Judul Buku: Dunia Tanpa Air Mata
Penulis: Pipiet Senja & Azimattinur Siregar
Pemeriksa Aksara: Aminah Mustari
Pewajah Sampul: Meita Safitri
Penata Letak: Yunita Hye
Penerbit: Salsabila
Pustaka Al-Kautsar Grup
Cetakan: Pertama, Januari 2016
Pipiet
Senja, nama ini sudah tidak asing lagi bagiku, sejak kecil aku sudah
menggandrungi tulisan-tulisannya. Tetapi mengenal beliau secara pribadi hingga
dapat berkomunikasi melalui media sosial barulah pada tahun ini.
Namun
bukan tentang pertemananku dengan beliau yang akan aku tulis melainkan
perasaanku terhadap salah satu dari ratusan karyanya, yaitu “Dunia Tanpa Air
Mata.”
Tidak
butuh waktu lama untuk melumat habis isi buku itu, mungkin karena ceritanya
yang terasa sangat nyata. Apalagi dibarengi dengan tulisan Azimattinur Siregar,
anak beliau yang ngocol dan fresh sekali.
Dimulai
dari tulisan Pipiet Senja yang dibagi menjadi 9 tulisan, bercerita tentang
penyakit yang beliau derita sejak kecil, lalu selanjutnya semua tentang Butet,
panggilan untuk putrinya, Zhizhi Siregar alias Azimattinur Siregar.
Ada
asa dalam tulisan itu, cinta dan kasih sayang yang tak dapat diukur
kedalamannya. Juga kesabaran menerima perilaku yang ajaib dari pasangannya.
Sungguh suatu pembelajaran kesabaran.
Kemudian
beranjak ke tulisan Zhizhi yang juga terbagi atas beberapa bagian. Kisah-kisah
yang lucu dengan gaya penulisan yang menurutku “anak muda” sekali, sehingga aku
merasa sedikit konyol membacanya. Bagaimana tidak konyol, jika saat membacanya,
aku lebih banyak senyum-senyum bahkan terbahak.
Sub-sub judul yang ditampilkan juga lucu dan mengundang rasa penasaran.
Cobalah simak, Nightmare, Baybay Einstein, Pensi Ajep-ajep atau Hari Degdegplas. Dari semua sub-sub judul itu terdapat benang merah yang menghubungkan antara penderitaan dan kebahagiaan yang silih berganti, juga kasih, cinta dan bangga kepada mamanya.
Zhizhi
menyuarakan penderitaannya dengan lugas tetapi dalam bahasa yang unik, tidak
menghiba apalagi meraung. Sungguh, suatu pribadi yang kuat.
Dari
semua cerita yang disuguhkan oleh Manini (begitu biasa beliau dipanggil) Pipiet
Senja dan anaknya itu dalam buku ini, terdapat dua bab terakhir yang membuatku
benar-benar larut, sehingga memicu kemarahanku sekaligus kesedihanku.
Bagaimana
tidak marah coba, mengetahui perlakuan orang-orang di rumah sakit, mulai
petugasnya hingga perawatnya yang begitu ketus tak berperikemanusiaan. Dapat
kubayangkan, andaikan aku berada di posisi itu, aku belum tentu sesabar Manini.
Hampir seluruh bab-bab terakhir dalam buku ini membahas tentang keburukan pelayanan rumah sakit yang besar itu.
Demikian yang bisa kusimak.
Walaupun
buku ini berjudul “Dunia Tanpa Air Mata” namun sesungguhnya kisah-kisah di
dalamnya justru sarat dengan air mata,
air mata kebahagiaan, keharuan dan ketidak berdayaan.
Oh
iya, ada satu tulisan yang jleb
banget ke hatiku, “Setiap anak memenggal
cita-cita orangtuanya hingga ke titik tertentu. Membatasinya, bahkan bisa jadi
menghancurkannya. Adalah tugas setiap anak untuk mengemban harapan-harapan yang
tercapai itu.”
Sudahkah
aku memenuhi harapan orangtuaku, terutama mamaku?
Apakah
aku tahu apa harapannya? Karena aku dan mamaku tidak sedekat Zhizhi dengan
mamanya (mungkin karena aku banyak
bersaudara, mencoba mencari alasan, bheuu…)
Membaca
buku ini memberiku kesadaran baru, bahwa sangat penting melakoni hidup dengan
semangat perjuangan yang tiada henti yang dibarengi dengan rasa syukur atas
semua nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah swt.
Terima
kasih Manini.
Terima
kasih Zhizhi.
Pipiet Senja, tulisannya menginspirasi. Mengenal beberapa karyanya dan tahu beliau sakit sejak lama, sampai kemudian Allah memanggilnya kemarin. Semoga amal2nya menjadi pemberat amal baiknya di akhirat.
ReplyDeleteWah baru tahu ada buku duet ibu dan anak ini mbak.
Senang banget ya kalau ibu dan anak bisa sedekat itu. Aku pun kyknya gak terlalu dekat sama ibuku sampai yang menceritakan semua. Mungkin itu khas bimbingan generasi dulu.
Namun mari kita usahakan generasi2 yang sekarang, anak2 kita tu apa2 cerita ke kita dahulu ya mbak.
Ya Allah Teh Pipiet, semoga surga membuka pintunya lebar-lebar untukmu. Aku belum pernah baca buku beliau, termasuk buku ini, so it's good to know this book, dari tulisan mbak. Butet sekarang sudah seberapa ya? Udah berkeluarga pastinya ya?
ReplyDeleteAku belum pernah membaca karya Pipiet Senja jadi aku blm ada banyangan seperti apakah jenis tulisan nya..
ReplyDeleteTapi aku tau saat kmrn melihat berita2 bahwa beliau sudah dipanggil Allah..surga terbaik utk beliau dan semoga Butet bisa menjadi perpanjangan tangan beliau dalam menghasilkan karya2 baru lainnya
Mba, aku tuh blm baca buku2 beliau. Tp ntah kenapa nama Pipiet senja ini familier bangetttt. Kayak pernah aku baca, tp ga inget di mana. Apa beliau pernah menulis di majalah bobo ga sih? Coba nanti aku cek deh.
ReplyDeletePas baca stories temen yg bilang Pipiet senja meninggal, aku jujur masih blank.
Tp jadi tertarik, apalagi buku2 nya banyak, termasuk yg mba review. Aku pengen baca jadinya. Dan mau tahu ttg kisah beliau.
Membaca ulasan ini, bukunya seperti kisah pedih dikemas kocak. Eroni sebuah kehidupan yang perlu tetap sukacita dalam ketidakberdayaan hidup.
ReplyDeleteMenarik bagaimana ketika saat diberi kesadaran bahwa anak sering kali menjadi seakan bertanggung jawab atas apa yang belum bisa dicapai orang tua.
Dan begitulah, kadang sudah tahu tetapi entah kenapa seringkali diwariskan. Semoga buku ini bisa bertemu lebih banyak pembaca.
Sepertinya saya belum pernah baca novel beliau, tapi namanya seperti tidak asing.
ReplyDeleteBuku ini sepertinya menarik. Isinya lucu tapi juga haru.
Coba nanti saya cari bukunya di Ipusnas. Sepertinya banyak.
Daku pernah berpikir waktu awal-awal mengenal dunia kepenulisan (buku), bahwa Ibu Pipiet Senja rahimahullah ini ada hubungan keluarga sama Bunda Asma Nadia, seperti Bunda Asma ke Bunda Helvy hehe. Soalnya saat masa sekolah daku, mereka bertiga lagi terkenal dengan karyanya. Namun, untuk karya beliau yang ini, daku belum pernah baca.
ReplyDeleteBaca tulisan ini bikin aku ikut larut dalam kisah “Dunia Tanpa Air Mata.” Tentang Pipiet Senja yang penuh kesabaran menghadapi sakitnya, lalu berpadu dengan cerita Zhizhi yang kocak tapi dalam, rasanya kontras tapi justru makin menyentuh.
ReplyDeleteKutipan kalimat tentang anak yang memenggal cita-cita orangtuanya itu benar-benar bikin merenung, seberapa jauh kita sudah memahami dan mewujudkan harapan orangtua kita...
Terima kasih sudah berbagi refleksi yang hangat ini ya mbak. Buatku tulisan ini bukan cuma ulasan buku, tapi juga jadi pengingat untuk lebih bersyukur dan menghargai perjuangan orangtua.
jadi mengenang Teh Ety ini, saya pernah mengikutinya selama dua hari satu malam, terkait mewawancara dan mengikuti semua kegiatannya mulai bangun tidur sampai besok bangun tidur lagi
ReplyDeletetermasuk chack up ke rumah sakit
sedih banget emang kala itu menyaksikan bagaiman Pipit Senja ini menjalani kesehariannya
Mbak Dawiaah, baru saja kemarin saya mendengar kabar kepergian teh Pipiet Senja yang menulis buku yang mbak review ini. Rasanya jadi teringat buku² nya yang lain. Sejarah hidup sang penulis yang penuh cobaan dengan sakitnya namun tetap sabar dan tangguh.
ReplyDeleteBuku yang sangat bagus karena bisa membangkitkan sebuah kesadaran dan juga pemikiran bahwa kita harus bisa merefleksikan diri dan juga mengingatkan untuk lebih bersyukur dan menghargai setiap usaha dan perjuangan yang telah orang tua kita lakukan untuk kita dan semoga bisa menjadi inspirasi bagi setiap orang yang membacanya
ReplyDeleteSalah satu penulis yang ternyata cukup hits pada masanya. Meski aku belum pernah membaca karyanya secara langsung, namun pas mba membahas satu bukunya aku jadi mulai kegambar dan sempat cari tau dikit juga via Gemini.
ReplyDeleteJudul buku memang bikin tertarik ya. Ternyata di dalamnya banyak plot twist yang menyakitkan namun tetap kudu di hadapi. Bener adanya, hidup harus tetap berjalan dan menguatkan diri dalam menjalani nya adalah sebuah hal yang mesti diupayakan.
Berasaaa sampai banget emosinya ke pembaca yaa.. Bunda.
ReplyDeleteBuku yang memberikan insight mengenai pentingnya melihat sebuah ujian dalam bentuk lain. Ujian sakit ini pasti berat... dan pastinya ada momen-momen jenuh juga kesal.
Suka banget penceritaannya tetap humble ke pembaca buku "Dunia Tanpa Air Mata" karya Pipiet Senja & Azimattinur Siregar.
Karya tulisan yang menemani masa remaja, salah satunya Pipiet Senja, Helvy Tiana Rosa, dan Asma Nadia. Tapi Dunia Tanpa Air Mata malah baru tau semenarik ini ceritanya
ReplyDeleteHaruss banyak bersyukur dan bisa berempati dengan orang tua ya
ReplyDeleteBarokAllah untuk seluruh ortu di kolong langit.
BarokAllah juga untuk Teh Pipiet Senja ygvtelah berpulang.
Al fatihah untuk Bunda Pipiet Senja yag baru saja berpulang. Dan mungkin lewat buku ini tersurat dengan jelas bagaimana perjuangan beliau dengan penyakitnya ya. Dan dari judulnya, inisebenarnya kebalikan. judul buku Dunia Tanpa Air Mata. Dan sejatinya hidup ini memang dijalani pasti diiiringi air mata. siapa pun akan mengalami juga. termasuk saya. Tapi benar Mbak, banyak harapan orang tua kepada anak yang tidak disadari oleh anak dan tidak bisa diwujudkan.
ReplyDeleteAh novel dari Pipiet Senja memang nggak diragukan lagi ya
ReplyDeleteMembaca ini jadi mengenang kembali kepergian beliau
Semoga husnul khotimah
Al Fatihah untuk Bu Pipit Senja, Allah lebih sayang padanya sehingga memanggilnya pulang
ReplyDeleteSaya belum pernah baca novel karya beliau, tapi dengan membaca review Bu Daerah saya ada gambaran tentangnya
mbaaaaak, bukunya kayaknya baguuusss. aku jadi penasaran. apalagi kalo bahasanya anak muda dan konyol gini kan pasti bisa dibaca cepet ya dan sebagai hiburan juga wkwkwk. aku lagi reading slump soalnya.
ReplyDelete"Setiap anak memenggal cita-cita orangtuanya" itu juga makjleb banget dia akuuu huhu