Sakit Tak Terperikan

Monday, August 6, 2018


Perlahan subuh beranjak. Mentari menyembul malu-malu dari balik awan.
Fika beranjak dari atas sajadahnya. Sejak tengah malam ia duduk di atas sajadah itu.  Perasaannya gelisah. Untuk menepis kegelisahannya, Fika meninggalkan peraduannya lalu  mengerjakan salat malam diteruskan dengan mengaji. Ia sudah biasa melakukan itu. Terlebih lagi jika suaminya sedang tidak ada di rumah.
Sesaat kemudian ia meraih handponenya. Beberapa pesan masuk melalui whatsApp.
Satu persatu pesan itu dibuka.
Tiga  pesan gambar dari pengirim yang tidak dikenalnya. Keningnya berkerut, tidak biasanya ia mendapat kiriman gambar maupun foto dari nomor yang tidak dikenalnya. Ia ragu membuka pesan itu. Tetapi rasa penasarannya tak dapat ia bendung. Jantungnya berdebar. Jangan-jangan foto porno. Begitu yang ada di pikirannya. Akhirnya ia memutuskan, ia harus melihat pesan itu.
Perlahan ia menekan gambar pertama, terlihat bulatan kecil berputar perlahan menandakan gambar sedang diunduh.
Foto terlihat jelas. 
Deg!
Foto suaminya sedang tertidur di atas ranjang, telanjang dada. Bagian perutnya ke bawah ditutupi selimut warna putih. Jantung Fika berdegub kencang. Kenapa suaminya mengirim foto?
Ah … bukan! 
Foto itu bukan kiriman suaminya, nomor pengirim pesan bukan nomor suaminya. Lalu siapa yang mengirim? Terjadi dialog dalam batinnya. Sebaiknya kubuka saja pesan kedua, siapa tahu bisa menjawab rasa penasaranku. Fika membatin.
Dengan menahan debaran di dadanya, Fika menekan layar handponenya tepat di atas pesan gambar yang kedua. Rasanya lama sekali menanti hasil unduhan foto.
Unduhan selesai. Foto kedua terbuka jelas. Qory tersenyum lebar dengan pose dan posisi yang sama dengan suaminya. Dada Qory terlihat jelas. Terbuka.  Jantung Fika seakan berhenti berdetak sepersekian detik. Ia mengamati foto Qory dengan saksama. Ia merasa foto pertama dan foto kedua ada hubungannya. Tangannya gemetar. Sungguh gemetar. Dentuman di dadanya bagai dihantam godam.
Apakah Qory yang mengirim foto itu? Apa hubungannya dengan foto yang pertama? Tiba-tiba ingatan Fika berkelabatan pada pertanyaan Qory beberapa hari lalu.
“Fik mana yang kamu pilih, suamimu selingkuh lalu berzina atau berpoligami?”
Waktu itu Fika gelagapan menjawab, “Eh aku tidak tahu. Dua-duanya tidak nyaman.”
Mungkinkah foto-foto itu adalah jawaban atas pertanyaan Qory?
Ya Allah, kalau itu benar-benar terjadi, apa yang harus aku lakukan? Tangan Fika lemas tetapi menggenggam dengan keras handponenya. Apakah jawaban yang sebenarnya ada pada pesan gambar yang ketiga?
Fika menutup mata. Tangannya gemetar. Jari-jarinya seakan kaku. Perlahan ia menekan pesan gambar ketiga. Bulatan kecil terlihat berputar.
Gambar diunduh.
Fika tidak berani melihat proses itu, ia menutup mata sambil menahan debaran dadanya yang semakin berdegup kencang. Fika yakin foto itu sudah terunduh, tetapi ia takut melihatnya. Sungguh ia sangat takut.  Namun rasa keingintahuannya memaksa ia harus melihat foto itu.
Perlahan ia mengintip foto ketiga. Matanya nanar melihat foto itu. Lambungnya serasa perih.
Hatinya perih.
Sekujur tubuhnya lemas. Ia terduduk di pinggir ranjang dengan badan limbung.
Fika meraih bantal lalu ia benamkan wajahnya di situ. Ia menangis dan meraung. Ia berteriak sekencang-kencangnya. Teriakannya terbenam dalam bantal. Semakin keras ia berteriak semakin keras pula  ia benamkan wajahnya ke dalam bantal.
“Oooo Daeng… huuu..huuu.. Daeng!” Tubuh Fika  menggigil. Benar-benar menggigil menahan sakit luar biasa. Air matanya menganak sungai. Fika meninju-ninju kasur, bantal dan dadanya sendiri.
Hati siapa yang tidak sakit? Jiwa siapa yang akan kuat? Tubuh siapa yang tidak gemetar?
Melihat foto suami berpelukan dengan sahabatnya sendiri!
SATU SELIMUT DI ATAS RANJANG!
“Daeeeeeng!
“ Qory …!
“Kalian kurang ajar!”
“Biadab kalian!”
Fika berteriak. Mencengkeram handpone.  Ia menggerung marah. Bagaikan banten yang terluka. Ia membuka lemarinya, mengacak-acak isi lemari itu.  Fika menatap foto suaminya yang terpajang manis di dinding kamarnya.
“Fotomu tidak pantas dipajang di kamar ini” Fika mendesis marah.
Sangat marah!
“Pyaaar!
Bingkai foto menghantam dinding ruangan.
 Baca kisah sebelumnya di sini 
************************

Malam semakin mengkelam demikian pula hati Fika.
Seharian menahan sakit yang tak terperikan, sungguh itu menguras energinya. Ia tertidur di atas sofa dengan mata sembap. Untunglah  kedua anaknya sedang berlibur ke rumah neneknya sehingga tidak melihat keadaannya.
Derik pintu pagar membuatnya terjaga. Perlahan ia bangun dan berdiri. Mengintip dari balik gorden. Bakti pulang.
Dadanya seakan menggemuruh.
Sekuat tenaga ia menahan diri agar penghuni rumah lain tidak mengetahui perasaannya. Bagaimanapun, ia harus menjaga harga diri suaminya terutama harga dirinya.
Jika suami selingkuh, bukan hanya menorehkan perih tetapi juga rasa malu. Malu karena merasa tidak dicintai lagi. Malu karena merasa tidak dibutuhkan.
Tidak dihargai.
Raut muka Bakti menyiratkan kelelahan. Ia menghindar bertatapan  dengan isterinya. Rasa  bersalah menghantuinya. Sekalipun Bakti sadar kalau ia sudah diperdaya oleh Qory. Ia dan Qory tidak melakukan apa-apa. Namun mendapati dirinya terbangun di dalam kamar hotel hanya mengenakan celana pendek, itu sudah cukup membuatnya merasa sangat cemas. Apa yang akan dikatakannya kepada Fika, jika hal itu ia ketahui.
Perlahan Fika menyentuh tangan suaminya. Jemarinya meremas lengan kokoh suaminya, lengan yang selalu ia rindukan, lengan yang selalu memberinya kedamaian kala bersandar atau direngkuh dalam pelukan. Tetapi tidak lagi saat ini.  
Terbayang, lengan kokoh itu merengkuh bahu orang lain, memeluknya dengan sayang. Beuuh…tanpa sadar, rahangnya mengatup keras. Jiwanya kembali tergoncang.
“Sejak kapan Daeng selingkuh sama Qory?” Fika bertanya tanpa basa-basi, membuat Bakti gelagapan.
“Apa maksudmu Ndi?” Bakti balik bertanya, pura-pura tidak mengerti. Hatinya diliputi kecemasan. Fika tidak langsung menampik pertanyaan suaminya, ia malah meraih telepon genggamnya. Dengan tangan gemetar ia membuka galeri foto lalu disodorkan ke Bakti.
“Lihat maki sendiri Daeng.” Suara Fika parau.
Bakti melihat foto-foto itu dengan mata membulat. Ia geram. Ini pasti perbuatan Qory.
“Ini tidak seperti yang Ndi bayangkan.”
“Kalau Daeng melihat foto orang lain seperti ini, apa yang ada dipikiran ta?”  Jawaban seperti ini sudah diperkirakan Fika.
“Itu tipu dayanya Qory. Ia memberiku minuman sehingga aku tertidur, selanjutnya aku tidak tahu lagi apa yang ia lakukan.”
“Yang pastinya, aku tidak selingkuh dengan siapapun apalagi dengan Qory. Percayalah Ndi, tidak ada orang lain yang bisa menggantikan ta’ di hatiku.” Bakti masih berusaha menenangkan hati isterinya.
Fika tidak bergeming. Sakit hatinya tidak bisa diobati hanya dengan kata-kata rayuan Bakti. Dahulu kata-kata itu sudah bisa menerbangkan angannya ke awan-awan, membuatnya jatuh hati lalu ikhlas meladeni suaminya dengan sepenuh hati.
Itu dulu, sebelum foto-foto itu memorak-porandakan semua bangunan cintanya.
“Jika itu memang tipu dayanya Qory, buktikan kepadaku, mulai hari ini Daeng tidak bekerja sama lagi dengan dia.” Fika memcoba berdamai dengan hatinya.
“Pasti akan kubuktikan, Aku sudah memecat dia sejak aku di kamar itu.” Lega hati Bakti, setidaknya ia merasa dimaafkan dan diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.
Namun jauh di lubuk hati Fika, sakit itu tidak begitu saja hilang. Ia hanya mencoba membujuknya agar tidak membuatnya meraung. Toh saat ini ia tidak bisa memutuskan apapun. Ia masih sibuk dengan luka hatinya.



Beginikah luka yang dirasakan para istri yang suaminya mendua?
Begini perihkah hati perempuan yang suaminya berselingkuh?
To be continued ...
Catatan:
Daeng = Kakak,  (bahasa Bugis/Makassar)
Andi =  Adik
Ndi = panggilan singkatan untuk kata Andi dalam bahasa Bugis/Makassar





12 comments

  1. Aduuh...ikut2an deg degan bacanya Mba Dawiah..keren ceritanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, berarti sudah dapat sedikit sensasinya, wkwkwk...

      Delete
  2. Ikut emosi ka bacai kk... #haduh

    ReplyDelete
  3. Waduh makin seru aja nih...
    Ayo Bunda bikin kumpulan cerpen atau novel sekalian :) Bagus ini cerita!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak, lagi belajar nih nulis novel. Terima kasih sudah mampir.

      Delete
  4. Kalau aku jadi Fika, aku udah lempar itu hp, bukan lagi dipegang.. hehe

    Tapi, gak mau ah jadi Fika. Qiqi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangaaan jadi Fika, BERAT.
      cukup dalam cerita saja, hehehe

      Delete
  5. Whuaa bikin pensaran nih Bunda, ayo ditunggu lanjutannya ya.. Teenyata berbakat nih Bunda bikin cerita fiksi.

    ReplyDelete
  6. tidak sabarku bunda sm kelanjutan ceritanya...

    ReplyDelete
  7. ikut deg-degan dan penasaran baca ceritanya kalimat demi kalimat, penasaran sama kelanjutannya bunda hahahhaha

    ReplyDelete