka dari hari Arafah. Dan, sesungguhnya Allah mendekat, lalu Allah membanggakan para jamaah haji kepada para malaikat. Maka Allah berkata kepada para malaikat, “Apa yang diinginkan oleh mereka (jamaah haji yang sedang wuquf)” (HR Muslim no 1348).
Allah membanggakan hambaNya yang wuquf di Arafah kepada malaikat, “Lihatlah hamba-hambaKu datang memenuhi panggilanku dalam kondisi rambut semerawut dan penuh dengan debu, maka saksikanlah (wahai para malaikat) sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka meskipun sebanyak butiran-butiran air hujan, meskipun sebanyak butiran-butiran pasir yang menjulang.” (Shahih Ibni Khuzaimah no 1984, dinyatakan oleh Dyaikh Al-Albani: Hasan Ligoirihi).
Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kami ingkari, dipanggil menjadi tamu Allah dengan janji yang pasti Dia akan penuhi, bahwa hari Arafah, yaitu tanggal 9 Zulhijjah memiliki banyak keistimewaan, yaitu:
- Hari di mana Allah mencatat hambaNya terbebaskan dari neraka yang paling banyak pula.
- Hari di mana Allah membanggakan hambaNya, jamaah haji yang sedang wuquf di hadapan malaikat-malaikatNya.
- Hari di mana Allah mendekat kepada jamaah haji yang sedang wuquf dengan turun ke langit dunia.
- Hari di mana turun ayat tentang kesempurnaan Islam. “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, serta telah Ku-ridoi islam itu menjadi agama kalian.” (QS. Al Maidah: 3).
Pada Penghujung Hari Arafah
Menjelang magrib, saya dan suami pindah ke luar tenda. Duduk berdampingan dengan pikiran masing-masing. Tak henti-hentinya air mata ini menggenangi pelupuk mata.
dokumen pribadi |
Masih tidak percaya saya ada di Padang Arafah, membawa sejumlah titipan doa dari kerabat dan keluarga, dan di sinilah saya hari ini.
Saya tidak bisa mengingat titipan doa-doa mereka satu persatu sebab doa saya sendiri sangat banyak. Namun, saya tetap mendoakan mereka dengan doa yang sama.
“Ya Rabb, panggillah saudara-saudaraku, kerabat dan keluargaku dan semua yang menitip doa kepadaku. Undanglah mereka agar mereka bisa merasakan kedekatan yang sangat intim denganMu.”
Terlalu banyak yang kupinta dalam bisikan rahasia kepadaNya, tetapi doa yang tidak henti-hentinya saya teriakkan dalam hati adalah,
“Ya Gafur, ampunilah dosa-dosa hambaMu ini!”
Jika Engkau mengampuni dosa-dosa hambaMu ini, maka cukuplah itu sebagai jaminan kalau saya akan baik-baik saja di dunia dan di akhirat.
Saya sangat yakin, semua doa saya akan dikabulkan. Mungkin bentuknya tidak sama atau tidak persis yang saya pinta, tetapi Allah tahu apa yang saya butuhkan.
Bukankah Allah akan memenuhi semua permohonan hambaNya?
“Tidak ada hari yang paling banyak Allah membebaskan hambaNya dari neraka dari hari Arafah. Dan, sesungguhnya Allah mendekat, lalu Allah membanggakan para jamaah haji kepada para malaikat. Maka Allah berkata kepada para malaikat, “Apa yang diinginkan oleh mereka?”(HR Muslim no 1348).
Dan apabila malaikat bertanya tentang doa-doa itu, yang mana yang mesti dikabulkan, seolah-olah Allah menjawab, “Apa yang mereka inginkan!”
Demikian kisah kami, semoga menginspirasi dan menjadikannya sebagai pembelajaran.