Sepatutnya Kita Saling Mengenal

Saturday, September 10, 2022


 Sepatutnya Kita Saling Mengenal
 

Sudah 31 tahun saya menjadi ibu dan selama itu pula saya merasa sangat mengenal anak-anak saya. Kenyataannya sekadar tahu namanya saja, mengenal ciri-ciri fisiknya dan kebiasaan-kebiasaan masa kecilnya. Selebihnya, saya merasa mulai tidak mengenalinya.

 

Satu persatu anak-anak beranjak dewasa dan dalam proses pendewasaan itu mereka menemukan banyak hal baru yang tidak mereka dapatkan dalam keluarga. Mereka menemukan pengalaman-pengalaman baru, bertemu dengan orang-orang baru dan mulai bisa “melupakan” orang tuanya sekadar untuk bertanya, warna baju apa yang cocok dipakainya saat mau ke kondangan.

 

Sederhana, tetapi itu kadang menorehkan sedikit luka di hati. Luka yang seharusnya tidak boleh ada. Semacam goresan silet di kulit paling tipis di sudut-sudut kuku. Cukup dipijit, luka itu pun akan sembuh. 


Namun, jika terus-terusan tersileti maka luka bisa berhari-hari. Terlalu lebay, saya pikir, tetapi itulah yang terjadi di sudut hati ini manakala teringat masa kecil mereka. Masa-masa manis yang menghangatkan hati tatkala ingatan itu menyeruak. 

 

Saya mencoba menampik kerinduan akan masa itu. Ketika suami mengatakan kerinduannya, kutepis dengan kalimat, “mereka sudah besar, sudah tidak “membutuhkan” kita lagi. 


Beri mereka kesempatan melukis sendiri kanvas kehidupannya.” Nyatanya, saya pun memiliki rasa yang sama, saya hanya mencoba menghiburnya lebih tepatnya menghibur diri sendiri.

 

Kemarin suami bertanya, “apakah anakmu yang di luar pulau pernah menelponmu akhir-akhir ini?”


Dengan tegar kukatakan, “jangan repotkan mereka dengan minta dihubungi terus.”


Sembari berpikir, “iya yah, mereka tidak menghubungiku, apakah mereka telah lupa?”


Lalu saya tertawa, menertawakan pikiranku sendiri. 

Ia merangkulku sambil berkata, “hush,  cup … cup …cup.” 


Sebal kan? Dia tahu kalau tentang anak, saya sering berbohong, membohongi diri sendiri. 

 

Semalam saya terbangun, tiba-tiba ingatan saya kembali ke masa lalu. Saat pertama kali merasa bahwa nasihat orang tua adalah sesuatu yang menyiksa, merenggut kebebasanku dan mengekang pikiranku.

 

Kemudian di usia 25 tahun, bapak menyerahkan tanggung jawabnya atas diri saya  kepada orang yang baru dikenalnya, bukan keluarga, bukan kerabat, tetapi  yang beliau yakini bisa menjaga saya hingga akhir hayat.

 

Itu berarti hanya 25 tahun saya hidup bersama mereka dan hanya kurang lebih 17 tahun, saya bergantung kepada mereka, karena selebihnya, saya merasa memiliki kehidupan sendiri, pikiran sendiri dan lebih sering mengambil keputusan sendiri. 

 

Sekalipun begitu, saya masih seorang anak buat mereka. Masih sangat membutuhkan bapak dan mama di saat-saat genting dalam perjalanan kehidupan saya. Saat sedih, saat susah, sakit, hamil, melahirkan, menyusui dan sebagainya. 


Kata  “mamaaa..”  selalu spontan keluar dari bibir saya saat tersentak, kaget, kesakitan bahkan saat saya sangat bahagia.

 

Bapak sudah lama meninggal dan separuh hidupnya ia habiskan sebagai bapak buat anak-anaknya.  Saya pun meradang, kenapa dahulu saya kurang menghabiskan waktu bersamanya, padahal ia telah mengorbankan masa mudanya demi menciptakan kesenangan buat saya dan adik-adik.  

 

Saya meradang, kenapa tidak menggunakan waktu singkat itu untuk membuatnya bersenang-senang, kenapa kami tidak saling melepaskan tameng sebagai bapak dan anak lalu menghadirkan diri sebagai pribadi yang utuh lalu kami saling mengenal dan saling memahami satu sama lain agar dapat berbagi bahagia bukan sebagai anak dan bapak semata, melainkan sebagai manusia seutuhnya. 

 

Kenapa saya tidak memeluknya erat-erat, kenapa harus malu menelungkupkan wajah dalam pangkuannya sebagaimana dahulu sering saya lakukan ketika masih kecil. Ia telah pergi sebelum saya menyadarinya. Sudah terlambat.

 

Kesempatan itu sudah tidak ada lagi buat saya dan bapak, tetapi saya masih punya kesempatan buat mama, buat anak saya, suami saya, saudara-saudara saya dan semua orang yang ada dalam kehidupan saya.

 

Ibu saya sekarang berusia sekitar 82 tahun, itu karunia yang tidak semua orang miliki karena dengan begitu ia “terpaksa” menyaksikan segala perubahan pada anak-anaknya lengkap dengan konflik batin yang menyertainya. 


Diam-diam saya mengamatinya dan semakin menyadari kalau ia selalu kesepian. Ia hidup dengan kenangan-kenangan dan mungkin kenangan itu sudah tidak utuh lagi. 


Tak bisa disangkal, itulah konsekuensinya hidup lebih lama dan terpaksa berada dalam situasi seperti itu. 

 

Saya tidak kuasa mengubah situasi itu, sekalipun mau berjuang melakukannya.


Namun, setidaknya saya selalu berinteraksi dengannya dan merasa telah menempatkannya sebagai manusia seutuhnya. Ia adalah ibu saya, manusia yang memiliki cinta tertinggi saya selain suami dan anak-anak.

 

Pagi ini saya mencoba meyakinkan diri, bahwa kelak, entah kapan, saya pun akan berada di situasi ibu yang sekarang. Mungkin saya akan sendiri atau mungkin berdua dengan suami, yang pasti kami tidak tahu siapa di antara kami yang lebih dahulu terbebas dari rasa sepi itu. 

 

Apabila masa itu tiba, mungkin saya tidak bisa lagi menuliskannya sebagai bentuk pelampiasan seperti yang selama ini saya lakukan, karena itu saya menuliskannya sekarang.


Bukan meramal nasib, tetapi menyiapkan jiwa raga, karena saya yakin, masa itu pasti akan datang. Bukankah tanda-tandanya sudah mulai muncul sedikit demi sedikit? Bukankah itu peringatan buat diri ini untuk secepatnya berbenah dalam menata hati? 

 

Sejatinya kita saling memahami, bahwa kita adalah manusia seutuhnya tanpa tameng yang menutupi hal-hal baik dan indah dari sisi diri kita masing-masing. 


Bahwa, pada dasarnya manusia itu memiliki fitrah di dalam dirinya, saya, kamu dan semua yang ada di sekitar kita, masing-masing mengusung kefitraannya sendiri. 

 

Maka sudah sepatutnya kita saling mengenal, melepaskan topeng dan membangun kepercayaan diri bahwa, orang-orang di sekitar itu adalah baik, tergantung dari sudut pandang kamu menilainya.


Kalaupun ada yang jahat, maka kejahatannya itu bukan untuk kita, tetapi untuk dirinya sendiri. Mari berkontemplasi demi kesehatan jiwa raga kita.


 

Sekian

Makassar, 10 September 2022

 

Dawiah

 


8 comments

  1. Terharu bacanya Mbak. Betapa cepat waktu berlalu, anak-anak tanpa terasa tumbuh dewasa. Dan perasaan kasih sayang seorang ibu tidak akan berubah sepanjang masa

    ReplyDelete
  2. Bentul bunda, kadang kurang mengenali diri sendiri sampai-sampai orang lain yang mengingatkan ya

    ReplyDelete
  3. Subhanallah ibu usianya 82? Panjang umur sekali. Di keluarga besarku, eyang bude pakde rata-rata meninggal di usia 70an. Sehat-sehat ya mbak dan keluarga

    ReplyDelete
  4. Iya kebayang ya orangtua kita anak-anak jauh tinggalnya, jarang dihubungi, duh jadi merasa bersalah dan sedih aku Bunda terima kasih remindernya ya semoga kita semua selalu diberikan kesehatan aamiin

    ReplyDelete
  5. MashaAllah~
    Sehat selalu untuk Ibunda Bunda yaa..

    Aku baru paham perasaan seorang Ibu.
    Dan rasanya asti rindu berat terhadap anaknya.. ingin ditelp tapi takut anaknya sedang sibuk.
    Ini jadi bahan evaluasi aku buat rutin menjadwalkan telp Ibu dan Mama mertua agar paling tidak "srawung" (kalau bahasa Jawa, yang artinya jalin silaturahm, saling memberi kabar)

    Haturnuhun Bunda sudah diingatkan.
    Semoga masih terus bisa memeluk Ibuuuu...

    ReplyDelete
  6. Haduh makin sedih baca ini pas selesai nonton Miracle in Cell No 7. Kebayang juga kalau dedek nanti besar dan enggak butuh saya. Kepikiran juga sama emak yang sering kupanggil saat sedang kalut, meskipun kami jarang ketemu karena udah beda kota..

    ReplyDelete
  7. luar biasa, 31 tahun bukan waktu yang sebentar jadi seorang ibu. Mengasuh, mendidik dan membimbing mereka. mengajarkan makna hidup dengan penuh cinta. tentu jadi perjuangan yang luar biasa

    ReplyDelete
  8. Bagus tulisannya mbak, mengingatkan saya juga. Ibu saya jg usia 82 dan tinggal bersama sy. Tapi memang semua ada masanya. Dan jika sebagai orang tua kita telah mendidik atau mencontohkan, insya Allah anak tidak akan melupakan rumahnya sendiri

    ReplyDelete