Pasang Surutnya Harapan Mama

Wednesday, September 18, 2019


Saya takut bermimpi naik haji, mencukupi makan kalian 2 kali sehari saja saya sudah bersyukur, ditambah kalian sekolah minimal tamat SMA. Alhamdulillah.”


Itu kata-kata  mama puluhan tahun silam.
Ia sadar diri, bahwa berhaji itu memerlukan biaya yang tidak sedikit.  

“Untungnya ibadah haji hanya diperuntukkan bagi yang mampu, bagaimana-mi kalau diwajibkan seperti ibadah salat dan  puasa, aiss …  manrasana, hehehe…”

Sebagai single parent dan membiayai 5 orang  anak, bukanlah perkara gampang bagi mama.  Hanya bermodalkan rumah petak yang disewakan kepada anak sekolahan, mama berjuang menghidupi anak-anaknya. Beliau harus menahan segala keinginan dan impian-impiannya.
Sampai-sampai beliau takut bermimpi menunaikan ibadah haji.

Waktu itu, saya berbisik dalam hati, “Insya Allah, saya akan membayar  ongkos naik haji mama.” Tetapi saya hanya berani berbisik dalam hati. Takut memberinya harapan yang tak pasti.

Berani Merajut Mimpi


Impian ibarat pengharapan, jika tak punya impian,   bagaikan bunga yang layu sebelum berkembang. Namun demikian, kadang kita dihadapkan pada suatu keadaan dimana kata impian serupa dengan khayalan semata.

Mungkin begitulah pikiran  mama. Ia sadar bahwa keadaan ekonominya sama sekali tidak mendukung untuk membayar ongkos naik haji. Ia merasa tergolong orang tidak mampu.

Saya yakin, saat berbisik dalam hati berniat membayarkan ongkos haji mama, malaikat mengaminkan doa saya dan Allah mendengarnya. Karena 17 tahun kemudian, tabungan kami cukup untuk menyetor ongkos naik haji. Setidaknya kami berhasil mendapatkan nomor porsi.

Binar-binar kebahagiaan mama tak dapat disembunyikan. Ia terkekeh bahagia.
Walaupun pada saat kami mendaftar ada salah seorang pegawai Departemen Agama yang bicara, kalau kami harus menunggu 8 tahun baru bisa berangkat.

Semburat kekecewaan tiba-tiba menyelimuti wajah mama.  Saya bisikkan ke telinga mama.  
“Jangankan 8 tahun, 10 tahunpun  tidak mengapa.  Yang penting  Allah Swt sudah mencatat nama kita sebagai calon jamaah haji.”

Mama hanya mengangguk, entah beliau paham atau tidak.
Maka sejak saat itu, mama mulai merajut impiannya. Naik haji.

Cobaan Datang dalam Penantian Panjang


8 tahun berjalan tanpa terasa dan  mama semakin tak sabar dalam penantian panjangnya, apalagi kesehatannya mulai menurun.
Tahun 2018, beliau mulai gelisah.
"Katanya kita menunggu 8 tahun dan sekarang sudah 8 tahun sejak pendaftaran, kenapa nomor porsi kita belum keluar?"

Ternyata perkiraan pegawai Departemen Agama saat itu justru lebih pendek waktunya dibandingkan kenyataannya. Kami harus menunggu hingga 9 tahun lamanya.

Sebelumnya, pada tahun 2017 penyakit tb menyerang mama. Beliau harus menjalani pengobatan selama enam bulan. Harapannya ke baitullah menipis. Ia sangat putus asa.

Kami anak-anaknya hanya bisa menghibur, bahwa seseorang yang akan diundang Allah akan selalu diuji. Mungkin diuji kesabarannya atau bisa jadi "dicuci" agar saat waktunya nanti mama sudah bersih jiwa raganya dan siap wukuf di Arafah.

Lepas masa pengobatan, mama dikatakan bersih dari penyakitnya.
Kembali harapannya menyeruak. Sayangnya panggilan berhaji itu belum datang.

Akhir tahun 2018 saya memberi kabar bahagia, insya Allah nomor porsi haji kami sudah masuk tahun 2019.
Tak henti-hentinya mama mengucap syukur. Beliau mulai menyusun kembali asa yang sempat surut.

Cobaan Kedua


Rupanya Allah masih sayang mama. Dia masih mau bercengkerama dengan zikir-zikir beliau. Allah rindu dengan doa-doa mama, maka cobaan kedua menyapa beliau.

Mama mengeluh sakit di bagian pinggul dan pangkal paha. Ia tak mampu menopang tubuhnya. Tidak bisa jalan. Untuk ke kamar mandi saja ia harus ngesot, merangkak. karena tidak bisa berdiri dan akhirnya  beliau  diopname.

Setelah mengikuti serangkaian pemeriksaan termasuk foto rontgen, oleh dokter dikatakan bahwa tulang duduknya mengalami patah, dan tidak ada jalan lain selain operasi.

Setelah berembuk dengan keluarga akhirnya kami memutuskan untuk tidak mengambil jalan operasi melainkan  mencari pengobatan alternatif.

Singkat cerita, mama dipertemukan  dengan orang yang pandai mengurut. Saat pergi ke rumah tukang urut itu beliau menggunakan kursi roda, bahkan disentuh pinggulnya saja beliau meringis kesakitan.

Masya Allah pulangnya ia bisa jalan kaki, tidak ada lagi keluhan di bagian tulang ekornya. Hanya sedikit nyeri di bagian paha.

Pengobatan alternatif itu beliau jalani selama sebulan. Lambat laun kesehatan mama mulai  membaik. Mama sudah bisa berjalan perlahan walau tak bisa jalan jauh dan lama.

Tiga bulan kemudian, ia kembali mengeluh. Kali ini sakitnya di bagian punggung. Tiba-tiba badannya kelihatan sedikit membungkuk. Kembali mama putus asa. Ia tidak mau menyinggung apapun yang berhubungan dengan ibadah haji.

Jika  sakit di bagian punggungnya itu datang,   mama mengerang kesakitan. Ia sangat putus asa.
"Saya memang sudah ditakdirkan tidak berhaji sampai pergi menghadap Sang Ilahi."
Saya kesal mendengar ucapannya.
"Ma, tidak ada orang yang berhak mendahului keputusan Allah. Jangan putus asa, kita harus ikhtiar."

Kali ini saya berinisiatif membawanya ke Ratulangi Clinik Centre, saya dapat informasi kalau di klinik tersebut ada dokter ahli tulang dan sendi. Beliau dokter yang diakui oleh pasien-pasiennya sebagai dokter yang mumpuni.

Namanya dr. Arman, caranya memeriksa pasien  menenangkan dan mama terkesan.
Dari pemeriksaan yang intensif, mama dinyatakan menderita penyakit  osteoporosis.
Beberapa tulang punggungnya patah akibat keropos.
Tetapi dr. Arman meyakinkan mama jika beliau bisa bertahan asal rajin minum obat dan berhenti beraktivitas yang bisa memicu patah tulangnya yang lain.

Maka rutinlah beliau minum obat selama 3 bulan.
Memasuki bulan kedua, perkembangan kesehatannya mulai menunjukkan perubahan yang cukup signifikan.
Beliau tidak lagi mengeluh sakit, sudah mulai berjalan perlahan lagi, bisa duduk dengan sedikit tegak walaupun masih menggunakan kursi roda jika berjalan jauh.

Harapannya ke tanah suci kembali membara. Senyumnya sudah mulai semringah lagi. Bahkan semakin ceria dan bersemangat saat saya memperlihatkan undangan manasik hajinya.

"Positif-mi ini kita terdaftar sebagai calon jamaah haji, Dawiah?"

"Insya Allah Ma. Makanya mama harus sehat. Jangan lagi bandel, ikuti saran dokter." Mama masih juga tak mau berhenti melakukan kegiatan yang membahayakan tulangnya.

Hari-hari Indah di Madinah


Tanggal 15 Juli 2019 adalah waktu pemberangkatan kami. Mama masih dengan kursi rodanya, terlihat lemah namun ada harapan dan semangat di matanya.
Sudah tak ada lagi keraguan. Beliau sangat yakin bisa mengerjakan semua rukun haji dengan baik.

Kepada keluarga dan orang-orang yang datang menjenguknya,  beliau berkata, “Yang penting  anak dan menantuku sehat, saya pasti bisa menjalankan semua rukun haji.”
Saya yakin, itu adalah doanya  seyakin saya,  bahwa Allah pasti mengabulkan doanya.

Saya, suami, dan mama terdaftar sebagai calon jamaah haji kloter 14 embarkasi Makassar, UPg-14.
Tanggal 17 Juli 2019 sekitar pukul 11.00 waktu setempat, rombongan kami  tiba di bandar udara Internasional Prince Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah Arab Saudi.

Selama 8 hari di Madinah, mama masih harus melanjutkan minum  obat osteoporosisnya. Dengan sabar beliau menjalani hari-hari di Madinah.
Saya hanya bisa membawanya  salat berjamaah di masjid Nabawi setiap subuh, magrib, dan isya.

Mama mengerti bahwa mendorong kursi rodanya di siang bolong sangatlah tidak kondusif, baik untuk kesehatannya sendiri  maupun kesehatan pendorongnya, yaitu saya, karena suhu saat itu di Madinah mencapai 48oC.

Saya salat zuhur di  masjid Nabawi tanpa beliau, sedang salat asar saya menemaninya di hotel. 
Saat diberitahu oleh jamaah lain, kalau salat Arba’in saya tidak cukup karena setiap salat asar saya tidak ke masjid, dengan entengnya mama menjawab, 

“Saya yang akan mencukupkannya.”

Apakah itu diijabah oleh Allah atau tidak, wallahualam bissawab.

Hari kelima, saat pulang salat subuh tiba-tiba mama meminta turun dari kursi rodanya, beliau mencoba jalan kaki.

Masya Allah, mama berjalan perlahan sejauh 100 meter, saya mengikutinya sambil mendorong kursi rodanya yang kosong dengan hati yang gemuruh.

Duhai Allah, sungguh besar kasih sayang-Mu kepada mama.

Hari-hari di Madinah al munawwarah adalah saat terindah bersama mama. Mendorongnya di atas kursi, menungguinya antri berziarah ke makam Rasulullah.

Demikian pula saat ziarah ke masjid Quba, masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah Saw pada tahun 1 Hijriah, atau sekitar tahun 622 Masehi hingga ke Jabal Uhud.
Semburat kebahagiaannya tak bisa ia tutupi seiring semangatnya yang menderu mengalahkan sisa-sisa sakit di bagian punggungnya.

Sehatlah terus mama, doakan saya dengan doa-doa terbaik. Karena mama adalah perantara untuk menuju kepada rida Allah.


mardanurdin.com

Di masjid Quba, sumber pribadi




mardanurdin.com
Di Masjid Nabawi, sumber pribadi



“Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silahkan sia-siakan orang tua kalian.” (HR. Tirmidzi).


Read More