Drama Memilih Sekolah untuk Anak

Tuesday, June 29, 2021

 




 

Sebenarnya drama memilih sekolah bukan hanya dialami oleh orang tua saja, melainkan ada anak yang jauh lebih drama dari orang tuanya.

Saat saya masih mengajar di desa yang cukup terpencil, dramanya tidak sedramatis mengajar di ibukota provinsi.

Kala itu, guru-guru yang sibuk mencari murid. Membujuk orang tua untuk menyekolahkan anaknya dan kami guru siap menerima resiko sekolah sepi saat musim menanam padi atau saat panen.

Tidak ada ceritanya, orang tua datang mencak-mencak agar anaknya diluluskan, karena anak mereka lulus sebelum mendaftar, ha-ha-ha.

Keadaan itu berbanding terbalik ketika saya pindah mengajar di kota.

Huaa … dramanya melebihi drama Korea.

Tak jarang saya menyaksikan air mata kemarahan, kesedihan, kekecewaan dari orang tua dan anak calon siswa baru.

Bahkan, dahulu sering terjadi permainan kotor demi agar anaknya bisa diluluskan di sekolah pilihannya.

Kalian masih ingat kan, istilah lulus lewat jendela, atau lulus pakai nota pejabat?

Nah, itu dramanya panjang banget. Bisa berjilid-jilid dan episodenya bisa sampai tiga tahun.

Ada yang rela tidak menyekolahkan anaknya untuk menunggu “pintu” sekolah pilihannya dibuka atau minimal bisa masuk lewat plafon.

 

Sekarang Bagaimana?

 

Melihat keadaan itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan dengan terus memperbaiki regulasi PPDB hingga tiba pada sistem zonasi yang tiga tahun terakhir ini diberlakukan, maka pandangan orang mulai bergeser sedikit demi sedikit.

Namun, yang namanya perubahan, pasti ada saja kekurangannya.

Terutama bagi orang yang tempat tinggalnya jauh dari sekolah pilihannya. Kebijakan ini sangat tidak menguntungkan. 

Oh yah, Ini berlaku untuk sekolah negeri, karena sekolah swasta bebas saja.

Jika tidak ada sekolah negeri yang berada di sekitar tempat tinggalnya, maka pasti tidak masuk zonasi.

Sistem zonasi bukanlah satu-satunya pilihan, karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan agar calon siswa baru bisa menempuh beberapa jalur pendaftaran.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, terdapat beberapa jalur pendaftaran, yaitu: Zonasi, Afirmasi, Perpindahan tugas orang tua/wali, dan jalur prestasi. Penjelasannya seperti berikut ini.

  • Jalur zonasi SD paling sedikit 70% dari daya tampung sekolah dan SMP dan SMA paling sedikit 50% dari daya tampung sekolah.
  • Jalur afirmasi paling sedikit 15% dari daya tampung sekolah untuk semua tingkatan.
  • Jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% dari daya tampung sekolah untuk semua tingkatan.
  • Untuk jalur prestasi tidak berlaku bagi TK dan SD kelas 1

Nah, orang tua dan calon siswa baru boleh memilih salah satu jalur tersebut, jika syaratnya terpenuhi.

Saya pernah menuliskan tentang PPDB ini di sini

 

Putus Asa Tidak Lulus di Sekolah Impian?

 

Apa yang harus dilakukan, jika anak tidak lulus di sekolah pilihannya?

Biasanya kalau baru mau masuk SD, anaknya tidak apa-apa kalau gagal masuk ke SD pilihan orang tuanya. Justru yang kecewa adalah orang tuanya, kan pilihan mereka, wkwkwk.

Beda cerita kalau mau masuk SMP atau SMA. Anak-anak sudah pandai memilih sekolah favoritnya.

Makanya saya tak heran ketika beberapa kali menyaksikan ada anak yang menangis seharian, gara-gara tidak lulus di sekolah pilihannya. Terutama saat saya bertugas di salah satu SMP yang cukup populer di kelurahan itu.

Maka apa yang harusnya orang tua lakukan jika mengalami hal seperti itu?

Menurut saya, orang tua seharusnya tampil sebagai penghibur dan pemberi jalan keluar, bahwa masih banyak sekolah yang baik dan mungkin lebih baik daripada sekolah pilihannya.

Bukannya mencari jalan lain yang tidak elok untuk memasukkan anaknya  di sekolah pilihannya tersebut. Katakan kepada anak, bahwa sekolah favorit bukan penentu kesuksesan di masa depan.

 

Sekolah Favorit Bukan Penentu Kesuksesan

 

"Bersekolah di sekolah favorit bukan penentu kesuksesan kalian." 

Ini  adalah kalimat yang saya jadikan azimat buat anak-anak saya juga kepada murid-murid yang saya ajar ketika mereka tidak lulus di sekolah lanjutan pilihannya.

Apa pasal?

Sebagai guru yang pernah bertugas di daerah terpencil, di mana sekolah tempat saya mengajar itu jauh dari kategori sekolah unggul apalagi sekolah favorit.

Bahkan saya pernah mengajar di sekolah swasta dengan tingkat sosial dan ekonomi orang tua di bawah rata-rata, maka saya bisa berkesimpulan seperti itu.

Buktinya, setelah murid-murid saya dari kedua sekolah itu tamat dan bertemu dengan mereka puluhan tahun kemudian, saya mendapati fenomena yang luar biasa.

Lulusan dari sekolah-sekolah itu banyak yang sukses, baik secara akademisi maupun ekonominya. Ada yang menjadi pejabat pemerintahan, akademisi, pengusaha, dsb.

Padahal mereka bukan tamatan sekolah unggulan apalagi sekolah favorit.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley, Ph.D.

Beliau meneliti orang-orang sukses dari berbagai bidang, lalu dari hasil penelitiannya itu, beliau menemukan kenyataan bahwa sekolah favorit hanya berada di urutan ke-23  sebagai faktor kesuksesan orang-orang sukses tersebut

Nah, kan?

Bahkan IQ seseorang hanya berada di urutan ke-21. Dan yang lebih mencengangkan, lulus dengan nilai terbaik atau katakanlah selalu mendapatkan nilai teratas, hanya berada di urutan ke-30 sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang.

Lalu apa 10 faktor utama yang memengaruhi kesuksesan seseorang?

Yap, kesepuluh faktor utama itu semuanya adalah soft skill  berupa keterampilan sosial, komunikasi, kecerdasan sosial, dsb

Lebih jelasnya dituliskan oleh Thomas J. Stanley, Ph.D, kesepuluh soft skill yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. Kejujuran.
  2. Disiplin.
  3. Good interpersonal skill atau kemampuan bergaul dengan baik.
  4. Dukungan pasangan hidup atau pendamping, bisa orang tua atau orang terdekat lainnya.
  5. Tekun dan bekerja lebih keras dari yang lain.
  6. Mencintai pekerjaannya.
  7. Good & Strong Leadership atau memiliki jiwa kepemimpinan yang baik.
  8. Memiliki jiwa kompetitif dan semangat yang tinggi.
  9. Good life management atau mampu mengelola hidupnya dengan baik.
  10. Abilty to sell idea or product atau kemampuan menjual gagasan atau produk.

Setelah mengetahui semua ini, seharusnya tidak ada lagi drama berkepanjangan soal memilih sekolah buat anak.

Di manapun anak-anak kita bersekolah, selama kita membekali dengan soft skill yang mumpuni, maka insyaallah mereka, anak-anak kita akan baik-baik saja.

Yakinlah kesuksesan bisa diraih.

Sekalipun begitu, memilih sekolah yang baik dengan pertimbangan menempatkan anak-anak kita di lingkungan yang kondusif, tetaplah harus jadi prioritas.

Sekolah favorit bukanlah yang utama. Selama sekolah itu baik lingkungannya, guru-gurunya kompeten di jurusannya masing-masing, serta sistem pembelajarannya dijalankan sesuai aturan, maka yakinlah sekolah itu baik buat anak kita.

Demikian. Semoga bermanfaat.

 

Makassar, 29 Juni 2021

   Dawiah



********

Artikel ini diikutkan dalam Tantangan Artikel Pasukan Bloger Joeragan Artikel bulan Juni 2021 dengan tema “Memilih Sekolah”

#blogerJoeraganArtikel


20 comments

  1. Setuju sekali, Bun. Sekolah favorit bukan penentu kesuksesan.

    ReplyDelete
  2. "Bersekolah di sekolah favorit bukan penentu kesuksesan kalian." Saya setuju dengan anggapan ini, Bun.
    Sejalan dengan istilah "Pintar saja tidak cukup". Karena yang bisa membuat seseorang sukses itu bukan hanya nilai yang bagus tetapi juga perlu adanya karakter yang baik, ya, Bun

    ReplyDelete
  3. Zaman temen-temen nyekolahin anaknya di sekolah favorit di pusat kota Bandung. Kami menyekolahkan anak di SD kompleks saja. Ke sekolah jalan kaki, menjelang bel baru berangkat. Wkwkwk...Bener banget, ternyata kesuksesan ya engga tergantung sekolah favorit. Haha...
    Dipikir aja aja kisah suka duka jadi guru...ada yaa yg belum daftar udah lulus...hihi

    ReplyDelete
  4. wah jleb banget dengan kalimat bahwa sekolah (yang katanya) favorit bukan penentu kesuksesan anak di masa depan, dan aku setujuuuu :) Punya 10 soft skill diatas itulah yang kudu dikejar. karakter jujur terutama :) Semoga kelak anakku bisa kejar mimpinya dengan kecintaan belajarnya :)

    ReplyDelete
  5. Saya beberapa kali menemui curhatan mengenai drama-drama masuk sekolah ini, efek zonasi ini sepertinya untuk beberapa anak jadi tak mendapatkan kesempatan di sekolah favorit ya. Situasi di desa di sini juga sama, malah guru-gurunya yang mendatangi anak-anak untuk daftar sekolah hihi.

    Benar kok memang sekolah dan nilai itu bukan penentu utama peraih kesuksesan, dengan growth mindset bahkan bisa lebih baik. Memang tapi butuh lingkungan dan support yang tepat juga ya :)

    ReplyDelete
  6. Sepakat kak Dawiah, menempatkan anak2 di sekolah yg kondusif menjadi prioritas utama. Namun, tidak sedikit org tua siswa yg kelimpungan saat ini gegara drama PPDB yg kali ini sepertinya ngeri2 sedap.

    ReplyDelete
  7. Betul banget nih sekolah favorit bukan jaminan menjadi sukses, karena yg menjamin sukses ya kita sendiri, klo kita rajin, giat dan sungguh2 meskipun di sekolah yg biasa aja pasti bisa sukses.

    ReplyDelete
  8. Aku sukaaaa baca tulisan ini :D.

    Aku termasuk yg ga percaya kok mba, kalo sekolah favorit adalah penentu kesuksesan. Temen2 sekolahku dulu, ada yg selalu ranking Trakhir, pernah tinggal kelas pula, tp skr dia sukses jadi pengusaha. Ada yg sukses bekerja di oil company. Malah yg lulus dr sekolah fav, selalu rangking atas, masih aja staff biasa.

    Aku sempet ditanya kenapa memlih SD negeri utk anakku, Krn mereka menilai aku mampu nyekolahin ke swasta yg bagus. Tapi aku ga mau. Krn buatku aku pengen anakku berbaur, bersosialisasi dengan temen2 dari berbagai kalangan. Bukan cuma yg The Have, tp juga dgn temen2nya yg mungkin kurang mampu. Kalo masalah pendidikan, aku jg ga nuntut mereka utk menguasai semua bidang. Aku sendiri parah dlm hal pelajaran IPA kok :p. Masa iya aku maksa anakku hebat di semuanya

    Yg aku tekanin, mereka fokus. Kalo mereka suka seni, fokus di sana. Suka belajar bahasa, bwner2 pelajari dan kuasai. Aku LBH suka mereka punya skill yg bwner2 unggul drpd bagus di semua subjects tp hanya sekedar bagus. Bukan menguasai :D. Lebih bagus aku konsentrasi mendidik mereka utk disiplin dlm 10 point yg mba tulis di atas :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masyaallah, cara mbak Fanny memberi pengajaran kepada anak-anaknya luar biasa. Yang penting menguasai bukan sekedar tahu. Nice.

      Delete
  9. I feel you mbak. Kemarin baru aja daftarin ponakan ke SMA dan ya ampun seleksi zonasinya bikin puyeng banget. Rumahnya ponakanku sayangnya jauh-jauh dari semua SMA. Jadinya mau daftar ke manapun nggak lolos gegara jaraknya yang kejauhan. Akhirnya masuk swasta deh.

    Betul, sekolah favorit bukan penentu kesuksesan. Penentunya itu ada di kemauan anaknya sendiri

    ReplyDelete
  10. Berner Mak baru kualami juga nih betapat ribednya nyarisekolah di negara ini karena beberapa aturan tsb jadilah swasta lagi yang menjawab semua keluhan para emak, uda urus ini itu zonasi zonk :p

    ReplyDelete
  11. Huhu, aku nih tahun lalu. Bingung dan penuh drama milih sekolah anak. Salah strategi pas masuk, jadinya ke sananya kacau. Tapi ya, semuanya sudah terlewati. Akhirnya milih swasta. Semoga yang terbaik deh. Nah sekarang, drama lagi. Milih kampus untuk kuliah si sulung 😁

    ReplyDelete
  12. Huhuhu kemarin ini banyak drama penerimaan murid baru yaa. Aku baca di beberapa status. Tapi setuju sih kalau ga masuk sekolah favorit bukan berarti ga cemerlang masa depannya. Mungkin itu yang terbaik. Aku dulu ngalamin hal yang sama wkwk. Malah jadi bisa masuk PTN

    ReplyDelete
  13. Setuju, Kak ... bersekolah di sekolah favorit bukan penentu "kesuksesan" seseorang. Itu juga kesimpulan saya setelah bertemu banyak pemuda hebat yang mereka bukan dari sekolah/kampus favorit.

    ReplyDelete
  14. Ini lo yang disayangkan dari sistem pendidikan di Indonesia.
    Mengapa harus ada kultur "Sekolah Favorit"?
    Harusnya sekolah dimana-mana sama saja. Yang membuat menjadi favorit biasanya adalah tingkat kelulusan dengan nilai yang terbaik dan ini berasal dari akreditasi sekolah.

    Kepikiran kalau guru-guru yang mengajar di sekolah ini di rolling.
    Jadi cap sekolah terbaik gak ada lagi dan sekolah di manapun sama, tempat untuk menimba ilmu.

    ReplyDelete
  15. Saya suka sekali artikel ini Bun. Sangat mencerahkan dan menenangkan hati para emak pencari sekolah. Dan 10 soft skill di atas msh jd pr besar buat saya dan suami. Semoga anak2 dpt tumbuh dan berkembang sebaik mungkin dimanapun dia berada.

    ReplyDelete
  16. Sangat mencerahkan, apalagi ditulis oleh seorang pendidik yang sudah berpengalaman. Terima kasih sekali untuk paparannya, Bund. Alhamdulillah, sebagai orangtua saya seolah mendapatkan energi baru menghadapi fenomena memilih sekolah yang akan datang 2 tahun lagi.

    Jujur, tempat tinggal saya masih masuk zonasi, tapi usia anak saya masih muda. Untuk bertarung di jalur zonasi kok rasanya berat, jadi kami merencanakan ikut jalur prestasi. Ya,masih 2 tahun lagi, tapi persiapannya memang nggak bisa mendadak kan? Dan yang terpenting, saya sudah lebih tercerahkan dengan pendapat dari Bunda.

    ReplyDelete
  17. Jadi mikir juga. Kalau Nbi udah waktunya masuk sekolah mau diarahkan ke mana ya. Untuk memilih SD atau MI, negeri atau swasta. Pasti ada dilema tersendiri.

    ReplyDelete
  18. daftar sekolah sekarang banyak prosedur sesuai domisili terdekat

    ReplyDelete
  19. Semoga semua orangtua yang sedang berjuang untuk pendidikan anaknya dilancarkan rejekinya dimudahkan urusannya amiin

    ReplyDelete