Tantangan 20 Hari Menulis di Joeragan Artikel

Friday, June 5, 2020

 

Awal berniat mengikuti tantangan dari Joeragan Artikel, Menulis Blog Jadi Buku, saya  sangat yakin akan bisa menyelesaikan tantangan itu.

Namun, manusia tetaplah manusia yang sampai akhir zamanpun tak akan mungkin menentukan takdirnya sendiri. Makanya setiap merencanakan sesuatu, sekecil apapun itu kita diwajibkan mengucapkan kata  Insya Allah, jika Allah  mengizinkan.

Qadarullah, dua hari sebelum tantangan itu dimulai saya diberi “hadiah” oleh Allah SWT. Bonus istirahat hingga beberapa hari. Padahal saya yakin sekali, postingan hari pertama hingga hari ke 15 sudah ada drafnya, tinggal ditambahi sedikit agar memenuhi syarat, tulisan harus minimal 1000 kata. Gampanglah itu pikir saya.

Astagfirullah!

Alhamdulillah, hari ini saya sudah bisa membuka laptop dan mencoba mulai menulis. Draf-draf yang dimaksudkan mulai saya buka satu-satu, lalu saya putuskan memulainya dari postingan ini terlebih dahulu.

Apa yang harus saya  tulis di blog?

 

Tema Pendidikan

 

Insya Allah, memenuhi tantangan ini, saya memilih tema pendidikan. Tema yang memang telah lama menjadi bagian dari hidup saya. Namun saya khususkan pada satu bagian dari perjalanan karierku sebagai guru. Menjadi guru sekaligus kepala sekolah.

Alhamdulillah, saya  pernah berada di posisi tertinggi pada suatu satuan pendidikan, sekalipun hanya di sekolah swasta. Saya katakan “hanya” karena predikat swasta di Indonesia belum sekeren sekolah negeri.

Oh yah, sebelumnya saya mau cerita. Bahwa, saya  telah menjadi guru saat usia masih belia, setahun setelah tamat SMA. Saya  merasa ini cukup keren, setidaknya di saat remaja seusia saya  saat itu masih bersenang-senang dengan kuliahnya, saya justru  telah menjadi guru.

Saat gadis-gadis seusia saya  menikmati masa belajar tanpa perlu pusing memikirkan biaya kuliahnya, saya bahkan sudah berjibaku dengan tugas mengajar sekaligus tugas kuliah. Kurang keren apa lagi coba, ha-ha-ha.

Pertengahan tahun 1984 saya  sudah menjalani masa kuliah selama satu semester, dan saya merasa ilmu guru dan  ilmu mengajar  yang saya dapat selama satu semester itu sudah cukup untuk jadi bekal menjadi guru yang sebenarnya. Itu percaya diri atau nekad ya namanya?

Terserahlah, yang jelas saya  jadikan itu alasan untuk datang ke sekolahku dahulu. Kompleks Kapoposang namanya, di sanalah saya menamatkan sekolah tingkat pertama, SMP. Saya mengajukan lamaran kepada Ketua Majelis Dikdasmen Muhammadiyah yang menaungi sekolah itu. 

Daan saya  diterima!

Sejak hari itu, saya  resmi menjadi guru honor di Kompleks Kapoposang.

 

Kompleks Kapoposang


Jangan Sebut Saya Anak Kecil, Paman!

 



Mendampingi muridku praktik lapangan, tahun 1984. Ada yang bisa menebak, yang manakah saya?



“Kalian akan diajar Fisika oleh anak kecil itu, yang baru tamat SMA? Pastilah kalian akan semakin bodoh.”
 

Kalimat itu disampaikan oleh guru senior yang jam mengajarnya sebagian dialihkan kepada saya. Saya santai saja mendengarnya. Sedikit kecewa sebenarnya tapi tak sampai membuat saya  menangis apalagi bersedih. Itu adalah pantangan terbesarku

Tidak boleh menangis jika dipandang sebelah mata, justru itu harus dijadikan pecut  buat  mencemeti diri menjadi lebih maju, pesan bapak saya.

Hari pertama memasuki kelas, saya terpesona dengan wajah-wajah murid-murid. Mereka hampir seumuran denganku, hanya beda 3 hingga 4 tahun, bahkan ada yang seumuran dengan saya, mungkin dia terlambat masuk SD.

Keadaan itu cukup menguntungkan, kita hampir sefrekuensi, sedikit saja saya menurunkan frekuensi dan membujuk mereka menaikkan sedikit freuensinya maka pastilah kami sefrekuensi. Segampang itu.

Selama satu semester saya mengajar dengan sukses. Berhasil merebut hati murid-murid. Kami menjadi teman belajar, diskusi, sekaligus teman bertengkar.

Kabar baiknya, saat saya berjibaku belajar untuk mengajar,  nilai-nilai di perkuliahan  mendapatkan imbasnya.  Saya mendapat beasiswa.   

Sementara itu, guru yang merendahkan di awal mengundurkan diri. Mungkin ia tak tahan melihat saya yang sukses mengajar dan sukses pula merebut hati murid-murid. Kita kan seumuran maka wajarlah kalau mereka merasa dekat dengan saya.

Kalau ingat itu, ingin rasanya berkata seperti apa yang selalu diucapkan oleh Shiva di film karton dari India.

“Jangan sebut saya anak kecil, paman!”

 

Baca juga kisah saya, cerita guru

  1. Gagal Jadi Artis di sini
  2. Covid 19 Melanda di sini
  3. Ternyata Begini Rasanya WFH di sini 



Mau Tetap Mengajar di Kota Sebagai Guru Honorer atau Menjadi Guru PNS?
 


Dua tahun sudah saya menjalani masa pendidikan guru IPA di IKIP Ujung Pandang, Diploma II IPA nama programnya. Saya berhasil menyelesaikannya dengan cara yang seksama dan  dalam tempo yang sesingkat-singkatnya 🤣

Program pendidikan guru Diploma II waktu itu merupakan proram pemerintah era Presiden Soeharto. Semua lepasannya otomatis akan diangkat menjadi guru PNS. Sungguh beruntungnya saya.

Setelah wisuda, saya dan teman-teman berhamburan menuju papan pengumuman. Di sana sudah tertempel nama-nama lulusan lengkap dengan daerah tempatnya akan bertugas.

Saya dapat sekolah di sebuah desa yang tidak terlalu jauh dari kotaku. Namun, desa itu masih tergolong desa terpencil.

Ya Allah, itu berarti saya harus meninggalkan sekolah tempatku mengajar selama 1,5 tahun. Saya akan jauh dari orang tua dan keluarga. Berbagai pikiran berkecamuk.

SK pengangkatanku kulipat rapi dan menyimpannya di dalam map. Saya putuskan akan tetap mengajar di sekolah saya  yang sekarang, tak mau ke desa.

 

Hal itu berlangsung hingga satu semester. Bapak dan kepala sekolahku terus membujuk.

“Kalau kamu tetap mengajar di sekolah ini, maka seumur hidupmu akan terus menjadi guru honorer.” Kata kepala sekolah.

“Betapa bodohnya kamu Nak, banyak yang mau seperti dirimu, jadi PNS. Jangan menolak rezeki dari Allah.” Bujuk bapak.

Kepala sekolah sungguh sayang kepada saya, beliau memberi kelonggaran, saya dibolehkan mengajar 3 hari dalam sepekan, selebihnya  mengajar di sekolah baru.

Sejak saat itu, saya bolak balik dari kota ke desa. Minimal dua kali dalam sepekan.

Melakukan pekerjaan dengan hati terbagi dua tidak semudah menghirup udara pegunungan Bulusaraung. Saya lelah, gaji habis untuk biaya transpor, ditambah lagi, ada hati yang selalu menarik hati saya untuk selalu kembali ke desa, sekolah baruku.

Bismillah, saya memutuskan akan serius menjalankan kewajibanku mengajar di desa dan dengan berat hati saya  melepaskan sekolah lamaku, sekolah yang memberi saya  kesempatan mempraktikkan semua ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah.

Sekolah yang terus menarik saya ke dalam kenangan yang indah. Sekolah yang berada di dalam Kompleks Kapoposang.


Kompleks Kapoposang, Saya  Kembali

 

Menjadi guru di desa nyaris membuat saya lupa dengan kompleks Kapoposang. Sebuah kompleks perguruan Muhammadiyah yang berada di Kota Makassar.  Di mana di dalamnya terdapat tiga sekolah, seperti pada umumnya perguruan Muhammadiyah di Indonesia.

Perguruan Pendidikan Muhammadiyah di kompleks Kapoposang mewadahi SD Muhammadiyah 2, SMP Muhammadiyah 3, dan SMA Muhammadiyah 2.

Allah sungguh Maha Mengatur.

Tahun 1993, saya  pindah ke kota  kelahiran.  Kali ini saya sudah  tak sendiri. Saya pindah bersama keluarga kecilku. Di sebuah sekolah negeri, SMP Negeri 7 Makassar namanya.

Di sanalah saya mulai lebih fokus mengembangkan pengetahuanku, saya mendaftar kuliah lagi meneruskan Diploma duaku.

Tak cukup sampai di situ, saya  kembali ke sekolah lama, diminta oleh kepala sekolahnya yang masih setia di sekolah itu.

Kapoposang, saya kembali. Jadi guru honor lagi.

 

Bagaimana selanjutnya?

Nanti saya tuliskan di postingan berikutnya ya, doakan saya  sehat dan bisa menaklukkan tantangan ini. 

 


25 comments

  1. Alhamdulillah. Tetap semangat ya menulis untuk tantangan ini. Mari kita tuntaskan. Siip

    ReplyDelete
  2. Guru, salah satu cita-citaku dulu.. orang yang paling berjasa dalam membangun manusia di dunia. keren mba

    ReplyDelete
  3. stay safe and stay healthy everyone :D

    ReplyDelete
  4. Senangku baca kisah orang yang menikmati pekerjaannya sebagai guru, Kak. 😍

    Alhamdulillah. 😍

    ReplyDelete
  5. Semoga berhasil memenuhi tantangan mba.. kisahnya sangat menarik. Saya bahkan masih sd di tahun 1993.
    Kisah yang luar biasa..

    ReplyDelete
  6. Seru ya pengalamannya mengajar. Mungkin ada niat untuk dijadiin novel kak?

    ReplyDelete
  7. Emang sih saat kita disepelekan orang lain, rasanya malah jadi pecutan untuk membungkam mereka salah. Eh btw keren sih mba lulus SMA bisa ngajar fisika hehehe. Sehat2 ya cikguu.

    ReplyDelete
  8. Wah kayaknya seru mbaa. Aku jadi pengin menantang diri sendiri jugaa. MasyaAllah. Mudah-mudahan sukses menaklukkan tantangannya

    ReplyDelete
  9. Jadi rindu Makassar dan siswa SMPN 7 yang cerdas dan hormat pada gurunya. Saya penasaran ketika jaman masih awal mengajar dahulu, sedih dan sukanya bagaimana, apalagi tahun 84 saya batu lahir hehehe

    ReplyDelete
  10. Semangat kak. tantangan menulis itu sebuah seni yang keren. mengasah kita untuk terus produktif menulis. kamu pasti bisa kakak. ditunggu ya tulisan selanjutnya.

    ReplyDelete
  11. Emang kurang greget ya kak kalo hidup tanpa tantangan. Tantangan bikin kita terpacu dan beesemangat menjalani hidp

    ReplyDelete
  12. kisahnya menarik banget kak..bnyk pelajaran yg bisa sy ambil segala sesuatu kalau dikerjakan menurut kata hati dan passion akan membuat kita bahagia ya..

    ReplyDelete
  13. mantab benar jadi guru setelah tamat SMA kak, saya berdoa juga untuk pacar saya semoga bisa jadi guru juga. Dan untuk tantangan semoga berhasil ya kak

    ReplyDelete
  14. Saya pernah 2 minggu ekspedisi ke Pegunungan Bantimurung Bulusaraung, termasuk tinggal bersama masyarakat lokal di sana. Aduhhh, langsung jatuh cintaaaaa. Saya bisa mandi di sungai yg airnya jernih, meski itu kawasan karst. Saya lihat burung Julang setiap hari, lihat elang, dll, waaaaah jadi kangen saya. Wajar mba juga galau dulu yaaa. Tapi emang benar itu, ongkos transportnya berat. Syukurlah masa-masa ini sudah terlewati ya mba. Pastinya semua pengalaman mengajarkan kita banyak hal.

    ReplyDelete
  15. Aah... Jadi penasaran.lanjutan ceritanya bun!
    Segala sesuatu kalo dikerjakan dengan hati, hasilnya pasti akan maksimal. Tidak peduli berapa pun umur ta, muda atau tua.
    Sukses selalu bunda, sang guru idola.

    ReplyDelete
  16. Wah Bunda seangkatan sama kakak pertama saya, tahun segitu dia juga program pendidikan D2 dan lulus langsung menjadi guru PNs di SMP di dekat rumah orang tua saya
    Pengalaman yang sungguh menarik Bunda..ditunggu kelanjutan kisahnya ya

    ReplyDelete
  17. jadi guru itu paling banyak bermanfaat ya, mengajarkan semuanya sebenarnya. apalagi sudah jadi PNS jadi guru idaman lah

    ReplyDelete
  18. Semangat untuk tantangan menulisnya mbak. Terima kasih juga atas pengabdiannya, walau pun di daerah terpencil bisa jadi itu ladang pahala yang sudah disiapkan Allah untuk mbak. ^^

    ReplyDelete
  19. Perjalanan hebat dari seorang yang mendedikasikan ilmunya untuk mencerdaskan anak bangsa. Jadi penasaran lanjutanya...

    Sukses selalu ya bu...

    ReplyDelete
  20. 1984 ya Alloh Bu, kakak saya aja belum lahir. Ibu nampaknya seumuran ibu saya, salam hormat kepada ibu yang giat menulis di kehidupan nyata dan maya..u are so awesome bu, barakallahu fiik

    ReplyDelete
  21. Sayajuga ikut tantangan ini Bunda tapi tersendat hiks masih bingung soal tema buku jadi terhambat nulisnya.

    ReplyDelete
  22. masyaallah tulisan ini menebar semangat. Sungguh, saya malu sendiri rasanya. Saya merasa orang yang paling sibuk. tapi ibu masih semangat menulis. Terimakasih Bu.

    ReplyDelete
  23. keren sekali kakak Bunda.. penuh semangat dan inspirasi.

    ReplyDelete
  24. Sebenarnya jika berhasil melaksanakan tantangan 20 hari menulis tanpa halangan pasti suatu pencapaian yang luar biasa hebat menurutku.

    Tapi yang namanya musibah kita tak dapat memprediksi, aku pun termotivasi tuk menantang diri sendiri jika menulis dalam kurun waktu 20 hari,berhasil gak ya.
    Sukses ya kak

    ReplyDelete
  25. Wah...penulisannya ttg pengalaman jadi guru ya Bun. Semoga selesai ya artikelnya. Semangaat...Siap² dibukukan deh...

    ReplyDelete