Menapaki Jejak 32 Tahun

Sunday, April 15, 2018

Profesi guru pada era 80-an bukan profesi yang keren. Sangat sedikit  peminatnya, bahkan cenderung dicemooh. Pada umumnya, pelajar-pelajar yang bersekolah di kota menganggap  menjadi guru itu kampungan. Mungkin karena waktu itu,  IKIP lebih banyak diminati oleh pelajar dari daerah. Entahlah.

Ketika tamat SMA, beberapa teman ramai-ramai mendaftar di perguruan tinggi terkeren di kotaku. Aku juga mencoba, sekalipun pilihan itu tanpa restu bapakku. Sambil mendaftar di perguruan favorit itu aku juga mendaftar di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan. IKIP Ujung Pandang. Untuk pilihan kedua ini, bapakku sangat rida.

Akhirnya aku hanya  berhasil lolos di IKIP D2. Pasti waktu itu, doa bapakku menembus langit sesuai niatnya, beliau akan bahagia kalau aku menjadi guru.
Kata bapakku, “sekalipun bapak belum pernah bertemu guru yang kaya secara materi, tetapi guru adalah pekerjaan yang paling mulia. Pahala yang akan kamu dapatkan tidak akan pernah terputus hingga kamu tiada, asalkan kamu mengajar, mendidik murid-muridmu dengan benar, baik, dan ikhlas.”
**************
Menyelusuri kembali jejak-jejak masa 32 tahun lalu, mengingatkan akan masa di mana aku dan teman-teman mengabdikan diri di desa Balleangin. Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan.

Meninggalkan zona nyaman, menuju ke tempat yang penuh tantangan. Tidak ada listrik, tidak ada tempat tinggal, dan  tidak ada  keluarga. Hanya berbekal ijazah D2 dan restu orang tua, aku berangkat ke desa Balleangin dan bersiap mengabdikan diri. Di desa inilah aku bertemu dengan teman yang nantinya akan menjadi saudara seperjuangan.

Aku dan teman-teman adalah guru-guru muda, baik usia maupun ilmu apalagi pengalaman. Ada yang baru dua tahun meninggalkan masa putih-putihnya (waktu itu seragam SMA belum putih abu-abu), bahkan ada yang baru setahun menempuh pendidikan guru dan langsung bertugas.

Bagiku, situasi itu cukup sulit.  Berbekal ilmu seadanya, minim pengalaman, minim fasilitas, minim sarana, dan minim dana. Kami hanya memiliki kekuatan semangat. Walau sulit tetapi tidak menyurutkan niat kami untuk tetap menjalankan tugas sebagai guru.

Walaupun ilmu kami masih sangat sedikit, pengalaman mengajar masih minim tetapi semangat dan usaha kami tidak bisa dipandang sebelah mata.

Setiap malam, diterangi lampu petromaks kami belajar untuk mengajar. Berdiskusi dengan teman-teman seperjuangan, membicarakan tentang metode mengajar yang cocok, bercerita tentang keseruan di kelas, dan sebagainya.
Setiap pagi, kami menyambut murid-murid yang berdomisili di sekitar desa. Tidak sedikit murid kami berasal dari desa lain yang jarak ke sekolah dengan desa mereka lumayan jauh.

 Ada yang berjalan kaki menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk mencapai sekolah.  Tiba di sekolah dengan keringat yang membasahi seragam dan  kaki berdebu tetapi mata mereka memancarkan binar kebahagiaan dan semangat membara untuk menuntut ilmu.

Jika hari libur, biasanya kami diundang oleh orangtua murid menikmati hasil panen mereka. Jika musim jagung, kami disuguhi berbagai makanan olahan dari jagung. Musim kacang, kami akan sibuk mengupas kulit kacang, demikian pula jika musim kedelai maka kami kembali disibukkan dengan kegiatan mengupas kulit kedelai, untuk dimasak dan dimakan ramai-ramai. 
Apabila musim kemarau tiba, maka kami akan menikmati indahnya berjalan kaki demi mencari air jernih.

Walaupun hanya tujuh tahun mengabdikan diri di desa ini, namun banyak sekali  manfaat yang kuperoleh selama tujuh tahun itu. Belajar menjadi guru yang sesungguhnya, belajar berbagi dengan teman-teman senasib, belajar mengelola keuangan agar dengan gaji kecil dapat memenuhi kebutuhan hidup yang besar.  

Di desa ini pula aku belajar menjadi istri sekaligus menjadi ibu untuk dua orang putraku. Mendidik anak dengan fasilitas seadanya ternyata jauh lebih mudah dibandingkan mendidik anak dengan fasilitas serba lengkap.

Bersama ibu IDAH, teman seperjuangan. Kini beliau mengajar di salah satu sekolah negeri di kota Makassar



Kini sekolahku  sudah maju dan indah. Tidak ada lagi lapangan gersang yang dahulu kami olah untuk ditanami ubi jalar. Rumah yang dahulu kami tempati serupa barak berdinding tripleks kayu sudah berubah menjadi gedung sekolah baru.

Alhamdulillah, penduduk di desa ini tidak perlu lagi ke luar daerah jika akan melanjutkan pendidikannya ke tingkat lebih tinggi. SMP, SMA, dan SMK sudah berada dalam satu kompleks.


Semoga desa yang berkesan ini semakin maju. Penduduknya juga kian sejahtera apalagi telah ditunjang dengan listrik yang memadai. Aamiin. 




12 comments

  1. Wah, jadi ingin berkunjung ke sana 😁😁

    ReplyDelete
  2. Bunda, kakak saya yang pertama juga lulusan D2, dari IKIP Surabaya angkatan 1982. Dan seingat saya pengangkatan guru waktu itu sedemikian mudahnya. Bulan ini wisuda, bulan depan sudah pengangkatan dan mulai mengajar di SMP yang berjarak 2 km saja dari rumah orang tua saya...
    Dan, sampai sekarang kakak masih mengajar di situ...34 tahun sudah. Alhamdulillah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah. Betul sekali, waktu itu guru-guru lulusan D2 bahkan D1 langsung diangkat jadi guru/PNS. Kebayang kan, usia yang masih muda sudah berdiri di depan kela. Tetapi kami, guru-guru muda tetap semangat.

      Delete
  3. Aamiin. Semoga ya mba kemudahan akses pendidikan menjadikan masyarakat setempat makin maju dan pintar.

    ReplyDelete
  4. Seneng ya mbak kalau sekolah kita jadi makin maju dan bagus. Suka jadi haru - haru gimana gitu

    ReplyDelete
  5. Kalau sekarang, profesi guru termasuk sangat diminati dan prestisius untuk anak muda. Ya, perubahan zaman memang berpengaruh

    ReplyDelete
  6. Semoga perjuangannya mendidik tunas bangsa makin keren. Ya Mba.

    ReplyDelete
  7. Bunda Dawiah lagi nostalgiaaaa ya. Serunya banyak perubahan gitu �� Semiga berkah untuk masyarakat sekitar. Bunda Dawiah sehat terus yaaa

    ReplyDelete
  8. Masya Allah, indahnya kisahnya. Ternyata bapak ta' yang doanya menembus langit sampai kita' jadi guru. Baarakallahu fiik, Kak. Sehat ki' selalu.

    ReplyDelete