10 tahun bukanlah waktu yang singkat dalam
menanti buah hati. Kerinduan yang
teramat dalam di hati Nisa akan kehadiran anak selalu datang tanpa diundang.
Rumah yang luasnya cukup untuk 6 kamar
berukuran 5 x 4 ditambah ruang tamu, ruang tengah, dan dapur dengan luas 6 x 6
itu terasa sangat lengang. Nisa sedikit menyesal membeli tanah seluas 2500 m2
itu. Walaupun bangunan rumah yang berdiri di atasnya tidaklah terlalu
luas, namun tetap terasa sangat sunyi.
Rumah mungilnya yang dikelilingi pekarangan
yang luas dan ditumbuhi pepohonan rimbun harusnya menjadi tempat yang sangat
nyaman. Namun tidak bagi Nisa apabila kerinduan itu datang dan kesunyian mendera batinnya.
Seperti
malam ini, saat suaminya Ardan sudah terlelap lebih dahulu. Nisa menatap lekat
wajah teduh suaminya. Nisa tahu di balik keteduhannya itu ia memendam kerinduan
teramat dalam akan kehadiran seorang anak. Sekalipun Ardan tidak pernah mau
membahasnya.
Bukannya mereka tidak pernah berusaha.
Bahkan beberapa kali konsultasi ke dokter dan mempertanyakan sebab musababnya.
Anehnya mereka dikatakan sehat dan tidak ada apa-apa. Ah, mungkin kita belum
dipercaya saja. Itu kata suaminya.
Suaminya menggeliat, matanya memicing.
Nisa lupa memadamkan lampu kamar. Jika lampu menyala maka suaminya tidak bisa
tidur lelap.
"Maaf Kak, aku lupa padamkan
lampu." Nisa beranjak dari kursinya untuk memadamkan lampu tidur.
"Tidak apa-apa sayang, kenapa belum
tidur? Masih menulis?" Sambung suaminya sebelum Nisa menjawab.
"Tidak, aku lagi menikmati
pemandangan indah."
"Pemandangan apa?" Suaminya
bangun perlahan. Senyumnya menatap mata indah isterinya. Ia tahu, kata-kata itu
selalu keluar dari bibir indahnya setiap kali ia kedapatan menatap dirinya.
"Melihatmu adalah sama saja menikmati
pemandangan yang indah, sejuk dan ..."
"Dasar penulis, selalu ada diksi
yang menyertainya" Ardan memotong kalimat Nisa sambil mendaratkan telunjuknya perlahan di bibir Nisa, membuat bibir indah itu terkatup.
Ardan merangkul pinggangnya lalu
mendaratkan kecupan manis di.pipinya.
"Tidur yuk, besok kan ada acaramu
di Gedung Erlangga?
"Astagfirullah aku lupa Kak, belum
siapkan materinya." Nisa balas merangkul leher suaminya.
"Habis tahajud baru nulis sayang,
sekarang sudah jam 22.00." Bujuk suaminya.
Setiap dirayu seperti itu, Nisa tak kuasa
menampiknya. Mereka lalu beranjak ke peraduan, saling menatap, berangkulan dan tersenyum
bahagia.
Sejurus kemudian pasangan itu terlelap
sambil berdekapan.
*************
Nisa beranjak dari sajadahnya usai melaksanakan
salat tahajud. Ia meninggalkan suaminya yang masih khusyuk mengaji. Suara serak
nan merdu itu selalu menjadi simfoni terindah baginya. Itu pula yang membuatnya
jatuh cinta setengah mati.
Ide-ide
yang sejak sore tadi sempat mengendap di kepalanya, akan ia eksekusi saat ini.
Astagfirullah! Kenapa ide-ide itu raib?
Astagfirullah! Kenapa ide-ide itu raib?
Padahal ia harus menulis sesuatu sebagai pembuka dalam rangka acara pelatihan menulis di mana Nisa tampil sebagai narasumbernya.
Ahaaa … Walitonra!
Suara hati Nisa bersorak, sejak Walitonra menjadi asisten pribadinya, ia merasa sangat terbantu. Perempuan muda itu, mantan mahasiswa suaminya sudah setahun ini menjadi asistennya untuk kegiatan-kegiatan kepenulisannya. Nisa tidak perlu repot-repot di depan laptop menuliskan materi. Ia cukup mengirimkan poin-poin penting yang akan ditampilkan, ditambah sedikit diksi dan sedikit arahan. Walitonra bagaikan perwujudan Nisa dalam mengeksekusi ide-ide itu, maka jadilah bahan presentasi yang memukau.
Email
sudah terkirim, balasan dari Wali sudah ia terima. Nisa sangat bersyukur
mendapatkan Walitonra. Perempuan cantik itu
memiliki ritme kerja yang sama dengannya. Setiap Nisa bangun pada dini
hari dan menghubungi Wali via whatsApp,
maka tidak perlu menunggu lama, karena
tidak sampai satu menit, mereka sudah terhubung.
Nisa ingat perkenalannya dengan Walitonra saat suaminya membawa perempuan muda itu beberapa waktu lalu.
“Kebiasaan
isteriku ini adalah mempersiapkan segala sesuatunya pada dini hari, yah sekitar
pukul 02.30 sebelum salat tahajud. Apakah kamu bisa bekerja seperti itu? Tanya
Ardan.
“Insya
Allah Pak.” Tanpa ragu Wali menjawab pertanyaan Ardan.
“Baiklah
kalau begitu, artinya kalian bisa bekerjasama.” Ardan mengangguk sambil
mengedipkan matanya ke arah Nisa. Nisa hanya tersenyum kalem.
Baginya
Walitonra sudah memikat hatinya sejak ia membaca skripsinya. Sejak itu pula ia
mendesak suaminya agar mau membawa Walitonra kepadanya dan mengajaknya
bekerjasama.
Gayung
bersambut. Walitonra menerima pinangannya. Bukan karena pekerjaan Nisa yang
menarik minatnya melainkan karena Ardan, sang dosen pujaan hatinya.
Kembali
Nisa menatap layar laptopnya. Satu file terbuka, naskah pada bab 18 seakan
melambai untuk dijamah. Tetapi Nisa kehilangan kata. Rasanya sangat sulit
mengetik huruf demi huruf.
Nisa
membuka file outline novelnya. Baginya
outline ini sangat membantu, saat kehilangan ide atau saat mumet. Outline
membantunya memandu jalannya cerita yang akan
ia tulis.
Dengan
mata lurus ia menyelusuri setiap kata dalam outline tersebut. Tetapi kenapa
tidak ketemu juga yah idenya, bagaikan benang kusut. Harusnya saat membaca
kembali outline itu, ia akan menemukan benang merahnya sehingga ia bisa
menuliskan atau menuangkan ide-idenya yang tersumbat.
Nisa tercenung melihat huruf-huruf itu seakan berubah menjadi bulatan-bulatan kecil. Bulatan kecil itu kemudian membesar sedikit demi sedikit lalu berubah menjadi kepala manusia.
Kepala bayi!
Kepala itu dilengkapi dengan mata, hidung, mulut mungil dan sedikit rambut yang sangat halus. Matanya nanar menatap monitor laptopnya, seakan yang ia lihat itu nyata adanya. Tiba-tiba gambar pada monitor itu berganti dengan gambar suaminya.
Gambar
yang semula diam itu seakan bergerak-gerak serupa video yang sedang diputar.
Perlahan ia lihat suaminya mengangkat kepala bayi yang telah berubah wujud
menjadi bayi sempurna. Suaminya tertawa
riang sambil menggendong bayi itu, badannya berayun ke kanan dan ke kiri
sementara bayi itu tertawa riang.
Entah menit keberapa gambar itu hilang. Monitor laptopnya berubah menjadi gelap lalu padam.
Rupanya sejak tadi ia diperingatkan dengan kode tanda silang merah di bagian
sudut bawah pada monitor, kalau baterai laptopnya sudah soak.
Astagfirullah!
Ada apa denganku?
Apakah
ini pertanda kalau suaminya sesungguhnya sangat merindukan anak melebihi
kerinduannya sendiri. Apakah ini sinyal yang dikirim Tuhan dan mengabarkan
kalau suaminya sangat ingin memiliki anak, tetapi segan mengatakan kepadanya.
Sumber: Pixabay.com |
Baca cerita sebelumnya di sini
Cahaya
kemerah-merahan di langit bagian timur sudah mulai menyembul, pertanda fajar
sudah menyingsing. Nisa beranjak dari kursi putarnya. Ia masuk ke dapur dan
mulai menyiapkan sarapan untuk suaminya.
“Tulisanmu sudah selesai Nis?” Tanya suaminya
sambil menuangkan air.
“Kak
Ardan sudah mandi?” Bukannya Nisa menjawab pertanyaan suaminya, ia malah balik
bertanya. Itu pertanda Nisa tidak konsentrasi.
“Apa
yang sedang kamu pikirkan sayang?” Ardan hafal betul karakter isterinya itu.
“
Tidak pikir apa-apa. Masak isteri bertanya begitu, dikira memikirkan yang
lain.”
“Aku
tahu kamu Nis. Kalau pertanyaan kamu balas dengan pertanyaan pula berarti kamu
lagi tidak konsentrasi. Hanya satu hal yang membuat konsentrasimu buyar adalah
pikiranmu lagi kalut.”
“Hanya
satu pikiran yang bisa membuatku tidak khusyuk.”
“Apakah
itu istriku yang cantik?” Ardan bercanda
mencoba menghilangkan kemasygulan
istrinya.
“Kenapa
aku belum bisa menyempurnakan kebahagiaanmu Kak?” Keluar juga kalimat tanya
itu.
“Siapa
bilang kebahagiaanku tidak sempurna sayang? Aku sangat bahagia. Bersamamu
adalah bahagiaku yang paripurna.” Ardan menampik kata-kata istrinya. Terdengar
gamang di telinga Nisa.
“Keluarga
yang sempurna itu adalah keluarga yang dikarunai
anak sebagai pertanda terpautnya kasih sayang, bukti bahwa keluarga itu sehat
Kak.”
“Sudahlah
Nis, kita jangan memprotes karunia-Nya. Kita sudah diberi cinta, diberi rezeki
yang melimpah, kesehatan yang baik apalagi coba?”
“Tetapi
kita belum punya anak Kak.” Baru kali ini Nisa menjawab tanya suaminya dengan
nada yang agak keras.
“Pasti
ada yang salah. Aku mandul Kak.” Gemetar suara Nisa mengucapkan kalimat itu.
“Kita
kan sudah periksa Nis. Mulai periksanya di rumah sakit hingga ke dokter ahli
kandungan terbaik di kota ini. Semuanya menghasilkan jawaban yang sama, kita
berdua sehat. Hanya saja Tuhan belum mempercayai kita sayang.” Ardan membujuk
istrinya dengan sabar.
“Lalu
kenapa Dia belum mempercayai kita? Apa yang salah dari kita?”
“Bersabarlah
sayang. Biarkan Tuhan mengatur hidup kita sesuai skenario-Nya. Jangan sampai
kita menggugat Dia, kita tidak punya hak untuk itu.”
Spontan
Nisa terdiam mendengar kata-kata suaminya. Ia mengusap dadanya sambil
beristigfar dalam hati. “Ya Gafur, ampunilah hamba-Mu ini.
Malam
ini pikiran Nisa melanglang buana. Bayangan gambar dan serupa video yang
diputar pada monitor laptopnya tadi pagi terus muncul. Ia mencoba mencari
jawaban atas tanyanya sendiri.
Bip … bip … bip …
pertanda satu pesan masuk lewat telepon genggamnya. [ Assalamualaikum Bu].
Pesan dari Walitonra.
[ Waalaikumsalam, ada
apa Wali? ].
[ Hanya mau
mengabarkan, tulisan ibu di koran Fajar hari ini sudah terbit. ]
[ Alhamdulillah,
terima kasih ya ]
[ Sama-sama Bu ]
Tiba-tiba pikiran itu
muncul. Satu-satunya cara agar suaminya mendapatkan anak adalah ia harus menikah dengan perempuan lain.
Entah darimana asalnya, ide itu muncul dari pikirannya.
Entah darimana asalnya, ide itu muncul dari pikirannya.
Yah Walitonra
solusinya!
Penasaran sama cerita selanjutnya nih, aku menunggu mba. Hehehe
ReplyDeleteCeritanya baguuuus. Penasaran cerita selanjutnya.
ReplyDeleteCeritanya baguuuus. Penasaran cerita selanjutnya.
ReplyDeleteApaaaa? Seriusan? Poligami?
ReplyDeleteHadeh.... Kalau saya sih NO, enggak tau kalau Ardan, Nisa dan Wali..
Saya juga No. Hahaha
DeleteSalam kenal mba.. saya Nana
ReplyDeleteLuar biasa. begitu berserah dirinya Nisa.. rasanya kutak sanggup ..
Salam kenal juga Mbak. Akupun tak sanggup. Ngeriii .
DeleteWalitonra pemilihan namanya unik ya Bun. Membca tulisan di atas jadi menbuat saya menatap anak saya ☺️. Trima ksh u/ crtanya ��
ReplyDeleteTonra itu nama nenek saya soalnya bhahaha
DeleteDuh, bukan saya banget hehehe. Karena saya memang bukan Nisa, tapi Damar wkwkwkwkw
ReplyDeleteJangan jadi Nisa Mbak, BERAT
DeleteYa ampun Nisa... jangan lakukan itu... itu akan menyakitimu nanti... #korbannovel
ReplyDeleteBhahaha ....
DeleteDuh mba, cerita akhirnya deg2 ser. Kenapa semua serba walintora solusinya? Wkwk. Bikin gemes ceritanya 😆
ReplyDeleteNisa baper lihat Ardan
DeleteHuaaa.... Ceritanya bikin deg degan ditunggu kisah selanjutnya ya mbak
ReplyDeleteSabar ya
DeleteIsh..ish ish... kenapa jadi Poligami ya ujungnya? aiihh... deg degan nih #jeritanhatiseorangantipoligami# hahaha. Lanjuut, Bunda!
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteIsh ... ish ... jangan baper dong, itu untuk Nisa saja kok
ReplyDeleteDuh keren ini ceritanya. Di lanjutkan ya kanda, bikin penasaran soalnya
ReplyDeletePenasaran deh baca lanjutannya...
ReplyDeleteWaah...seru ceritanya.&.bikin deg deg plas Mba
ReplyDeleteditunggu cerita selanjutnya bunda.
ReplyDeleteMasya Alloh, ternyata cerita tho. Tadinya kirain aku mau cerita pengalaman pribadi, 10 tahun belum punya anak.
ReplyDeleteMau ka culik ini kaka Dawiah deeh biar nda lanjut ke rencananya. Hehehee. ..Please, jgn mi lewat jalan itu deeh sudah sering mi dilewati orang. Yang lain mooo banyak jlan menuju Roma kakaaaaaa. Ngapa na saya yang kekembutan diii.
ReplyDeleteSama kebiasaanku ini segalanya muncul pas dini hari hahaha kayak kemarin tulisan2 deadline pas dini hari pi dibereskan aahh lanjut dongggg lagi ceritanyaa
ReplyDeleteUsually, I've never commented on blogs but your article is so convincing that I've never stopped myself to say something about it. You're doing a great job Man. Best article I have ever read
ReplyDeleteKeep it up!