Dari dulu, sejak saya mulai pandai membaca maka
menulis adalah kegiatan yang paling saya sukai. Menulis di atas kertas buram,
menulis di atas lembar-lembar buku tulis yang bercampur dengan catatan
pelajaran. Karena dahulu pada tahun 70-an saat saya masih SD (hem.. pasti
teman-teman sudah bisa menebak usia saya), belajar itu sama dengan
mencatat materi pelajaran sepenuh papan tulis, kemudian dihapus lalu disambung
lagi hingga bel istirahat berbunyi.
Saya menulis perasaan saya pada halaman belakang
di buku pelajaran, tulisan yang tidak teratur bentuk dan paragrafnya, tetapi saya menemukan keasyikan tersendiri setelah menuliskan sesuatu yang menggambarkan keadaan sekitar dan
perasaan saya waktu itu.
Samar dalam ingatan, waktu itu saya menulis
tentang sifat dan sikap guru kelas lima saya, namanya Pak Tua (bukan nama
sebenarnya) dan semoga beliau
mendapatkan kelapangan di alam kuburnya. Beliau seorang guru yang berwibawa
tetapi tunduk dan menjadi lemah kalau ada murid yang memberinya bingkisan, yang
berisi kue, minuman atau pakaian. Dia menjadi sangat tidak berwibawa di mata
saya dan beberapa murid lainnya yang tidak mampu memberinya sesuatu.
Saya menjadi sedikit membencinya, karena saya dan
beberapa teman lainnya tidak pernah dipuji, tidak pernah disebut-sebut sebagai
murid yang baik, apalagi dibelai-belai. Hobbi guru saya itu adalah membelai
rambut muridnya, tetapi hanya untuk murid yang telah memberinya bingkisan.
Saya juga sangat kesal kepadanya, ketika beliau
menerangkan pelajaran matematika dengan suaranya yang khas, tetapi matanya hanya
tertuju kepada deretan bangku terdepan, di mana di sana duduk murid-murid yang
rajin memberinya bingkisan, dan saya beserta murid lainnya cukuplah hanya mendengarkan
suaranya saja, tanpa menikmati tatapannya. Sekali lagi, semoga beliau
mendapatkan ampunan-Nya.
Saya menuliskan perasaan tidak suka terhadapnya dengan
bahasa anak usia 11 tahun, saya mengumpatnya dengan kata-kata yang tidak ingin
saya ingat lagi, tetapi itulah tulisan pertama dan terakhir bernada
kebencian yang tidak ingin saya ulangi.
Karena sebelumnya saya selalu menulis yang
baik-baik dan indah-indah tentang teman-teman saya yang baik juga. Pernah
menulis tentang teman perempuan saya yang cantik dengan hidungnya yang mancung,
mungkin tulisan saya waktu itu kurang lebihnya seperti ini:
“Engkau
Bulqis, temanku yang cantik, hidungmu seperti Tanti Yosepha, pipimu padat
seperti Lenni Marlina, saya suka kamu karena kamu baik. Kalau kita pulang
sekolah saya selalu singgah di rumahmu, karena mamamu selalu baik kepada,,
memberi saya makanan, sepiring nasi
beserta gorengan tempe yang lezat. Mamamu pandai masak karena dia penjual nasi
kuning di ujung lorong.”
Kemudian kertas yang ada tulisan itu dirobek oleh
Bulqis, lebih tepatnya dilepaskan dari buku tulis saya, dia melipat secarik
kertas itu kemudian dia simpan di balik pembungkus bukunya, katanya: “Saya mau
kasi lihat ini sama mamaku.” Sambil tersenyum manis.
Oh iya, kita kembali kepada tulisan buruk tentang guru saya. Setelah menumpahkan semua
kekesalan saya dalam buku tulis itu hingga hampir dua halaman. Rasanya ada kepuasan tersendiri.
Anehnya, setelah menuliskan perasaan itu,
saya memandang wajahnya, tiba-tiba ada rasa sedih, penyesalan karena
sudah mengumpat dan mencaci maki beliau, walau tidak ada seorangpun yang
mengetahuinya.
Diam-diam saya membaca tulisan itu tanpa
memperhatikan kalau ada yang ikut membacanya, yaitu teman saya yang menjadi
murid kesayangan beliau. Maka bencana itu datang. Teman saya berseru.
“Pak Guru, Dawi mengatai-ngatai Bapak di
bukunya!” Sontak kelas menjadi riuh. Bapak guru mendatangi saya dan meraih buku
itu. Beliau membaca tulisan saya dengan muka merah, sementara saya hampir
kencing di celana karena ketakutan. Saya meringkuk di bawah meja, menutup mata
dengan tangis yang tertahan.
Tiba-tiba saya merasa diangkat, bahu saya diraih
dan ditarik keluar dari bawah meja. Dengan kaki gemetar berdiri di depan kelas dan membacakan tulisan tersebut atas perintah bapak guru.
Saya membaca sambil diiringi tangis yang tertahan.
Menyesal disertai rasa takut. Saya disuruh mengulang membaca satu
kalimat sampai tiga kali, yaitu kata-kata: “Saya
sangat membenci Pak Guru Tua itu, mukanya bagaikan serigala yang selalu siap
menerkam makanan di atas meja.”
Kelas menjadi hening, teman-teman yang senasib yang saya sebutkan dalam tulisan itu sebagai “kumpulan orang-orang terbuang” (mungkin waktu itu saya terinspirasi
dari puisi seorang penyair yang saya lupa namanya), hanya memandang saya dengan
muka prihatin. Tuntas sudah tulisan buruk itu dibacakan.
Aneh! Pak guru tidak bereaksi apa-apa. Beliau
hanya diam lalu menyuruh saya kembali ke bangku. Teman-teman juga diam. Lalu
beliau maju ke papan tulis dan menulis.
“Hari ini kita belajar bahasa Indonesia, tugas
anak-anak adalah mengarang tentang ayah atau tentang ibu kalian, tulis di buku
bahasa Indonesia. Saya akan periksa besok.” Setelah itu, beliau ke luar kelas.
Hanya begitu, yah hanya begitu saja akhir dari
drama yang terjadi. Tidak ada amarah dari guru saya bahkan teguranpun tidak ada. Hingga bel pulang sekolah
berbunyi, kami pulang tanpa kata-kata seperti biasanya, karena pak guru tidak
muncul di kelas. Beliau pulang.
Saya pulang dengan hati nelangsa, tetapi tidak
berani memberi tahu orang tua. Hingga esoknya, saya berniat mencari
pak guru, bertekad untuk minta maaf kepadanya. Sebelum masuk kelas
saya singgah membeli pisang goreng gerobak (begitu biasa kami menyebutnya, pisang goreng
gerobak) yang ada di depan sekolah, pisang goreng dbungkus dengan kertas.
Di depan kelas saya melihat pak
guru sedang menghapus papan tulis yang tidak sempat kami hapus kemarin akibat
ulah saya. Dengan takut-takut saya mendekati beliau, menyodorkan pisang goreng
hangat yang saya beli tadi, beliau menoleh, memandangi saya, tidak tahu
apa makna tatapannya karena tidak berani menatapnya, saya tertunduk dalam
sekali sampai-sampai tubuh nyaris membungkuk.
Pak guru menyentuh kepala dan membelai
rambut saya, bagai disetrum listrik berkekuatan 1000 watt, gemetar, tangis saya
pecah lalu lari menghambur memeluk kedua kakinya. Pak Guru jongkok dan menatap
mata saya, beliau menghapus air mata saya, dia tersenyum sambil berkata, “Kamu
berbakat jadi penulis.”
“Saya minta maaf Pak.” Kataku terbata. Sekali
lagi beliau tersenyum.
“Bapak yang minta maaf yah Nak, bapak tidak tahu
perasaanmu.” Saya tidak bisa menggambarkan perasaan saya waktu itu. Yang
jelasnya saya merasa berada di suatu tempat yang sangat sejuk. Apalagi ketika
Pak Guru membuka bungkusan pisang goreng yang tadi saya berikan kepadanya sambil
berkata.
“Ayo kita makan bersama pisang goreng ini, satu
untuk kamu dan satunya lagi buat bapak.” Itulah pisang goreng ternikmat di
dunia yang pernah saya makan. Hati saya lega.
Setidaknya saya merasa, kalau waktu itu saya
sudah dimaafkan.
nangis bacanya mbak....
ReplyDeleteSemoga beliau dilapangkan kuburnya. Terima kasih sudah berkunjung
DeleteMenangis ka' membacanya, Kak. Masya Allah, beliau bisa introspeksi diri, bukannya dengan menghukum kita' Kak. Semoga kuburnya dilapangkan.
ReplyDeleteAamiin. Beliau adalah guru yang menginspirasi saya sehingga mau menjadi guru juga.
DeleteMasya Allah kak.. Baru ka baca tulisan ini. Terharuku. Ternyata Pak Tua guru yang berhati lapang.
ReplyDeleteSemoga diterangkan dan dilapangkan kuburnya. Aamiiin ��
Aamiin. Saya selalu ingat sama beliau.
ReplyDelete