Bukan Ilmu Parenting

Friday, September 2, 2022

 




Bukan Ilmu Parenting

Saat  anakku melakukan hal yang tidak kusukai reaksiku spontan meradang, serasa ingin menerkamnya dan memasukkannya lagi ke dalam rahimku. Untungnya, saya bersuamikan seorang yang penyabar, tenang dan tidak suka grasak grusuk.

Sedikit banyaknya, sikapnya itu memengaruhi sikapku sehingga tidak benar-benar meradang dan mengamuk bagai banteng yang terluka. 

Darinya saya belajar menekan amarah walau sesekali saya kecolongan juga. Kemarahan saya meledak, memengaruhi seluruh sel-sel syarafku dan memicu tekanan darahku. 

Ajaib, tekanan darahku malah menurun, lebih tepatnya kena  penyakit tekanan darah rendah yang mengakibatkan kepalaku sering sakit dan pusing. Hampir tiap pekan saya menikmati bintang-bintang yang berpendar mengitari bola mataku. Jangan dikira saya gembira melihat bintang-bintang itu, saya pusing dan setiap kali ingin menangkap pendarannya setiap itu pula saya muntah.

Cukup lama saya merasakan hadiah dari-Nya itu. Lagi-lagi karena kehadiran suami yang penyabar, saya disadarkan pada suatu kenyataan, bahwa anak tetaplah anak yang memiliki jiwa dan perasaannya sendiri. Orang tua hanya menjadi tempat untuk dititipi amanah oleh-Nya.

“Kita tak bisa masuk ke dalam relung kalbunya, biarkan Allah yang mengubah perasaannya, cukuplah kita berdoa dan memohon agar hatinya dibalikkan oleh Allah Swt. Apa sih yang tidak bisa dilakukan oleh-Nya?”


Anakmu Adalah Ujian Buatmu


Menjadi ibu dengan  bekal ilmu pengasuhan anak  yang minim membuat saya mendidik anak berdasarkan insting semata.

Latar belakang keluargaku yang mendidik anak dengan keras sedikit banyaknya memengaruhi caraku mengasuh mereka. Saya tumbuh di tengah-tengah keluarga dan lingkungan yang keras. Bagaimana saya melihat langsung nenekku yang menjadi guru mengaji menggunakan rotan untuk memukul jari-jari anak mengajinya, manakala tak bisa mengeja huruf Hijaiyyah. 

Juga kerasnya guru-guruku di zaman dahulu, memukul betis murid-muridnya hanya karena tidak bisa menghafal perkalian.

Dan, ketika mendapati anakku beberapa kali bolos tidak masuk mengaji padahal setiap hari ia minta izin pergi mengaji, maka tanganku tak bisa diajak kompromi untuk tidak menghukumnya. Atau ketika salah seorang anakku bersuara keras karena lelah ditanyai terus, maka suaraku naik sepuluh oktaf dari suaranya.  Mungkin itu titisan ajaran yang keras dari lingkungan

Sisi lain dari sikap bapakku yang keras adalah sikapnya yang demokratis dan terbuka untuk dikritisi. Lagi-lagi anak adalah pencontoh yang piawai, karena tanpa disadari sikap bapakku itu saya contoh dan menerapkannya dalam keluargaku.

Bagiku tak mengapa anak-anak memprotes kebijakan yang telah saya tetapkan dalam keluarga asalkan ia bisa memberi alasan yang tepat.  Maka tidak heran anakku tumbuh menjadi anak yang berani mengkritisi mama dan bapaknya, dan mereka terbiasa menolak sesuatu jika mereka tidak suka.

Si sulung yang pertama kali merasakan didikan keras titisan dari bapakku. Kadang  ada rasa penyesalan menyelusup dalam hati tatkala membaca buku parenting atau artikel tentang pengasuhan anak.

Beribu-ribu kata tertulis menyuarakan nasihat dan tips-tips menjadi orang tua yang baik buat anak-anaknya. Namun, sedikit sekali dari nasihat itu yang pernah saya gunakan. Gaya pengasuhan saya dan suami mengalir begitu saja. 

Misalnya, saya tidak  segan-segan marah dan membentak jika anak saya menumpahkan susunya di sembarang tempat. Sudahlah itu mubazir, bikin capek pula membersihkannya. 

Padahal menurut teori ilmu parenting, itu tuh tidak baik dilakukan. Jangan dibentak, cukup ucapkan, “pelan-pelan ya Nak, susunya jangan ditumpah, ayo dibersihkan.”

Yah, begitulah. 

Tinta terlanjur digoreskan, mungkin warnanya hitam, tetapi bisa jadi warnanya berubah menjadi warna merah, kuning, kelabu dan menjadi hiasan yang indah dalam perjalanan kehidupan anak-anakku kelak.

Saya hanya bisa berdoa yang terbaik buat mereka.

Anak memang anugrah dan amanah dari Allah, tetapi anak juga merupakan ujian buat orang tuanya. Salah sedikit mengajarakan nilai-nilai maka akan fatal akibatnya.

Salah satu yang saya syukuri sebagai anak dari bapakku yang keras mendidikku soal agama, adalah saya pun menjadi keras dalam mendidik anak-anakku jika  sudah berhubungan dengan agama, nilai-nilai dan norma-norma. 

Tujuanku baik, tetapi mungkin caraku salah.

Seperti waktu itu, seseorang mengajarkan si sulung untuk menyebutkan kata-kata ejekan kepada saya. Usia si sulung saat itu masih 2 tahun. Padahal saya sudah memperingatinya untuk tidak mengajarkan hal buruk kepada anakku.

Tetapi orang itu bebal dan terus saja mengulang-ulang.

Ayo, katai mamamu tai lala jappo.” 

“Ayo, ejek mamamu tahi lalat busuk.”


Karena terus-terusan diulang akhirnya keluarlah kata ejekan itu dari mulut kecilnya. Dan secara refleks saya  menjentik mulut anakku. Orang bodoh itu terkesiap. Mungkin di pikirannya, saya tidak mungkin melakukan itu.

Namun, itulah yang terjadi. Bagiku, tiada maaf buat seorang anak yang berani mengejek orang tuanya apalagi itu ibunya, seburuk apa pun fisik atau kelakuan orang tuanya.

Saya menyesal telah menyakiti fisik anakku, tetapi saya akan lebih menyesal seandainya waktu itu saya membiarkannya saja karena bisa jadi di masa yang akan datang anakku  tidak segan lagi mengejek orang tuanya. 

Saya yakin, kejadian itu tersave dengan baik dalam memori anakku, sebab sejak saat itu dia tak pernah mau mengejek orang lain apalagi mengejek orang tuanya. Dan, ia mengajarkan hal itu kepada adik-adiknya.

Anak adalah ujian, sebab darinya kita belajar banyak hal agar bisa naik kelas dan menjadi orang tua yang lebih baik.

Saya pasti  belum menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku, tetapi saya selalu berusaha ADA untuk mereka. Minimal melangitkan doa untuk kesuksesannya dunia akhirat.

Saya menyadari, menjadi ibu dengan latar belakang didikan yang keras dari keluargaku membutuhkan usaha yang keras dalam belajar menahan diri, belajar menahan emosi yang meledak-ledak dan terutama belajar menjadi ibu yang sabar. 

Tidak ada tips mendidik anak yang baik  dari tulisan ini, olehnya itu saya memberinya judul “Bukan Ilmu Parenting”


Selamat Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli.

Mohon maaf, tulisannya menjadi late post 


Makassar, September 2022

Dawiah

10 comments

  1. Mama bapakku mendidik anak-anaknya juga cukup keras. Rasanya mungkin karena emang mereka belum dapatkan ilmu parenting. Hanya dari turun-temurun gitu.
    Apa yang sudah baik ya sebisa mungkin nanti akan kupakai saat punya anak. Apa yang belum cukup baik, akan ku perbaiki seiring waktu belajar ilmu parenting.

    ReplyDelete
  2. Saya dididikk oleh bapak dengan keras dan saya tidak ingin anak saya merasakan didikan yang dikenang secara buruk dan menyedihkan. Tapi, saya sendiri memiliki luka masa kecil, sangat hati-hati untuk mengasuh agar tidak salah langkah.

    ReplyDelete
  3. Tidak mudah memang parenting itu. Walau ada bukunya tapi tetap situasional karena setiap keluarga berbeda. Bahkan tiap anak pun berbeda walau lahir dari keluarga yang sama

    ReplyDelete
  4. membaca tulisan ini mengingatkan waktu kecilku dulu, ketika ku lumayan nakal di kelas di pukul dengan penggaris kayu panjang itu dan patah, belum lagi suling yang dipakai dikelas patah di betis tapi tidak ada complain pun saat itu nangispun tidak. Tapi kalau melihat saat ini bahkan dilaporkan ke polisi dan menjadi ramai kasusnya. Didikan dulu menempa diriku jadi lebih strong rasanya. Dunia parenting pun saat ini sudah sangat sangat banyak dibahas, sehingga kalau menilik ke belakang pada saat itu tentu jadi momen yang kurang mengenakkan. Tapi buat ku itu jaman dulu dan jaman sekarang tentu sudah berubah, kalau pola asuh yang dulu masih di terapkan tentu anaknya makin bandel merasa tentang dan tidak ada rasa takutnya bahkan sekarang yang lagi happening adalah mental health issue yang dulu sempat mikir emang ada yang seperti itu, tapi nyatanya anak anak sekarang tuh ada bahkan insecure sama diri sendiri. Jadi sekarang memang pola asuh anak menyesuaikan dengan anaknya tanpa membuat orang tua pun merasa mengikuti kemauan si anak terus.

    ReplyDelete
  5. Anak adalah ujian, sebab darinya kita belajar banyak hal agar bisa naik kelas dan menjadi orang tua yang lebih baik. << setuju sekali dengan ini, saya walau belum punya anak tapi sudah mengurus banyak anak, dari baru lahir sampai gede tetep membuat diri semakin belajar dan punya pertumbuhan baik dalam banyak hal.

    ReplyDelete
  6. Mba, aku pun tipe yg keras dalam mendidik anak. Tujuanku hanya pengin mereka disiplin. Ga peduli cara parenting zaman skr yg katanya ga boleh hukuman fisik, aku lebih tau apa yg cocok buat anak. Kalo menurutku mereka memang hrs dikerasin, aku bakal kerasin. Skr ini lagi seriiing ucapan kasar disebut2 seolah itu normal dan wajar aja. Tapi buatku, kata2 kasar begitu ga pernah ada tempat di keluarga. Jadi kalo sampe aku denger anak2 ngomong kasar, aku ga bakal segan cabein mulut mereka, supaya tau bahasa begitu terlarang utk mereka ucap. Papa mama ku keras banget dulu mendidik. Tapi setidaknya, kami jauh lebih disiplin skr

    ReplyDelete
  7. Memang tidak ada manusia yg sempurna, semoga Allah memudahkan kita memilih langkah sebaik-baiknya ya

    ReplyDelete
  8. selamat hari anak, semoga anak-anak Indonesia makin berkembang dan semakin banyak program yang akan mendorong anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan semakin cerdas

    ReplyDelete
  9. Iya ortu dan guru zaman dahulu keras banget ya didiknya, dan ternyata kurang sesuai untuk anak zaman sekarang yang kritis dan suka berdiskusi, memang jadi orang tua itu tantangan seumur hidup ya Bunda

    ReplyDelete
  10. menmbah perspektif baru mengenai keluarga dan anak, aku belum dapat gambaran bila sudah memiliki anak di masa depan hehehe. mesti banyak belajar

    ReplyDelete