Manajemen Stres Selama Pandemi dan Menuju New Normal
Lebih
dari setengah penduduk dunia stres akibat pandemi, demikian pernyataan yang
dirilis oleh GridHealth.id. Selanjutnya dituliskan, bahwa dalam survei yang
dilakukan American Psychiatric Association (APA) didapatkan bahwa 48% responden
dari 1000 orang dewasa di Amerika Serikat menyatakan kecemasannya tertular
virus corona. 36% responden mengatakan kalau virus corona berdampak serius pada
kesehatan mental, dan 59% menjawab efek corona cukup berat pada kehidupan
sehari-hari mereka.
Bagaimana
dengan penduduk Indonesia?
Sebagaimana
kita ketahui, Indonesia tak luput dari serangan virus corona. Bahkan hingga
menjelang pemberlakuan new normal, kita masih saja disuguhi berita tentang
peningkatan jumlah penduduk yang tertular virus corona.
Maka
tak heran jika dampak dari semua itu, menimbulkan kecemasan hingga mengarah ke
gejala stres. PPM-Manajemen merilis, 80% responden mengalami gejala stres selama
masa pandemi Corona yang bervariasi dari sedang hingga berat. Responden itu
terdiri dari 74% laki-laki dan 87% perempuan, 83% berstatus single, 82%
duda/janda, dan 78% menikah dengan kelompok usia yang bervariasi, mulai dari
usia 25 tahun hingga usia 55 tahun ke atas.
Hasilnya
cukup mengkhawatirkan.
Lalu
apakah yang dimaksud dengan stres itu? Mari kita kenali gejalanya.
Mengenali Gejala Stres
Stres menurut KBBI V adalah gangguan atau kekacauan mental
dan emosional yang disebabkan oleh faktor luar; ketegangan.
Stres diartikan pula sebagai reaksi tubuh ketika seseorang
menghadapi tekanan, ancaman, atau suatu perubahan. (halodoc.com).
Siapa
nih yang pernah mengalami stres hanya karena faktor sederhana? Misalnya,
gara-gara anaknya memecahkan gelas, emaknya stres. Atau bajunya belum
diseterika saat mau bepergian, stres. Bisa juga, stres gara-gara panci kesayangannya
gosong.
Hayo
ngaku …
Nah,
kalau anda mengakui pernah merasakan
stres hanya karena faktor receh itu,
berarti anda masih normal. Yang tak normal itu, kalau merasa baik-baik
saja, tidak stres tetapi selalu merasa gelisah, mudah marah, atau bahkan sakit
kepala, susah tidur, dan gangguan-gangguan fisik dan psikologis lainnya.
Kenapa
tidak normal?
Yap,
ia merasa tidak stres tetapi sangat stres tanpa ia sadari. Olehnya itu, penting kita mengetahui
gejala-gejala stres. Menurut
alodokter.com, terdapat empat macam gejala stres, yaitu:
- Gejala emosi (gampang marah, bingung, dan sebagainya.
- Gejala fisik, seperti lemas atau pusing
- Gejala kognitif, seperti sering lupa dan pesimis
- Gejala Perilaku, seperti malas makan, mengigit kuku atau berjalan bolak-balik.
80% yang mengalami gejala stres terbagi
atas dua, yaitu:
- Gejala Fisiologi terdiri dari gangguan fisik berupa pegal, otot tegang, sulit tidur/insomnia, dan sakit kepala.
- Gejala Psikologis berkenaan dengan psikologi: bersifat kejiwaan berupa cemas, khawatir, mudah marah, selera makan meningkat/menurun.
Nah,
kalian berada di mana?
Jangan
sampai berada di salah satunya ya? Kalaupun ada, yuk kita kelola rasa yang
pernah ada dengan manajemen stres bersama INSIGHT Indonesia.
Coaching Manajemen Stres Oleh Insight Indonesia
Coach
Ochy; “Stres jangan dihindari tapi
hadapi!”
Kalimat di atas langsung bikin saya jleb. Kenapa? Kamu tersinggung?
Yah,
begitulah adanya. Kadangkala merasa diri ini tidak stres, tetap tenang, gembira
padahal sesungguhnya stres, hanya saja saya tidak menyadarinya atau bisa
jadi tahu tapi menolak mengakui kalau lagi stres.
Kesadaran
itu muncul saat mengikuti group coaching oleh tim coach Insight Indonesia yang
dimotori oleh coach Ochy. Kalimat coach Fauziah Zulfitri yang biasa dipanggil
coach Ochy itu betul-betul bikin jleb, menusuk ke hati tapi sekaligus menyadarkan
diri, kalau saya dan teman-teman yang dicoaching secara online melalui aplikasi
zoom memang sering sekali mengalami suatu situasi yang bikin stres.
Alhamdulillah,
saya mengikuti sesi group coaching kemarin.
Sekalipun hanya melalui aplikasi zoom, beda dengan sesi coaching sebelum, di
mana kita langsung bertatap muka dengan coach Ochy dan peserta lain.
Namun
demikian, manfaat yang dirasakan tak kalah besarnya.
Bagaimana pengalaman mengikuti coaching game, exploring and sharing menggunakan metode Points
of You oleh Insight Indonesia? Silahkan baca di sini.
Ada
empat orang coach yang menjadi fasilitator dalam sesi ini, yaitu Fauziah
Zulfitri disapa coach Ochy, Yenni Ramli, Jihan Afandi dan Fransiska Amir.
Kelompok Kecil Choacing
Setelah
sesi pembukaan oleh coach Ochy, sesi selanjutnya dilakukan secara berkelompok.
Sesi
kelompok saya dicoaching oleh kak
Fransiska Amir yang juga disapa dengan kak Chika.
Proses coaching berlangsung seru. Masing-masing peserta di kelompok kami itu bervariasi bentuk-bentuk stresnya. Tapi inti dari semuanya adalah, kami menyadari bahwa kami pernah mengalami stres, terutama dalam masa pandemi ini.
Dari hasil coaching saya bisa menyimpulkan, bahwa kita semua pernah mengalami stres terutama selama
masa pandemi ini. Mungkin stres karena terlalu lama di rumah saja, seperti saya yang
biasanya bekerja diluar rumah, bisa juga karena informasi-informasi yang tidak
sehat, atau berbagai hal lainnya.
Namun,
tidak berarti tidak ada hikmah yang bisa dipetik. Karena toh pada ujungnya kita
akan menyadari bahwa pandemi sudah menjadi takdir dan tidak selamanya memberi dampak
buruk. Banyak hal positif yang bisa
dipetik selama kita mau menerimanya dengan sabar dan bersyukur.
Setidaknya
itulah yang bisa saya dapatkan ketika proses coacing berakhir.
Adaptif Versus Maladaptif
Setelah
semua peserta kembali berkumpul, coach Ochy menyapa dengan senyum khasnya.
“Bagaimana
nih hasil bincang-bincangnya dari masing-masing kelompok?
Saya
menjawab sesuai suasana hati saat itu, hati saya plong.
Apakah
sebelumnya, hatimu galau dan stres Dawiah? Mungkin ada yang bertanya begitu.
Yap,
saya baru sadar kalau beberapa hari ini, fisik saya melemah, sering sakit
kepala, pusing dan saya tidak menyadarinya kalau sebenarnya saya lagi stres,
kemudian saya melakukan upaya mengatasinya dengan cara tidak baik.
Sehubungan
dengan tindakan saya itu, coach Ochy menjelaskan bahwa, banyak orang yang menyadari
kalau dia lagi stres kemudian berusaha mengatasinya sendiri atau coping
stress tetapi dengan cara maladaptif.
Selanjutnya
coach Ochy menjelaskan bahwa coping stres dengan adaptif, adalah upaya
yang efektif dalam mengatasi sumber stres dan dapat membantunya dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Bisa berupa self help, approach, dan accommodation.
Sedangkan maladaptif adalah upaya yang kurang efektif
dalam mengatasi sumber stres dan bisa jadi justru menambah stres akibat
timbulnya masalah baru. Bisa berupa avoidance dan self-punishment.
Terdapat
tiga hal buruk yang ditimbulkan oleh
maladaptif, yaitu:
- Merusak diri sendiri, seperti sakit fisik, pusing, tidak bisa tidur, malas makan atau bahkan terlalu rajin makan. Oh yah, terlalu rajin makan juga tidak baik karena bisa menimbulkan stres baru, stres karena berat badan naik terus. Eits, sepertinya itu saya 😂
- Merusak hubungan dengan orang lain, menjadi curiga dengan orang sekitar
- Tidak produktif. Tidak produktif bukan melulu soal pekerjaan, tetapi bisa jadi hubungan yang tidak bagus dengan orang sekitar, dengan teman kerja, dengan anak, bahkan dengan pasangan, isteri atau suami.
Kabar
buruknya, 1 dari 3 responden cenderung mengatasi stres dengan coping maladaptif,
dan bentuk maladaptif yang paling banyak dilakukan adalah menyalahkan pihak
lain yang dinilai memperburuk situasi.
Menuju New Normal
New
normal adalah kata-kata yang akrab di telinga kita akhir-akhir ini. Hal itu tak
lepas dari keadaan yang dialami selama masa pandemi. Keadaan yang mengharuskan kita melakukan kerja
di rumah saja, tidak berkumpul, sedapat mungkin menghindari keluar rumah kecuali
untuk kebutuhan mendesak, anak-anak tidak ke sekolah, sering-sering mencuci
tangan, dan memakai masker, serta berbagai hal baru lainnya.
Setelah
kurang lebih tiga bulan kita berada di situasi itu, saatnya kita dihadapkan
pada situasi untuk menerima keadaan lalu berusaha kembali ke kehidupan yang
normal.
Sebagian
masyarakat mungkin bisa menerima itu sebagai kabar yang baik dan disambut
dengan senang-senang lalu menjadi abai.
Sebagian
lainnya mungkin justru semakin cemas dan takut. Berbagai pikiran buruk
berkecamuk, apakah keadaan akan sehat seperti sediakala? Apakah pandemi ini
betul-betul sudah hilang, dan sebagainya.
Kedua
sikap itu adalah sikap yang kurang baik, karena bisa jadi yang bersenang-senang menerima kabar
itu adalah bentuk pelampiasan stresnya. Sedangkan yang cemas sudah pasti
mengalami stres.
Manajemen Stres untuk Menyambut New Normal
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, bahwa manajemen stres yang baik adalah dengan cara
adaktif tak perduli di situasi manapun kita berada.
Maka cukup
penting mengetahui coping (mengatasi)
stres secara adaptif yang dilakukan oleh responden selama pandemi sebagai referensi
bagi kita menuju new normal.
Terdapat
83% responden melakukan coping stres dengan mengungkapkan perasaan yang
sesungguhnya. 78% meyakini bahwa ada hikmah di balik pandemi ini, 73% menjaga
kesehatan, 34% meningkatkan kemampuan, 32% mencari dukungan emosional, dan 25%
membantu penanggulan wabah.
Melihat
jawaban responden tersebut di atas, berada di manakah kita?
Yang
pasti hasil dari program Group Coaching INSIGHT Indonesia, di grup saya dan
hampir semua peserta sepakat bahwa, pandemi ini tidak untuk diratapi, disesali,
apalagi disumpahi karena di balik peristiwa ini pasti ada hikmah yang bisa
dipetik.
Bagaimana
bentuk hikmah itu? Tentu saja bergantung kepada masalah dan keadaan masing-masing. Tetapi satu
jawaban pasti, menghadapi keadaan pandemi
ini sekaligus menyambut new normal adalah dengan tetap bersyukur dan bersabar.
Karena
itulah jawaban akhir dari setiap masalah, seberat apapun masalah yang dihadapi.
Seperti
kata coach Ochy, masalah atau stres bukan untuk dihindari melainkan dihadapi dengan
cara yang adaptif.
Terima
kasih INSIGHT Indonesia, terima kasih coach Ochy (Fauziah Zulfitri) dan para
fasilitator, Yenni Ramli, Jihan Afandi, dan Fransiska Amir. Semoga saya dan
teman-teman bloger Makassar bisa bergabung lagi dalam program INSIGHT berikutnya.
Sumber dan Referensi Survey: CHDC PPM Management, 2020
Wah, keren tulisannya Bunda, menarik sekali materinya ya bisa belajar ki gimana mengatasi stres yang bahkan kurang disadari ternyata kita alami..
ReplyDeleteSuka deh dengan semangatnya bunda selalu berusaha mengisi "jiwa" dengan hal positif seperti ini.
ReplyDeleteUsia buka halangan untuk terus aktif belajar yaa bunda.
Seru ya kak ijut coaching ini, setelah itu rasanya plong. Hati senang.
ReplyDeleteSelamat datang New Normal, iam sorry goodbye stress, kita sudah siap meminimalisir stress dengan berbagai upaya pengalihan untuk jiwa dan kehidupan yang lebih sehat dih bunda. Sharingta ini semakin membawa aura positif, alhamdulillah...
ReplyDeleteseru banget kak kegiatannya, saya jadi tau nih gimana ngatasi stress. karena usia usia seperti saya ini rentan banget mengalami stress dan harus cepat tau dalam penanganannya,
ReplyDeleteWah penting banget memang manajemen stres menghadapi new normal. Tak bisa dipungkiri pasti kita pernah merasa jenuh atau bosan, dan menolak mengakui stres. Menohok banget, stres bukan untuk dihindari, tapi dihadapi. Nice sharing :)
ReplyDeleteArtikel yang sangat bermanfaat. Di masa new normal ini, banyak orang yang bingung dengan apa yang harus dilakukan.
ReplyDeletejadi banyak orang yang butuh pencerahan. semoga bermanfaat
Era new normal agak mending sih, meskipun kurva belum juga datar, tapi gejala psikosomatis kayaknya gak muncul karena bebas keluar meski tetap jaga protokol kesehatan.
ReplyDeleteTapi tetap juga mengatur agar stres tak muncul amat penting, meskipun nanti pandemi sudah berakhir.
Kalau dibandingkan dengan kondisi awal pandemi, saat pasien positif baru dua, rasanya new normal ini malah jadi ajang ketidakpercayaan masyarakat dalam penyakit covid19. Malah ketakutan saya jadi dua: ya takut penyakitnya, sama takut ketidakpedulian masyarakat pada protokol pencegahan.
DeleteTulisan yang hadir untuk jiwa nih
ReplyDeleteTerimakasih sudah menuliskannya dengan lengkap mbak
Aku ikut belajar banyak
Semoga pandemi ini segera berlalu dan kita semua diberi kesehatan lahir batin
Yupz bener kak. Stress itu dihadapi jgn dihindari. Intinya jangan lari semakin lari semakin di kejar yaaa bersa hantu ja deh wkwkwk
ReplyDeleteEfek Corona memang luar biasa, gak hanya menyerang kesehatan fisik, tapi juga mental. Banyak yang mulai stress berhubungan dengan si Corona ini, ada yang takut tertular, ada yang gak bisa menafkahi keluarga lagi karena kena PHK, ada yang bisnisnya gulung tikar, dan berbagai permasalahan lainnya.
ReplyDeleteAda juga emak-emak yang stress karena tupperwear-nya ilang atau rusak, buahahahaha...
Very nice sharing...
Kalau tupperwear rusak apalagi hilang, pasti streslah Mas 🤣 Jangankan di saat adanya pandemi ini, situasi normal saja bisa bikin stres. Oh tupperwearku
DeleteAku pun merasa tertabok-tabok mba dengan kalimat stres itu dihadapi bukan dihindari. Bagaimanapun stres itu harus dimanajemen dengan tepat agar output nya juga baik.
ReplyDeleteKapan ini ada lagi mbak? Jika ada informasikan di grup BW ya.
ReplyDeletePandemi ini memang buat stres, karena ada kebiasaan baru yang rasanya aneh untuk dijalankan
ReplyDeleteBetul mbak, ditengah pandemi yang sedang dialami oleh negara ini, stress menjadi hal yang biasa dialami oleh masyarakat sekitar. Sekarang tinggal kitanya saja yang harus bisa menghadapi situasi stress tersebut agar bisa kembali hidup normal.
ReplyDeleteWah penting bnget nih ya manajemen stress ini jng samoe tubuh kita habis karena stress yg tdk bisa kita kelola dng baik..terima kasih sharingnya kak..
ReplyDeleteJadi inget kata psikolog. Kalau manusia tuh punya 2 jurus ketika stres menghampiri. Kalau ngga lari ya dihadapi. Thanks for sharing kak
ReplyDeleteSaya merasa, kadang stress sendiri. Tidak puas dengan kondisi. Tak lama kemudian biasa lagi, seakan rasa tadi tak pernah ada.
ReplyDeleteIni normal nggak, ya....
Kok jadi ingin ikut acara kayak gini.
Nah bener nich..saya stress jadi banyak makan dan berat malah naik.. badan yang berat (kegemukan) menjadi sulit bergerak lincah dan membuat pinggang jadi sakit
ReplyDeleteIya banget tuh. Disaat saya ngerasa stres dan ngaruh ke fisik dan psikis saya nggak mau berlarut-larut. Kalau keadaan sulit kita ubah, maka diri ini yang harus segera beradaptasi.
ReplyDeleteNice share ini Mba Dawiyah... saya kemaren ikutan webinar jg temanya Menjaga Well-being melalui exercise agar tubuh tetap bugar selama PSBB. Salam sehat selalu ya
ReplyDeletePerempuan mah stresnya bisa hilang dengan bercerita. Jadi butuh banget suami, teman, atau sahabat yg mau mendengarkan ceritanya lengkap. itu aja udah membantu banget. Hehehe. Wajarlah inline dengan hasil coachingnya mba.
ReplyDeletePerlu baca nih biar siap menghadapi stress di masa pandemi seperti saat ini
ReplyDeletegak cuma panci gosong yang bikin stress bunda, pegangan panciku patah aja aku bisa pusing hehe, apalagi lihat mainan anak berserakan *loh kok malah curhat. Wah tulisan ini harus diresapi dalam agar tetap hepi di masa pandemi new normal ini :) Semoga sehat selalu ya Bunda :)
ReplyDeleteberkat join coaching stress jadi tau tentang coping stress dimana sekarang bisa mengendalikan stress dan emosi akan diarahkan kemana ya mba.
ReplyDeleteWah banyak makan termasuk stress ya bun. Atuh kumaha aku jg jadi rajin ke dapur selama pandrmi ini..ya masak ya makan😂
ReplyDeleteIni penting banget buat saat ini kak... stres makin menjadi ancaman sehari-hari. Coping stress dg cara curhat beneran ngefek, meskipun sama-sama tahu bahwa curhat pun ya nggak selalu dapat solusi. Tapi memang ngefeknya buat melegakan pikiran.
ReplyDelete