Akhirnya rumah pertama yang kami miliki menjadi kenangan terindah. Setelah puluhan tahun menjadi milik kami dan sempat menempatinya selama kurang lebih 7 tahun.
Kenangan Indah di Rumah Sederhana
Rumah itu menjadi tempat tumbuh kembangnya anak-anak saya. Menjadi saksi lahirnya cerita-cerita masa kecil mereka, tempat keempat putra saya bermain dan berbagi kebahagiaan, juga berbagi makanan manakala saya dan suami pergi mengajar dan hanya meninggalkan nasi tanpa lauk. Lauknya beli di tetangga dengan porsi yang sama.
Si sulung yang tanpa diajari langsung tampil menjadi pemimpin untuk adik-adiknya. Membuat jadwal kerja mulai dari menyapu, mengepel hingga mencuci piring lalu mengatur porsi lauk sesuai kebutuhan.
Si-putra kedua yang paling bongsor selalu mendapatkan jatah lebih, sesuai ukuran tubuh dan putra keempat yang sabar menerima jatah lauk terakhir.
Di rumah itu pula saya belajar menjadi ibu yang sesungguhnya tanpa bantuan mama saya yang selalu sigap membantu tanpa diminta.
Berbeda dengan keempat kakaknya yang sejak lahir sudah diurus dengan sangat baik oleh mama saya. Nabila yang lahir saat saya sudah tinggal terpisah dengan mama, menjadi ajang uji nyali saya merawat bayi.
Masyaallah, alhamdulillah naluri keibuan saya semakin terpancar nyata.
Yeeah, saya bisa memandikan bayi dan mengurusnya hingga bisa mandi sendiri. Suatu prestasi yang luar biasa buat saya yang terbiasa didampingi oleh mama dan adik-adik saya.
Prestasi lainnya, saya sudah bisa masak berbagai jenis makanan. Dengan bermodalkan resep di majalah atau di koran, saya bebas mengeksekusi bahan makanan menjadi makanan lezat, setidaknya lezat di lidah anak-anak yang dibuktikan dengan makanan yang dilahap tak bersisa.
Walau kadang ada bisik-bisik, “kita habisi karena tak ada lauk lain.” Hahaha.
Kenangan yang tak kalah syahdunya adalah suara masjid yang berada tepat di belakang rumah. Panggilan salat yang dikumandangkan lima kali sehari menjadi seruan syahdu nan indah sekaligus menjadi pengingat buat keempat putra saya untuk salat berjamaah di masjid.
Para tetangga kadang bertanya, “itu anak-anaknya dikasi makan apa sehingga setiap mendengar azan otomatis beranjak ke masjid, sekalipun lagi asyik-asyiknya bermain?”
Seingat saya, makanan mereka tetap nasi dan lauk seadanya. Hanya saja ada si sulung yang berwibawa mengajak adik-adiknya segera lari ke masjid untuk salat.
Saya dan suami bukan orang tua yang keras dalam mendidik, tetapi tidak lembut-lembut amat. Cukuplah kami memberi contoh terutama bapaknya yang tidak banyak bicara, tetapi langsung bertindak dan memperlihatkan contoh.
Di rumah seluas 6 kali 15 meter itu juga tempat saya pertama kalinya belajar berdagang. Mencoba peruntungan membuka toko obat dan kosmetik yang bergantian kami tunggui.
Kadang barangnya habis, tetapi uangnya tidak ada. Setelah memeriksa pencatatan, ternyata ada pengeluaran yang tak terduga yang dicatat secara bergantian oleh anak-anak.
Kadang tertulis, “beli tambahan lauk, karena lauknya dihabiskan oleh kakak Ical.”
Atau tercatat, “beli kelereng untuk gantikan kelerengnya Uci yang habis kalah bermain.”
Gagal Menjadi Juragan Kontrakan
Seiring dengan waktu, satu persatu anak-anak pindah ke rumah lainnya di “kota” untuk melanjutkan pendidikan. Tinggallah saya dan si sulung yang bertahan dalam kesunyian.
Bapaknya lebih banyak menginap di kota dengan alasan mendampingi anak-anaknya.
Memang kalau dihitung, jumlah anak lebih banyak yang tinggal di kota dan kembali “merepotkan” mama saya. Sebab itulah bapaknya beralasan untuk mengurus sendiri anak-anaknya, sekalipun kenyataannya, dia sendiri menumpang makan minum di rumah mama saya.
Di ujung keputusasaan, saya akhirnya mengalah dan membujuk si sulung untuk sekalian pindah dan berkumpul dengan bapak dan adik-adiknya.
Rumah yang sedianya adalah rumah kontrakan dengan harapan, kelak kalau kami pensiun rumah itu akan menjadi sumber penghasilan tambahan.
Lumayanlah, ada lima petak dan kalau disulap bisa menjadi 10 kamar.
Rumah yang sedianya dikontrakan, satu persatu diubah menjadi rumah tempat tinggal keluarga kami. Satu persatu tembok dirubuhkan, kamar mandi diratakan dan tangga disingkirkan.
Lalu impian memiliki rumah sepuluh pintu pupuslah sudah. Sudah pasti saya gagal menjadi juragan kontrakan.
Lumayan juga kerugian material yang kami alami.
Namun, saat itu yang paling penting bagi saya adalah berkumpul lagi dengan keluarga. Pasti itulah jalan rezeki keluarga kami yang telah tertulis di Lauhul mahfuz.
Bahwa, saya tak ditakdirkan menjadi juragan kontrakan, wkwkwk.
Selamat Tinggal Rumah Kenangan
Akhirnya kami betul-betul bersatu dan rumah kenangan itu menjadi kosong dan tidak terurus.
Ibarat pacar yang tak digubris, lama-lama juga akan terlupakan. Seperti itulah nasibnya rumah kenangan itu. Saya melupakannya atau lebih tepatnya saya memaksa diri melupakannya.
Hingga suami mengusulkan untuk menjual saja rumah itu. Daripada kosong katanya, nanti menjadi rumah tempat berpestanya para jin dan dedemit.
Namun, rupanya menjual rumah tak semudah menjual jalangkote.
Bisa dijajakan keliling lorong hingga masuk ke kompleks perumahan mewah atau sekadar di pajang di toko kue bergengsi, karena peminat jalangkote tak memandang starata.
Cukup lama “menjajakannya” kurang lebih 4 tahun. Banyak yang berminat, tapi tak banyak yang siap dengan harganya.
Ada yang menawar tidak pakai hati, ada yang menawar pakai hati, tetapi tak punya jantung ada pula yang menawar tidak pakai otak.
Barangkali otaknya disimpan di dengkul.
Ada juga yang menawar dengan ancaman kalau rumah itu sudah tak layak disebut rumah, jadi harganya hanya senilai dengan harga tanah.
Mungkin jenis orang yang menawar ini penderita rabun senja sehingga bangunannya tak terlihat.
Maka maklumilah kalau saya selalu kesal setiap kali ada yang menghubungi dan bertanya-tanya tentang rumah itu.
Itu pula sebabnya di papan pengumuman, nomor yang bisa dihubungi adalah nomor handponenya suami.
Saya tak cukup sabar ditelepon oleh calon pembeli atau oleh orang yang pura-pura mau beli, tetapi ujung-ujungnya hanya mau membantu menjualkan alias makelar tanpa modal.
Cukup modal ludah yang berbusa-busa lalu menawarkan sana sini.
Saya sebagai pemilik yang memiliki ikatan cinta yang kuat dengan rumah itu tak bisa tabah menghadapi calon pembeli yang aneh-aneh.
Hari ini, rumah itu benar-benar telah menjadi kenangan yang abadi buat saya dan mungkin anak-anak. Seperti kata Kang Mamang.
"Ada nama yang abadi di hati, tapi tak bisa dinikahi.” Eh.
Ada rumah kenangan, tapi tak bisa dimiliki. Cukuplah menjadi cerita, bahwa dahulu kita pernah memiliki rumah mungil type SSS (Sangat Sederhana Sekali).
Namun, kenangannya tak sesederhana itu.
Kata si sulung,
“janganki sedih na mama kehilangan rumahta, nanti insyaallah ada gantinya.”
Ah, kenapa jadi mewek, hiks.
Bagaimanapun bentukmu nanti di tangan pemilik baru, kamu akan tetap menjadi rumah kenangan terindah dalam ingatan kami.
Baik-baik ya sama pemilik barumu. Perlakukanlah dia seperti kamu memperlakukan kami dulu, selalu baik dan memberi aura positif.
Makassar, 14 April 2022
Dawiah
Rumah, punya banyak kenangan yang susah dilupakan, sesederhana apapun jika memberikan kehangatan pastilah akan menyimpan banyak cerita. Pasti akan jadi cerita indah dimasa yang akan datang
ReplyDeleteKenangan yang tertinggal pada sebuah rumah emang nggak bisa begitu saja terabaikan. Apalagi kita sudah tinggal lama di sana. Pasti berat banget ya, Kak.
ReplyDeleteBegitulah rasanya pasti seperti menjadi bagian dalam diri, ada tempat-tempat yang rasanya nyaman jika ada di sana. Pasti butuh waktu untuk merelakan, tak apa, semoga penghuni barunya juga sama-sama sayang dan baik merawatnya
ReplyDeleteAh kenangan rumah tempat bertumbuh kembang takkan terlupakan ya, walau akhirnya harus ditinggalkan karena harus berkembang lebih jauh lagi saatnya membuat kenangan baru
ReplyDeleteHahahahaha memang mbaaaa, calon pembeli rumah itu aneka macaaaam Yaa. Akupun ngalamin kok. Ini ada 2 rumah di solo, mau kita sewain adaaaa aja dramanya. Msh blm dpt sampe skr. Dan banyak yg PHP juga. Trakhir dpt yg gayanya selangit, sok mau bayar saat itu juga buat sewa 3 bulan, tapi kmudian raib. Aku bersyukur sih, Krn feeling juga ga enak. Udahlaah anggab aja belum rezeki. Aku yakin ntr bakal dpt juga penyewa yg amanah.
ReplyDeleteSedih Yaa kalo rumah yg punya banyak kenangan gitu. Tapi memang ada kalanya kita hrs putuskan utk menjual atau pertahankan. Krn kalo ga ditinggalin, kasian rumahnya, jadi rusak
kehilangam rumah kenangan memang sesuatubyg berat tetapi pasti nanti akan menemukan yg lebih baik lagi ... semangat
ReplyDeleteRumah kenangan yang indah untuk dikenang.
ReplyDeleteberbagai memori yang seolah menjadi saksi mata setiap fase kehidupan.
Semoga kini menjadi lebih bermanfaat setelah bertemu dengan pemilik barunya.
Barakallahu fiikum~
Terharu bacanya Bunda, rumah pertamaku dulu di Makassar Alhamdulillah terjual pas mamaku butuh uang untuk beli rumah di Bogor, Allah maha penyayang..
ReplyDelete