Musibah Seharusnya Mengajarkan Banyak Hal

Wednesday, October 3, 2018



 Ketika musibah menghampirimu maka kamu akan tahu siapa saudara dan sahabatmu  sesungguhnya, karena tidak semuanya akan perduli kepadamu.


Saya tidak percaya kalimat tersebut. Namanya teman apalagi yang mengaku sahabat mana mungkin tidak perduli dengan derita atau kesusahan yang dialami teman apalagi sahabatnya.  
Tetapi itu dulu.  Sebelum   suatu musibah menimpa keluarga saya.  

Saat kita tertimpa musibah maka akan kelihatanlah orang-orang yang bersimpati, orang-orang yang ringan tangan membantu tanpa perlu diminta, saudara dan teman-teman yang datang menolong tanpa pamrih.

Sebaliknya akan kelihatan pula orang-orang yang tersenyum samar tetapi puas melihat penderitaan kita. Datang mengucap kata turut prihatin tetapi disertai senyum kemenangan, seakan ini adalah pertarungan yang dia menangkan. 
Bahkan ada yang datang sekedar menonton sambil berfoto-foto ria. Memotret duka sambil tertawa suka.

Sadis!

Saat musibah itu menimpa keluarga saya di Makassar,  saya  sedang mengikuti studi banding ke beberapa sekolah di Surabaya dan di Yogyakarta. Kejadian itu terjadi saat saya sudah berada di salah satu hotel di Yogyakarta.
Setelah mendengar kabar itu, saya melapor kepada ketua rombongan untuk kembali ke Makassar. Tujuan saya hanya satu adalah  pulang secepatnya.

Berita tentang musibah yang menimpah saya dengan cepat menyebar ke anggota rombongan. Apalagi waktu itu, ketua rombangan meminta sumbangan kepada semua anggota rombongan. Padahal saya tidak minta. 

Beragam sikap dan celotehan yang saya dapatkan. Ada yang datang memeluk sambil berbisik, “Sabar ya Bu. Insya Allah semua akan diganti oleh Allah dengan rezeki yang lebih baik.”

Ada yang datang menyalami sambil bertanya. “Bagaimana keadaan keluarga-ta Apakah mereka baik-baik saja?”

Ada pula yang berkata. “Alhamdulillah tidak ada korban jiwa, sabar Bu. Jaga kesehatan, jangan stress.”

Itu komentar yang positif dan cukup menghibur.

Beberapa di antara rombongan ada teman yang kenal dekat dengan mama dan keluarga saya. Beliau menanyakan kabar mama, anak-anak, dan adik-adik saya. Mengajak berbincang sambil menunggu bis yang akan mengantarkan saya ke Bandara. Di tengah perbincangan itu, Beliau bertanya tentang apakah ada barang berharga yang saya sembunyikan tetapi keluarga lainnya tidak tahu?

Saya langsung ingat.  Sedikit emas batangan yang saya sembunyikan di balik buku-buku dalam lemari. Spontan saya menelepon putra sulung saya, memberitakan keberadaan emas tersebut. Melalui telepon saya memberi petunjuk tentang letaknya hingga akhirnya emas yang tidak seberapa itu ditemukan.
Mungkin karena  menelepon dengan suara sedikit nyaring karena panik atau apalah, saya lupa gambaran perasaan saya waktu itu, sehingga beberapa orang yang duduk di sekitar kami  mendengarnya.
Maka mulailah suara-suara sumbang itu datang.

“Bagus ya Bu, ibu punya emas batangan.” Seorang ibu berkata dengan senyum yang terlalu manis untuk dikenang.

Tawwa ada emas batangannya.” Nyeletuk ibu lain dengan muka kecut sekecut cuka level 99%.

“Alhamdulillah kalau emasnya bisa ditemukan, jadi ada dong modal lagi untuk bangun rumah.” Ini menghibur apa menghinakah?

“Berarti tidak terlalu parah-ji rumah-ta, buktinya emas-ta bisa-ji diselamatkan.” Pertanda tidak puas dengan musibah saya karena masih ada yang tersisa. 
Beuh…

Bahkan ada sekumpulan ibu-ibu yang bercanda.

“Eh minggir dong yang punya emas batangan mau lewat.” Kata seorang ibu yang memakai jilbab paling lebar.
“Silahkan orang kaya!” Timpal lainnya sambil tertawa cekikikan.

SADIS!

Tahukah kalian? Sejak mendengar berita musibah itu tak setetespun air mata yang keluar,  tetapi mendengar suara-suara itu hati saya tersayat perih.

Saya pikir jika saya sudah berkumpul dengan keluarga maka celotehan yang “manis” tak terdengar lagi. Nyatanya makin gencar bahkan dengan mudahnya menghakimi dan menuduh seluruh korban musibah.
“Kamu tahu kenapa daerahmu kena musibah? Karena Allah marah!”
“Pantas daerahmu kena musibah, banyak uang haram sih yang beredar.”

Ya Allah!

Untunglah sekarang saya sudah melupakannya.  Tetapi tidak benar-benar hilang dari ingatan. Karena setiap ada kejadian serupa muka orang-orang itu seakan muncul lagi. Suara-suara sumbangpun kembali terngiang. Padahal harusnya dilupakan.
Tetapi itulah kenyataannya. Pikiran tidak bekerjasama dengan hati.




STOP SHARE!

Musibah yang saya alami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan musibah gempa bumi yang dialami saudara-saudara kita saat ini. Kehilangan harta belum seberapa dibandingkan kehilangan nyawa.
Gempa dan tsunami yang melanda Sigi, Donggala, dan Palu tahun ini sungguh telah menyisakan luka yang tak terperi. Betapa banyak yang kehilangan keluarganya dan orang-orang yang dicintanya. Ada  jazad telah  ditemukan tetapi tidak sedikit  yang hilang tanpa kabar. 
Sungguh telah mengharubiru banyak hati. 

Apakah mereka aman dari celoteh dan nyinyiran?
Mungkin saja mereka tidak mendengar langsung celoteh dari orang-orang di sekitarnya, tidak melihat senyum-senyum sinis yang seakan menghakimi mereka.

Tetapi saat ini dunia maya jauh lebih kejam daripada dunia nyata dan jemari lebih tajam daripada mulut.

Jika lidah bisa disebut tak bertulang lalu jari-jari yang mengetikkan kata-kata yang menyakitkan disebut apa? Jika 2 kali 14 tulang ruas pada jari tangan tak  diberi nyawa, paling tidak pemilik jari-jari itu memiliki hati dan otak.

Hati dan otak seharusnya saling bekerjasama dalam mengelola pengendalian diri. Agar tidak gampang menuliskan kalimat-kalimat yang menyakitkan. Agar tidak mudah mengklik berita, video dan apapun lalu mengirimkan ke media sosialnya.

Cukuplah dibagikan ke kalangan terbatas untuk saling mengingatkan, untuk saling menjaga serta saling  menghibur hati yang gulana.

Berhentilah saling menyalahkan dan mencari sebab musababnya!  
Karena sejatinya semua yang terjadi diluar kuasa manusia. Apapun yang terjadi dalam kehidupan ini adalah skenario yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz.
Berhentilah saling nyinyir antara yang membantu dengan yang tidak membantu! 
Karena bisa jadi yang kelihatan diam, tidak share di media sosialnya, atau yang tidak berkomentar apa-apa justru lebih banyak membantu dan berdoa untuk keselamatan saudara-saudara kita yang terkena musibah.  

Ketahuilah, bukan hanya musibah yang menyisakan kepedihan karena itu bisa saja hilang seiring dengan keikhlasan menerimanya,  melainkan kepedihan yang membekas karena hujatan dari orang-orang yang sok suci.

Mereka bisa bangkit lagi dengan sisa-sisa tenaga dan sedikit bantuan dari orang-orang tetapi pedihnya hati akibat dikecam dan dituding tanpa ampun akan terus membekas.

Semoga kita semakin cerdas bermedia.

Read More