Bu Leli Menggugat Serti

Friday, March 12, 2021

 

Bu Leli Menggugat Serti






Semenjak Leli memberi pizza dengan taburan cabe bubuk kepada Bu Kur, ia tidak berani lagi masuk ke ruangan kurikulum. Sekalipun Bu Kur sudah memaafkannya, tetapi rasa bersalahnya tak bisa ia tutup-tutupi.

Bayangkan saja, seharian itu Bu Kur tidak masuk kelas mengajar akibat bibirnya yang dower, bukan hanya dower, air mata Bu Kur tak berhenti-henti keluar karena bibirnya terasa panas dan nyeri.

Bu Kur memaafkan kekhilafannya karena pengakuan Leli bahwa ia tidak tahu soal alerginya terhadap cabe. Padahal sebenarnya Leli tahu dan sengaja menaburi bubuk cabe di atas pizza yang berujung insiden bibir dower itu.

“Leli, kita ke ruangan kurikulum yuk, ada daftar hadir yang mau ditandatangani.” Fatma menggamit lengan Leli.

“Bisa diwakilikah?” Leli menepis halus tangan Fatma.

“Aiiis, mana bisa tanda tangan diwakili. Ini laporan kehadiran yang mau dibawa Bu Kur ke kantor walikota.” Ima berdiri dari kursinya sambil menyikut lengan Leli.

“Kamu masih merasa bersalah sama Bu Kur ya?” Fatma menatapnya prihatin.

“Kenapa merasa bersalah terus, kan kamu tidak tahu kalau Bu Kur alergi cabe.” Ima mengedipkan matanya menggoda Leli.

“Tetapi, kenapa ada pizza taburannya cabe bubuk ya?” Fatma bingung.

“Ah, sudahlah, berhenti bahas masalah itu. Leli tambah merasa bersalah.” Ima menyenggol lengan Fatma.

“Kalian duluan saja, sebentar saya menyusul.” Leli memotong pembicaraan kedua temannya itu.

“Yah, sudah. Kami duluan. Mau kutitipkan salam sayang kepada Bu Kur?” Ima menggoda Leli sebelum berlalu.

“Ha-ha-ha  mana berani dia?” Fatma terbahak.

Leli hanya cemberut sembari menatap punggung mereka.

 

Tak lama seorang pengatar paket masuk ke ruangan guru.

“Permisi, atas nama Bu Leli Arianti ada?”

“Saya Pak.” Leli berdiri menyambut  pengantar paket.

“Ini pesanan Ibu.” Sang pengantar paket menyodorkan paket makanan dengan sopan.

“Terima kasih. Bayarnya pakai saldo yang di aplikasi ya Pak” Leli menerima paket.

“Iya Bu, terima kasih.”

Perlahan Leli membuka paket itu. Aroma kue bolu menyeruak.

Semoga Bu Kur suka.” Suara hati Leli penuh harapan.

 

Siang itu Leli pulang sambil bersenandung. Hatinya lega sekaligus bahagia. Kue bolu yang dipesannya telah diterima dengan baik oleh Bu Kur.

“Saya kira pizza.” Bu Kur berseloroh, menggoda Leli.

“Aaah Ibu, saya minta maaf, waktu itu saya tidak tahu kalau Ibu alergi cabe.” Leli tersenyum jengah.

“Jangan diambil hati, saya cuma bercanda Bu Leli.” Bu Kur tersenyum.

Hm, cantik juga Bu Kur kalau sedang gembira. Beda kalau sedang marah, mukanya berubah seperti harimau. Aups, apa yang saya pikirkan ini.”  Leli menegur suara dari dalam hatinya.

Bukan maksud Leli menyogok Bu Kur dengan kue bolu, tetapi lebih kepada menebus kesalahannya. Biarlah rahasia tentang ketidaktahuannya soal alergi cabe itu  tersimpan aman di kalbunya.

Tidak semua hal mesti diungkap kebenarannya demi mendapatkan kata maaf. Kadang merahasiakan suatu keburukan jauh lebih baik agar hubungan dua orang manusia bisa harmonis.

Pura-pura saja tidak tahu atau sekalian melupakannya, karena melupakan hal buruk adalah anugrah yang tidak semua orang mendapatkannya.

Itulah yang diharapkan Leli juga Bu Kur.

 

Malam itu Leli menyiapkan makan malam sambil bersenandung.

“Bahagia sekali nampaknya, Dik.Tanda-tanda mau dapat rezeki ya?” Arya tersenyum melihat istrinya.

“Melihat kakak tersenyum dan sehat, itu rezeki berlimpah buat saya.” Leli membalas perkataan suaminya dengan melirik mesra.

“Apalagi kalau dapat amplop coklat kan?” Arya menggoda sambil menaruh amplop di atas meja.

“Masyaallah, sertifikasi kakak sudah cair?” Leli berseru dengan mata bersinar.

“Alhamdulillah.”

“Kebetulan sekali Kak, Pak Iwan sudah tiga kali mengirim surat cinta, hi-hi-hi.” Leli berseloroh menggoda suaminya.

“Ah, Pak Iwan tahu saja kalau si serti sudah datang, pasti surat cintanya langsung melayang. Untung bukan saya yang dikirimi surat cinta, ha-ha-ha.” Arya tergelak. Leli mencibir.

“Menyesal dulu waktu mau ambil kredit mobil pakai KTP dan nomor handpone saya. Sudah ah, kita makan dulu.” Leli menyodorkan piring.

Mereka menikmati makan malam dengan gembira. Sesekali diselingi dengan bercanda. Pasangan muda yang belum genap setahun menikah  itu menikmati masa-masa pacarannya.

 

Setelah dapur bersih. Leli meraih amplop coklat yang sedari tadi menggodanya. Ia membawa amplop itu bersama segelas air putih untuk Arya ke dalam kamar tidur mereka.

Amplop coklat dibuka perlahan oleh Leli. Arya mengamati dengan saksama sambil membatin. “Semoga Leli tidak mempersoalkan lagi potongan yang tadi pagi ia setorkan ke Pak Isman.”

“Lah, ini kurang Rp.300.000 ya Kak?”

Deg!

Hati Arya berdegup. Hati-hati ia menjawab.

“Setoran periode ini bertambah Dik.”

“Setoran kepada siapa, untuk apa Kak?” Sekuat hati Leli menahan kegusarannya.

“Ini kan hal yang sudah sering terjadi Dik, masa dipertanyakan lagi.” Arya mengusap lengan istrinya.

“Itu dia yang bikin saya tidak habis pikir Kak. Di sekolah saya, tidak pernah melihat atau mendengar adanya potongan sertifikasi yang berkedok setoran untuk sumbangan atau apalah itu.”

“Setiap sekolah kan beda-beda kebijakannya.” Arya masih mengusap lengan istrinya.

“Iya, kalau menyumbang untuk teman yang sedang kena musibah, atau sekedar memberi sedikit ucapan terima kasih kepada yang mengurusi surat-surat, itu biasa, dan saya yakin, kita ikhlas.” Leli menghela napas.

“Lah, di sekolah Kakak ini, langsung ditentukan sekian jumlah yang harus disetor setiap cair sertifikasinya guru. Terus yang terima itu siapa saja, dan berapa saja yang dibagikan?” Leli tak dapat lagi menahan kedongkolannya.

Arya hanya bisa diam. Bagaimanapun ia harus melakukan itu. Menyerahkan sejumlah uang kepada Pak Isman, guru yang bertugas mengumpulkan setoran.

Katanya, uang itu akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang telah mengurusi sertifikasi hingga sertifikasinya bisa cair dengan lancar.

Entahlah.

Sebenarnya sudah ada beberapa orang guru di sekolahnya yang pernah protes atau sekedar mempertanyakan, tetapi suara-suara itu hilang ditelan angin. Ditenggelamkan oleh suara yang lebih nyaring dan riuh.

Jika berada di lingkungan yang mayoritas menyetujui suatu keputusan, maka suara-suara sesumbang apapun akan menguap dengan sendirinya. Bahkan orang yang bersuara apalagi memprotes akan dianggap sebagai orang yang tidak peduli, syukur-syukur kalau tidak dicap guru pelit.

Begitulah.

Leli tahu hal itu, tetapi Leli tetap saja gusar, padahal kejadian seperti itu sudah menjadi kebiasaan lama di sekolah suaminya. Barangkali sudah ada sejak sekolah itu berdiri.

Arya merangkul istrinya, “kita ikhlaskan saja ya Dik, insyaallah rezeki kita akan ditambah oleh Allah Swt.”

“Entahlah Kak, saya tidak yakin bisa ikhlas.” Leli tersenyum sangsi.

“Saya yakin, teman-teman kakak ada juga yang punya perasaan seperti saya.” Leli menghela napas.

“Jangan berprasangka buruk Dik. Siapa tahu hanya kita yang kurang ikhlas. Eh, bukan kita, tetapi Dik Leli saja.” Leli memonyongkan bibirnya, gemas mendengar kalimat terakhir.

“Masalahnya, pembayaran kredit mobil kita kurang Kak!” Leli mencubit perut suaminya.

“Auh … Sakit Dik!” Arya meremas tangan istrinya.

“Ya sudaah, ambil saja tabungan untuk anak kita. Kabar kedatangannya kan belum pasti, tuh ia gugur lagi.” Arya menggoda istrinya.

Leli cemberut lagi dan refleks memegang perutnya.

Pembicaraan soal setoran sertifikasi malam itu berakhir dengan damai. Leli berusaha melupakan gugatannya kepada si serti, eh sekolah suaminya.

Ia paham itu bukan kebijakan sekolah, melainkan aturan yang tak punya dasar yang dilakukan oleh oknum. Sayangnya, oknum itu banyak dan mereka kompak.

Suaminya bisa apa. Hanya guru biasa yang tak punya jabatan, apalagi hanya guru baru di sekolah itu.

Krik … krik … krik …. gugatan Bu Leli menjadi uap tanpa disublim.

 

Catatan:

Jika ada nama, tempat, dan kejadian yang sama dalam tulisan ini, maka itu hanya faktor kebetulan saja.


Baca juga cerita guru berikut.

Tentang penerimaan siswa baru di sini

Catatan Hari Guru di sini

Tentang perjuangan guru mengajar daring di sini


13 comments

  1. gugatan Bu Leli akhirnya menguap ya Bu, sebuah realitas kehidupan yang emang banyak terjadi dalam kehidupan nyata juga

    ReplyDelete
  2. Sedih sekali yaa..
    Uangnya mungkin tidak begitu besar, tapi potongannya bikin guru gigit jari.
    Semoga Bu Lely dan keluarga senantiasa diberi kemudahan lainnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Penasaran kisah Bu Lely dan rekan-rekan seperjuangannya di sekolah untuk next chapter, Bunda..

      Delete
  3. Untungnya punya suami yang seperti air yang meneduhkan ketika hati ini panas

    ReplyDelete
  4. Kunjungan perdana,
    Ceritanya drama banget kak, hehe

    ReplyDelete
  5. Miris bacanya.. kebayang uang yang sangat dibutuhkan oleh orang lain, tapi seenaknya dipotong Ama yg atas2, demi dalih sumbangan, donasi ato apapun itu yg ga jelas :(. Kadang aku bener2 penasaran, orang2 yg suka menyunat dana begini, apa yakin bisa bahagia, uangnya ga berkah :(.

    ReplyDelete
  6. Ceritanya memang drama tapi banyak pembelajaran banget disana hehehe, aku juga dulu suka banget nulis cerpen kayak gini Mba, tapi udah lama nggak nulis hehehe

    ReplyDelete
  7. Mbakk kirim ke koran aja mba ceritanya mayan kalo dimuat dapet honor bagus soalnya

    ReplyDelete
  8. Hufft... Harus diikhlaskan ya, walopun berat.
    Begitulah kondisinya sekarang, langsung main potong, padahal bisa saja kebutuhan si penerima lagi banyak2nya.

    ReplyDelete
  9. Wah ini cerita bersambungkah?
    Kalau iya, berarti saya baru baca yang part ini aja.
    Praktek pungutan ilegal sudah pasti tumbuh subur jika ada pelaku dan pendukungnya. Semoga dihindarkan dari lingkungan yang begini dah...

    ReplyDelete
  10. Kalau aku udh gusar dr td mau buka amplop coklat hahhaha. Ak suka amplop. Tapi kl kurangnya sampe 300rb. OMG. Banyak jg ya. Udh bs dapat 2 kaleng susu bubuk.

    Tapi ya itu terjadi. So kt hrs hati2.

    ReplyDelete
  11. Pura-pura saja tidak tahu atau sekalian melupakannya, karena melupakan hal buruk adalah anugrah yang tidak semua orang mendapatkannya.

    Terima kasih untuk pelajaran berharga ini, Kak..

    ReplyDelete
  12. Jadi inget jaman ngajar dulu. Sertifikasi kami juga dipotong oleh yayasan. Bukan cuma buat yg ngurus sertifikasi, tapi seluruh yang ada di sekolah itu sampai ke OB pun dapat. Jadi kadang kita yg dpt sertifikasi, banyak di doakan sama yg ga dpt. Xixixi.. lah jadi curcol.

    ReplyDelete